Merefleksikan kehidupan dibalik tembok keraton, tak seindah seperti yang dicitrakan. Apa yang diangankan jika dalam kehidupan, seseorang ditantang untuk menghambakan diri sebagai seorang abdi?. Apakah kehidupan yang penuh dengan intensi atau justru kemunduran diri?.

Abdi dalem sebagai seorang yang mengabdikan diri tanpa pamrih, timbal balik dari tuannya maupun keraton. Pengabdian yang dimaksud bukanlah pekerjaan yang dapat dinilai dengan materi, melainkan kerelaan dan kesediaan diri untuk menjadi bagian dari kehidupan Raja dan keraton. Selain itu, seorang abdi juga bertugas menjaga, mengurus dan merawat keraton, meliputi kesenian, budaya dan urusan rumah tangga.

Sosok tersebut tercermin dalam laku Mbah Wito yang sudah mengabdikan diri selama 55 tahun sejak masa kepemimpinan Pakubuwono ke-XI di Keraton Kasunanan Surakarta. Secara garis keturunan, ia merupakan canggah (keturunan kelima) dari Sinuwun Keraton (sebutan bagi seorang Raja yang dijunjung tinggi dan dimuliakan kebesarannya).

Kematian Sinuwun merubah kehidupan keluarganya. Jejak keturunan salah satu dari dua putra Sinuwun diturunkan kepada Mbah Wito. Ketika Sinuwun meninggal, maka barang yang dimiliki—bahkan keturunannya—harus dibawa pergi dari keraton.

Hal tersebut sudah menjadi aturan pada masa kepemimpinan Pakubuwono ke-X. Ia tak mengindahkan kehidupan sebelumnya yang layak dan berada. Pengabdian membuatnya melupakan hal-hal duniawi (mencari uang untuk kekayaan) yang berimbas pada keterpurukan secara ekonomi dalam kehidupannya. Namun, hal tersebut tidak mempengaruhi niatnya untuk mengabdi kepada keraton.

Mulanya, ia hanya menjadi seorang keparak yang turut serta dalam gelaran acara keraton dan diminta untuk berkontribusi di dalamnya. Seperti yang dilakukan Mbah Wito ketika ia muda, ia tidak pernah absen dalam kegiatan keraton. Seiring berjalannya waktu, ia beralih mengabdikan diri menjadi penjaga pintu gapit di sisi selatan keraton, merangkap petugas kebersihan selama sepuluh tahun di sana. Kemudian, ia didhawuihi oleh Sinuwun untuk bertugas di utara keraton sebagai penjaga musala dan toilet umum di sekitar pagelaran.

Ia memperoleh gelar Raden Tumenggung Suwito Dwipuro, pangkat tertinggi yang diberikan oleh Sinuwun keraton. Gelar tersebut tidak diraih dengan mudah, ia harus menunggu selama kurang lebih 52 tahun. Selama proses tersebut, gelar yang diperoleh juga dipengaruhi oleh salah satu faktor, yakni adanya garis keturunan, sehingga membangun kedekatan antara Mbah Wito dengan keluarga keraton. Menurutnya, abdi dalem yang memiliki kedekatan dengan keluarga keraton akan lebih mudah untuk naik tingkatan.

Dalam pengabdiannya, ia diberi upah berkisar Rp. 90.000,- hingga Rp 102.000,- per bulannya, ia bahkan pernah menerima gaji sebesar Rp. 3.000,- saja. Ia juga mengalami pasang surut di keraton (setelah 1945), hingga masa paling sulit yang berlangsung selama hampir tiga tahun. Ia mengungkapkan bahwa dalam masa tersebut tidak ada pemberian upah atau gaji dari pihak keraton. Namun hal tersebut tidak menjadi persoalan bagi Mbah Wito, ia tetap menjalankan kewajibannya meski tanpa menerima upah sepeserpun. Untuk bertahan hidup, Mbah Wito banyak menerima santunan atau pemberian bantuan dari orang lain, berupa makanan dan uang.

Mbah Wito memiliki keyakinan bahwa dalam pengabdiannya, ia akan memperoleh ketentraman hidup serta tidak memikirkan duniawi. Selain itu, ia juga memiliki kebersihan hati untuk tidak mengharapkan upah. Ia berpegang teguh pada keyakinan bahwa semua adalah “saka sangkan paran”. Dengan kata lain, ia sudah mengetahui asal dan tujuan hidupnya, maka takdir seperti apapun akan ia terima.

Seorang abdi dalem bekerja di keraton untuk nyuwito dan ngawula (mengabdi). Mengabdi dengan setia, ikhlas lahir batin untuk mencari keberkahan dari keraton. Sehingga apa yang mereka terima tidak bisa disebut dengan gaji, karena nominalnya sangat kecil dan tidak sebanding dengan kerja keras mereka yang semata-mata mencari keberkahan. Bekerja di keraton tidak akan menjadikan seseorang kaya, tetapi tetap dapat menghidupi. Mbah Wito bertutur bahwa sebuah pengabdian tidak memikirkan besarnya upah, karena rezeki bisa datang dari mana saja dan kapan saja.

Baginya, adalah suatu kebanggaan dapat menjadi salah satu bagian di dalam lingkup keraton. Manakala pekerjaanya tidak dihargai dengan uang, seorang abdi dalem memiliki kesetiaan dan beranggapan bahwa dirinya suci dalam perbuatan. Kesucian diri seorang abdi dalem diukur lebih tinggi dibandingkan anggota keluarga keraton. Seorang abdi dalem sadar bahwa mengabdi tidak untuk mencari kekayaan, sebaliknya, bahwa kesucian hati dapat retak ketika terjadi perebutan kekuasaan antar keluarga keraton, sehingga terjadi perpecahan keluarga. Namun, tidak sedikit pula abdi dalem yang memilih melepas pengabdiannya dikarenakan tugas seorang abdi itu berat. Ketidakjujuran dalam melaksanakan tugas dapat menjatuhkan reputasi serta kredibilitas seorang abdi.

Mbah Wito hanyalah satu dari sekian banyak abdi yang dituliskan cerita singkat kehidupannya. Mungkin kita tidak pernah mengenal siapa Mbah Wito sesungguhnya, namun cerita kehidupannya mampu memberikan gambaran tentang realitas kehidupan seorang abdi dalem. Hidup dalam dualisme antara kebatinan atau keinginan diri yang sangat paradoksal.

Penyunting: Nadya Gadzali