Etnis.id- Sewaktu kecil, saat berlibur ke kampung Nenek, saya selalu tertarik dengan air putih yang tersaji di dalam cerek. Air Nenek berbeda dengan air yang saya minum di rumah Ibu. Air Nenek berwarna merah jambu, nyaris berwarna merah tua.

Air itu dinamai uwae seppang atau dalam bahasa Indonesia berarti air seppang. Disebut air seppang karena air putih yang seharusnya tetap berwarna bening, menjadi merah karena dicampur dengan kayu seppang (secang).

Air semacam itu dikonsumsi oleh Nenek saya sejak kecil dan konon membuat tubuh kita sehat. Saya sendiri belum menemukan penelitian dari pakar kesehatan atau WHO, tapi apa peduli saya terhadap semua klaim kesehatan itu. Toh saya lebih meyakini cara hidup sehat nenek, dibandingkan mereka.

Kenapa, karena di umur Nenek yang sudah tua, tubuhnya masih tetap sehat bugar. Kulitnya memang tidak lagi kencang, tapi otot dan tulangnya mengalahkan kami, cucu-cucunya yang masih muda.

Pengalaman minum air seppang itu selalu membahagiakan untuk diingat. Saat kecil, selepas menyantap makanan, saya selalu senang meminum air seppang meskipun rasanya begitu-begitu saja. Ya, mirip air minum pada umumnya, namun karena warnanya berbeda, saya menjadi sangat antusias meminumnya.

Pengalaman minum uwae seppang pertama kali saya temukan di kampung Nenek di Desa Tabo-Tabo, Sulawesi Selatan. Namun, konon katanya, kayu seppang itu atau istilah ilmiahnya caesalpinia sappan l ditemukan pertama kali oleh Kimichi (seorang berkebangsaan Spanyol) di Brazil.

Sesuai dengan tempat asalnya, tanaman ini disebut ‘kayu Brazil’ (Brazil wood). Walaupun demikian, ada yang mengatakan bahwa asal tanaman ini dari India melalui Burma, Thailand, Indo China sampai Malaysia dan menyebar ke Indonesia, Philipina, Srilangka, Taiwan dan Hawai.

Jenis tanaman ini tumbuh subur dan tersebar di Eropa, Amerika dan Asia. Secang memiliki nama ilmiah caesalpinia sappan dengan sinonim bianceae, dikenal di pelbagai negara dengan nama ‘sibukao’ (Philipina), 'nyet’ (Burma), ‘sbaeng’ (Kamboja), ‘fang deeng’ (Laos), dan ‘faang’ (Thailand); (Pusat Pengembangan Pendidikan UGM, 2011).

Ada beragam versi tentang asal usul tanaman ini. Tidak ada yang pasti dari mana seharusnya tanaman tersebut ditemukan sebagai tanaman yang berkhasiat ketika dicampur dalam air. Akan tetapi, meski beragam versi, saya tetap meyakini bahwa tanaman itu berasal dari tanah Bugis.

Sederhananya, karena saya orang Bugis dan menemukan ada tanaman itu di tanah saya sendiri dan belum menemukan keberadaannya di daerah lain yang pernah saya kunjungi.

Meski demikian, kayu Seppang juga dikenal di berbagai daerah di Indonesia dengan nama lokal yang berbeda-beda, seperti seupeng (Aceh), sepang (Gayo), sopang (Batak), cacang (Minangkabau), secang (Sunda), kayu secang, soga Jawa (Jawa), kaju secang (Madura), cang,(Bali), sepang (Sasak), supa, suang (Bima), sepel (Timor), hong (Alor), kayu sema (Manado), dolo, sapang (Makassar), seppang (Bugis), sefen (Halmahera Selatan), sawala, hiniaga, sinyiang, singiang (Halmahera Utara), sunyiha (Ternate), dan roro (Tidore); (Direktorat Obat Asli Indonesia, 2008).

Ramdana Sari dan Suhartati dalam penelitiannya Secang: Tumbuhan Herbal Kaya Oksidan, juga mengungkapkan bahwa air secang merupakan minuman favorit bagi sebagian besar masyarakat di Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis-Soppeng yang berada di pedesaan.

Bahkan masyarakat pada waktu itu beramai-ramai membudidayakan tumbuhan secang sehingga ada daerah di Kecamatan Marioriwawo dengan nama ale’ seppang yang berati ‘hutan secang’.

Secang menjadi sangat digemari karena air minum terlihat lebih segar ketika ditambahkan dengan serpihan kayu secang. Masyarakat Bugis menggunakan serpihan kayu seppang sebagai campuran air minum dengan memasukkannya ke dalam teko atau tempat air minum. Di kampung, Nenek biasanya memasukkan air seppang dalam wadah air yang agak bening, sehingga sehingga air menjadi tampak segar, jernih seperti sirup yang berwarna merah.

Tradisi meminum air seppang ini, memang sudah hampir punah. 10 tahun yang lalu, saat saya berumur 15 tahun, uwae seppang masih sering ditemukan, namun perlahan, tradisi itu menghilang bahkan di rumah Nenek sudah sangat jarang tersaji uwae seppang.

Barangkali, memang kayu seppang sudah tidak dibudidayakan lagi karena
hutan yang dulunya didominasi dengan tumbuhan secang, dialihfungsikan menjadi kebun cokelat ataupun tanaman budidaya lain.

Soal kesehatannya, tumbuhan ini dipercaya berkhasiat. Ekstrak kayu secang mampu mengobati diare, sifilis, darah kotor, berak darah, malaria dan tumor (Anariawati, 2009). Selanjutnya, dapat digunakan sebagai penawar racun, pengobatan sesudah persalinan, katarak, maag, masuk angin dan kelelahan (Rahmawati, 2011). Selain itu, ekstrak cair kayu secang dapat dibalurkan pada bagian tubuh yang luka, serta dapat mengobati penyakit tulang keropos (osteoporosis).

Mufidah et al. (2012) mengemukakan bahwa ekstrak etanol kayu secang mampu menstimulasi sel osteoblast dan juga dapat menghambat pembentukan sel osteoclast. Ekstrak kayu secang juga bersifat antibakteri, yaitu dapat menghambat aktivitas bakteri dalam saluran pencernaan, karena diduga mengandung asam galat di dalam ekstrak kayu secang (Fazri, 2009).

Dalam tradisi minum masyarakat Bugis, orang-orangnya juga sering mengonsumsi air minum langsung dari wadah gumbang. Gumbang merupakan tempat penyimpanan air bagi masayarakat Bugis. Gumbang dibuat dari bahan batu bulu atau batu padas, batu salo atau batu sungai.

Pola pembuatannya melalui proses pemahatan. Prosesnya sendiri membutuhkan waktu lama, sebab bahan baku batu harus dicari di punggung-punggung bukit dulu, bahkan tak jarang ada yang harus menggali.

Orang-orang dahulu ada yang tidak ingin minum jika air yang disajikan tidak berasal dari gumbang. Jika ditanya alasannya, jawaban mereka sederhana saja, karena rasanya berbeda. Dan saking pekanya, mereka mampu membedakan, mana minuman yang berasal dari gumbang dan mana air yang berasal dari wadah lain.

Perihal tradisi minum air orang-orang dahulu menjadikan saya berpikir betapa mereka sangat menjaga kehidupannya hingga urusan makanan dan minuman pun sangat detail.

Hari ini, cucu-cucunya barangkali tak mengenal lagi tradisi itu, tapi semoga suatu saat dari lisan ataupun tulisan, kita masih bisa menghidupkannya kembali atau setidaknya mengetahui kejelian dan betapa detilnya nenek moyang kita dalam menjaga tubuh dan alam. Dua ruang yang tak bisa dipisahkan.

Editor: Almaliki