Etnis.id - Kalau ingin tahu rasanya rindu, maka merantaulah sejauh dan selama mungkin. Tanah rantau menawarkan kehidupan yang lebih mapan dan tantangan yang lebih beragam.

Sayang sekali, merantau bukanlah hal mudah. Sering kali orang-orang mengobati perjuangan atas kerasnya hidup di tanah rantau dengan bermudik atau setidaknya merasakan aroma yang membawanya pulang ke kampung halaman.

Orang Mandar terbiasa dengan aroma dapur dari ikan kuah khasnya, sebutannya bau peapi. Masakan inilah yang kerap dirindukan anak rantau yang jauh dari tanah kelahiran. Sampai mereka agak sulit membedakan antara rindu pada masakan ibu atau tanah kelahiran.

sebab setiap balik ke rumah, para ibu yang memiliki anak rantau akan menawarkan “Upeapiango’o bau peapi, kambe?” (Apakah kamu ingin Ibu memasak bau peapi untukmu?) Dan itu hanya bisa terjadi di tanah Mandar, sebab bahan untuk memasaknya hanya tersedia di sana.

Entah bermula dari dapur mana, masakan ini  sama sekali tidak mengenal kasta. Disajikan di rumah masyarakat bawah, menengah, sampai kalangan atas. Semua pun bisa menikmatinya. Menurut saya, masakan ini adalah masakan kesetaraan antarkelas.

Masakan ini tentu saja butuh ikan segar, baik yang berukuran besar lalu dipotong beberapa bagian (toppa’) atau ikan berukuran sedang seperti jenis bandeng atau cakalang. Asam yang digunakan adalah asam mangga.

Nenek saya sering membuat asam itu, dia mengambil mangga muda
yang berjatuhan dari pohon, lalu mengolahnya: dikupas, dipotong berbentuk dadu panjang, lalu mengeringkannya di bawah terik matahari. Bentuknya akan mengisut dan berwarna lebih gelap.

Kalau dibandingkan dengana asam lain, asam mangga ini punya rasa yang paling cocok untuk bau peapi. Sesekali orang mandar menggantinya dengan belimbing. Bahan yang tidak boleh ketinggalan adalah irisan bawang endemik dari daerah Mandar.

Cukup lama saya mencari nama binomialnya di internet, tetapi tidak menemukan gambar yang pas untuk mewakili bawang endemik dari daerah Mandar ini. Bentuk umbinya mirip bawang dayak (merah dan lonjong), sementara daunnya mirip daun bawang merah tetapi bawang dari Mandar memiliki aroma yang cukup khas dibanding bawang lain.

Bawang Mandar/Pusvawirna Natalia Muchtar

Setelah mengiris bawang Mandar dan mencampurnya dengan beberapa bahan lain seperti merica, cabai rawit, cabai besar, kunyit, garam dan asam mangga, sentuhan terakhirnya adalah menuangkan dua-tiga sendok minyak kelapa murni. Maka aroma khasnya pun sudah lengkap, dimasak, dan siap menyimpan rindu.

Minyak kelapa murni di Mandar ini diolah secara mandiri oleh mayoritas perempuan (kecuali panjat pohon kelapa sih). Mulai dari memeras hasil parutan sampai mendidihkan santannya. Oh ya, ada tips menarik untuk mencegah uban: oleskan minyak kelapa murni yang masih hangat ke seluruh rambut.

Nenek saya sering melakukannya, dan terbukti berhasil. Jika tidak ingin kekurangan nikmatnya rasa bau peapi, maka lebih baik memasaknya di tungku dari tanah liat dan bahan bakarnya adalah kayu. Bau peapi ini jangan-jangan mengajarkan kita bahwa menggunakan bahan dan alat dari alam lebih nikmat ketimbang sasetan dengan dominasi bahan kimia.

Sampai saat ini, banyak rumah tangga di Mandar yang masih menggunakan dapur dari tungku dan kayu demi mempertahankan rasa bau peapi. Tidak perlu kekhawatiran berlebihan akan ke-eksis-an bau peapi, karena rasa dan aromanya tidak mudah dilunturkan modernisasi. Ia akan bertahan lama.

Sebelum Ibu bertanya setiap saya pulang ke Mandar, saya lebih dulu memintanya memasak bau peapi dan tidak pernah memasaknya sendiri. Sebab saya tahu, rasa masakan ibu yang lahir, besar, dan masih tinggal di tanah Mandar, jauh lebih enak ketimbang saya—anak rantau yang jarang pulang.

Editor: Almaliki