Bulan Sura yang merupakan bulan pertama dalam sistem penanggalan Jawa, sejak lama telah dianggap bulan yang istimewa sekaligus sakral. Saking sakralnya, bulan ini membuat sebagian masyarakat Jawa enggan atau bahkan tidak berani menggelar hajatan.
Kesakralan bulan sura ini barangkali ada kaitannya dengan banyaknya upacara adat atau tradisi yang digelar pada bulan ini. Salah satunya adalah tradisi Wahyu Kliyu". Tidak ada yang tahu secara pasti kapan pertama kali tradisi ini dilaksanakan. Namun, masyarakat yang melestarikan tradisi ini meyakini bahwa tradisi wahyu kliyu sudah ada sejak lebih dari seratus tahun yang lalu.
Wahyu kliyu ini adalah sebuah upacara tradisi berupa sebaran apem goreng. Meskipun demikian, tradisi sebaran apem ini berbeda dengan sebaran apem lainnya, baik dari segi jenis, bentuk apem yang digunakan, maupun waktu pelaksanaannya.
Bila umumnya apem yang digunakan dalam sebaran apem dalam keadaan utuh dan ukurannya cukup besar, berbeda dengan apem yang digunakan dalam upacara wahyu kliyu ini. Apem yang digunakan untuk tradisi wahyu kliyu ini diiris sedemikian rupa dan hanya berukuran sebesar mata uang gobang.
Selain itu, jika umumnya sebaran apem ini dilakukan pada sore atau siang hari. Hal yang sebaliknya justru terjadi dalam pelaksanaan tradisi wahyu kliyu. Tradisi yang hanya bisa dijumpai di Dukuh Kendal, Jatipuro, Karanganyar ini digelar tepat pada tengah malam saat bulan purnama.
Uniknya, meski seluruh warga sudah berkumpul. Selama waktu belum menunjukkan tengah malam atau lebih, sebaran apem tidak akan dimulai. Oleh sebab itu, ketika tradisi ini digelar, akan diisi dengan beberapa acara pendamping.
Sejak sekitar pukul tujuh malam, warga sudah berbondong-bondong menuju tempat yang telah ditentukan untuk menggelar tradisi Wahyu Kliyu. Mereka datang sambil membawa tenong yang berisi ratusan apem. Sembari menunggu tengah malam, mereka menyaksikan berbagai acara yang digelar untuk memeriahkan tradisi wahyu kliyu.
Ketika waktu menunjukkan waktu tengah malam, seluruh acara pendamping segera dihentikan dan acara utama (sebaran apem) dimulai. Warga yang semula duduk, kemudian berdiri sembari membawa tenong berisi apem yang dibawa dari rumah.
Setelah itu dengan aba-aba dari seorang sesepuh. Satu per satu apem yang dibawa dilemparkan ke sebuah tempat pelemparan. Sembari melempar apem yang dibawa itu, mereka mengucapkan wahyu kliyu sampai seluruh apem yang ada di dalam tenong habis. Setelah apem habis, apem yang dilempar itu kemudian ditutup menggunakan daun pisang.
Setelah semua apem yang dilempar tertutup oleh daun pisang. Apem-apem tadi lantas di doakan secara bersama-sama. Doa dipimpin oleh sesepuh dan pemuka agama setempat. Begitu doa-doa selesai dipanjatkan, daun pisang kemudian dibuka.
Selanjutnya, apem yang dilempar dibagikan lagi kepada seluruh warga yang hadir. Oleh masyarakat setempat apem tersebut dinamai berkat apem. Menurut Rakino, yang merepukan sesepuh setempat, apem yang dilemparkan pada saat tradisi wahyu kliyu digelar dapat mencapai sekitar 100.000 apem.
“Dalam acara wahyu kliyu ini, setiap Kepala Keluarga membawa tiga ratus empat puluh empat apem dengan rincian tiga ratus empat puluh apem kecil dan empat apem besar. Dua dari empat apem besar ini ditaruh di bagian bawah tenong dan sisanya ditaruh dibagian atas. Jika dihitung secara total, apem yang disebar dalam tradisi wahyu kliyunan malam ini ada sekitar seratus ribu apem,” ujarnya.
Rakino juga menambahkan bahwa, ukuran apem yang terbilang kecil dalam tradisi wahyu kliyu tidak terlepas dari sejarah tradisi wahyu kliyu sendiri. Ia menceritakan bahwa pada zaman dahulu Dukuh Kendal pernah tertimpa sebuah pagebluk.
Dalam peristiwa itu, warga tidak hanya mengalami gagal panen dan larang pangan saja tetapi terjadi pula hal yang mengerikan. Saat itu, apabila ada penduduk yang sakit di pagi hari, sorenya akan meninggal dunia. Dan apabila ada penduduk yang sakit pada sore hari, paginya akan meninggal dunia.
Hal semacam ini kemudian menjadikan Ki Lurah Renggowijoyo, pucuk pimpinan di Kendal pada masa itu dilingkupi dengan kesedihan yang teramat sangat. Terdorong keprihatinan melihat kondisi rakyatnya. Sang lurah pun melakukan laku tirakat untuk memohon petunjuk dari Tuhan YME.
Setelah laku tirakat dilaksanakan selama beberapa hari, bertepatan dengan malam purnama di bulan sura, Ki Lurah mendapat mimpi di desanya terjadi gempa bumi besar yang membuat tanah di desanya terbelah.
Ketika bangun dari tidurnya, Ki Lurah masih saja memikirkan mimpi yang diterimanya malam itu. Di tengah-tengah pencarian jawaban atas mimpi yang diterimanya, tiba-tiba terdengar suara kentongan. Ki Lurah dan beberapa warganya segera berkumpul untuk mencari tahu tentang sebab-musabab ditabuhnya kentongan itu.
Saat itu, Ki Lurah melihat tanah di desanya terbelah, sama persis dengan yang ada dalam mimpinya. Lalu Ki Lurah mengutus salah seorang warga untuk mengambil bambu yang digunakan untuk mengukur kedalaman lubang yang muncul secara tiba-tiba itu.
Rupanya lubang itu sangatlah dalam. Bambu harus disambung terlebih dahulu, agar dapat diketahui dasar dari lubang itu. Setelah diketahui kedalamannya, bambu yang digunakan untuk mengukur lubang kembali diangkat.
Pada waktu bambu itu diangkat, ternyata ada uang gobang yang tersangkut. Penemuan uang gobang dari lubang yang menganga itu dan segera dilaporkan ke Pura Mangkunegaran. Saat pelaporan itu lalu keluarlah perintah untuk mengadakan kembali apeman, walaupun apem yang digunakan hanya sebesar uang gobang.
“Semenjak saat itu, sampai sekarang acara tradisi sebaran apem yang dinamakan wahyu kliyu ini terus diadakan. Terselenggaranya acara ini, selain untuk melestarikan tradisi peninggalan leluhur juga sebagai penolak pageblug,” terang Rakino.
Dalam kesempatan itu, Rakino juga menyebutkan bahwa wahyu kliyu yang dibacakan warga saat melempar apem ini mulanya berasal dari bahasa Arab yang berbunyi ya hayyu ya qoyyum, yakni jarwan atau terjemahan bebas dari kata tersebut adalah meminta kekuatan dan pertolongan kepada Tuhan YME dalam menghadapi segala cobaan yang ada dalam kehidupan.
Sebaran apem yang dilakukan pada tengah malam itu sendiri merupakan puncak acara dari rangkaian acara tradisi lainnya yang digelar di Dukuh Kendal. Sebelum puncak acara itu, di hari sebelumnya telah dilakukan selamatan dan ziarah di makam sosok yang telah babad alas di daerah kendal. Tokoh tersebut dikenal dengan nama Nyai Rondho Menang.
Acara pun berlanjut dengan serangkaian acara lain, seperti pengajian, karawitan, sampai dengan jamasan pusaka yang dimiliki oleh masyarakat Kendal. Hingga akhirnya, acara pamungkasnya adalah sebaran apem wahyu kliyu.
Penyunting: Nadya Gadzali