Gondo Durasim namanya, populer dengan nama Cak Durasim. Seniman ludruk legendaris yang melakukan perlawanan terhadap penjajah Jepang melalui pementasan ludruk. Ia mengobarkan semangat perlawanan kepada rakyat agar menolak berkolaborasi dengan Jepang. Ia juga suarakan aspirasinya melalui kidungan, yaitu semacam pantun yang dilagukan. Hingga akhirnya seniman kelahiran Jombang itu ditangkap, dipenjarakan, dan tak lama kemudian meninggal dunia. Kidungannya yang terkenal adalah Pagupon omahe doro, melok Nipon tambah soro (Pagupon rumah merpati, ikut Jepang bertambah sengsara).

Nipon dalam Ludruk Cak Durasim/Henri Nurcahyo

Tidak sebagaimana pantun pada umumnya, kidungan tersebut bukan sekadar kesamaan bunyi akhir kata dalam kalimat sampiran dan isi. Mengapa dipilih kata pagupon atau bekupon bukan hanya karena berakhiran bunyi yang sama dengan Nipon? Begitu pula kata doro bukan hanya karena sama bunyi akhirnya dengan kata soro. Ada makna tersembunyi yang mengandung pesan perjuangan yang sangat kontekstual pada saat itu. Menurut saya, inilah kidungan paling dahsyat yang masih relevan hingga masa sekarang ini.

Kalimat lengkap dari kidungan itu berbunyi:

Nisor penirop, dhuwur pagupon (dibawah terop, di atas pagupon)

Pagupon iku omahe doro (pagupon itu kandangnya burung dara)

Awak mlarat dijajah Nipon (diri miskin dijajah Nipon)

Melok Nipon tambah Sengsoro (ikut Nipon tambah sengsara)

Pilihan terhadap kata pagupon dan doro itu menunjukkan golongan masyarakat mana yang hendak disasar oleh Cak Durasim. Di kampung-kampung Surabaya ada tradisi adu doro, yaitu lomba balap burung merpati, meskipun biasanya ditunggangi untuk permainan judi. Namun yang jelas, tradisi ini hanya ada di perkampungan rakyat miskin, bukan mereka yang tinggal di perumahan atau di komunitas masyarakat gedongan.

Kata doro, dara, atau burung merpati itu juga menyimbolkan makna perdamaian, disamping juga bermakna kesucian, kesetiaan, bahkan juga simbol romantis. Oleh karena itu, ada sebuah ungkapan “merpati tak pernah ingkar janji.” Dengan kata lain, kidungan tersebut dapat dimaknai bahwa Cak Durasim mengajak rakyat untuk setia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun, dara juga dapat dimaknai sebagai remaja, sehingga pesan kidungan ini juga ditujukan kepada generasi muda.

Dalam konteks zaman itu, Cak Durasim ingin mengajak agar rakyat jelata, khususnya generasi muda, agar tidak dibodohi oleh penjajah Jepang dengan janji-janji manisnya. Mereka menyebut dirinya saudara tua, Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia, Jepang pemimpin Asia, dan lain sebagainya. Semua itu adalah omong kosong belaka. Pada kenyataannya, penjajahan Jepang jauh lebih kejam jika dibandingkan penjajahan Belanda.

Relevansi Masa Kini

Di masa kini, sesungguhnya kidungan tersebut masih tetap relevan. Bahwasanya penjajahan itu bukan sekadar penjajahan secara militer, tetapi juga penjajahan politik, penjajahan ekonomi, dan juga penjajahan mental serta budaya. Satu contoh kecil saja, Indonesia yang mengklaim sebagai negara agraris ternyata masih mengimpor produk-produk pertanian, termasuk kebutuhan pokok berupa beras. Apakah ini bukan sebuah penjajahan ekonomi?

Ketergantungan berbagai produk ekonomi terhadap negara lain bukan hanya produk pertanian saja. Ini menandakan bahwa Indonesia masih terjajah secara politik dan ekonomi. Sebab yang dibutuhkan bukan sekadar ketahanan pangan, melainkan kedaulatan pangan.

Demikian pula penjajahan dalam bentuk budaya. Lihat saja betapa masih banyak masyarakat yang merasa rendah diri dengan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa sendiri. Mereka menganggap bahwa budaya bangsa lain, khususnya dari Barat, lebih unggul dibanding budaya sendiri. Mereka menggandrungi dan mengekor apa saja yang disukai dan berlaku di negara lain. Mulai dari busana, kesenian, arsitektur, gaya hidup, mental dan bahkan juga pemikiran.

Mereka beranggapan bahwa budaya bangsa sendiri adalah sesuatu yang usang, ketinggalan zaman, ndeso, dan layak ditinggalkan. Mereka malas dan tidak tertarik menggali kekayaan budaya bangsa sendiri. Malah di kalangan remaja ingin menikah dengan bule dengan alasan “ingin memperbaiki keturunan”.

Adegan dalam Ludruk Cak Durasim/Henri Nurcahyo

Ironisnya, anggapan seperti ini juga disuarakan atas nama agama. Kebudayaan bangsa sendiri dikafir-kafirkan, musyrik, dan dimusuhi. Bahkan pada tataran paling ekstrim, pelaku budaya nusantara dihalalkan darahnya. Masih saja terjadi ritual adat seperti petik laut dan nyadran yang dibubarkan. Lihat juga di sinetron-sinetron, yang menjadi pahlawan adalah mereka yang bersorban, berjubah, bersenjatakan tasbih atau kitab suci. Sementara yang menjadi musuh dan harus dibasmi selalu berupa sosok yang mengenakan busana adat daerah atau yang digambarkan sebagai dukun dan penganut aliran sesat. Ini sudah menjadi stereotype.

Bagaimana mungkin tradisi dan kekayaan budaya masa lalu yang sudah berabad-abad hidup di tengah masyarakat dimusuhi lantaran dianggap sesat dan harus diluruskan? Sementara mereka yang memusuhi itu justru membawa budaya luar yang dianggapnya lebih baik dan “direstui” Tuhan?

Barangkali mereka lupa bahwa para Wali Songo dahulu menyebarkan agama dengan cara-cara budaya. Wali Songo tidak memusuhi budaya dan tradisi, justru melebur dalam adat dan kebiasaan masyarakat. Maka dari itu, ada carangan (kreativitas baru) dalam lakon-lakon wayang yang sesuai dengan syariat agama. Ada penciptaan tokoh-tokoh baru, penafsiran makna kata dan nama tokoh, bahkan merasuk ke hal yang substantif, yaitu mengubah politheisme menjadi monotheisme.

Bahwasanya senjata yang paling dahsyat dalam pewayangan itu bukanlah panah, pedang, gada atau apapun, melainkan kalimasada yang sesungguhnya dapat dimaknai sebagai “kalimat syahadat”. Jadi, mengapa masih ada yang memusuhi wayang? Mengapa ada yang menolak gamelan? Apa mereka tidak tahu bahwa salah satu Wali Songo itu menyebarkan agama melalui gamelan? Karena itu dinamakan Sunan Bonang (nama salah satu gamelan). Bahwa Raden Patah adalah ulama yang berperan besar dalam pengembangan wayang kulit.

Penulis dari Swedia, Juri Lina, dalam buku “Architects of Deception - the Concealed History of Freemasonry” (2004) mengungkapkan bahwa ada 3 (tiga) cara menjajah dan melemahkan suatu negeri. Pertama, kaburkan sejarahnya. Kedua, hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak dapat dibuktikan lagi kebenarannya. Ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya adalah primitif dan bodoh.

Ketiga cara itu sudah pernah dilakukan oleh Belanda sehingga sanggup menguasai bangsa Indonesia hingga ratusan tahun lamanya. Belanda merekayasa sejarah, mengubah dan menciptakan kitab-kitab sejarah, melakukan politik adu domba dan pecah belah (devide et impera), merampas naskah-naskah leluhur untuk dibawa ke negerinya. Pengaburan sejarah adalah kejahatan terbesar yang dilakukan oleh penjajah Belanda kepada bangsa Indonesia.

Dan ternyata, dampaknya masih terasa hingga saat ini. Lihatlah, betapa mudahnya bangsa ini dipecah belah dan saling memusuhi terhadap sesama anak bangsa sendiri. Pelakunya memang bukan Belanda, melainkan “Belanda” dalam wujud yang lain. Bagaimana mungkin negeri yang sudah merdeka selama 76 tahun masih mempersoalkan perbedaan agama, suku dan golongan? Sementara jauh sebelum merdeka, anak-anak muda sudah mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.

Sepertinya kita belum terlambat untuk memahami, menyadari dan bangga terhadap kekayaan budaya bangsa sendiri. Dalam hal politik, ekonomi dan berbagai bidang, boleh saja Indonesia dianggap sebagai negara berkembang di dunia ketiga. Tetapi dalam hal sumberdaya budaya, Indonesia adalah negara superpower. Ini pengakuan dari UNESCO sendiri.

Sumberdaya budaya adalah harta karun yang semakin digali malah akan bertambah banyak. Berbeda dengan sumberdaya alam yang semakin digali semakin habis. Atau sumberdaya manusia yang semakin lama semakin tua dan mati.

Membangkitkan kembali kebanggaan budaya bangsa sendiri itulah yang diperlukan sekarang ini dengan kehadiran para pahlawan. Bahwa yang disebut pahlawan bukan hanya mereka yang maju perang memegang senjata, melainkan (mengutip KBBI) adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani.

Apa yang dilakukan Cak Durasim dan kawan-kawannya itu adalah bukti bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya dilakukan melalui perang militer dan politik tetapi juga melalui seni budaya. Seniman adalah juga bisa disebut pahlawan.

Ludruk Cak Durasim menampilkan seniman sebagai pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan/Henri Nurcahyo

Nama “Cak Durasim” sudah diabadikan menjadi nama gedung seni pertunjukan di kompleks Taman Budaya Jawa Timur, lengkap dengan patung dada di halamannya. Makam Cak Durasim ada di kompleks pemakaman umum Tembok Surabaya. Juga dilengkapi dengan patung dada serta kutipan kidungannya. Seharusnya kedua penanda ini adalah menjadi pengingat terhadap jasa-jasa pahlawan ludruk tersebut.

Cak Durasim adalah seniman legendaris yang merupakan representasi rakyat jelata yang tidak ingin menjilat kekuatan asing demi kebahagiaan semu, tidak mau dibodohi dengan janji-janji manis yang semuanya palsu. Lewat kidungan itulah dia menyuarakan pesan moral yang masih relevan hingga kini dan masa depan. Bahwa kemerdekaan dan kedaulatan bangsa adalah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar. Apalah artinya merdeka secara formalitas politis belaka manakala masih tidak berdaulat sebagai bangsa?

Karena itu, tidaklah berlebihan mengaitkan kidungan Cak Durasim dengan semboyan Tri Sakti dari Bung Karno:

Berdaulat dalam politik

Berdikari di bidang ekonomi

Berkepribadian dalam kebudayaan.

Penyunting: Nadya Gadzali