Jakarta, Etnis.id - Ada minuman tradisional "berbahaya" bagi orang Minahasa atau orang Manado, yang namanya cukup unik, yakni Cap Tikus. Ia sebutan masyarakat secara turun-temurun. Bukan merek. Minuman ini tergolong minuman keras, dan kadar alkoholnya dirasa tinggi.
Para tetua Minahasa dulunya, bahkan sering memberitahu kalau minuman ini sekadar penghangat tubuh. Mereka yang menjadi petani, biasanya sebelum bertani, meminum satu seloki cap tikus agar semangat mereka bertambah.
Mereka paham efek minuman ini, jika dikonsumsi berlebihan, maka akan membahayakan konsumennya. Maka diciptakan pemeo, jika minum satu seloki cap tikus, cukup untuk menambah darah, dua seloki bisa masuk penjara, dan minum tiga seloki bakal ke neraka.
Musim dan zaman berganti, kini cap tikus telah berubah menjadi tempat pelarian. Cap tikus beralih rupa menjadi minuman tempat pelampiasan nafsu, serta alat utama untuk mabuk-mabukan, yang kemudian menjadi sumber malapetaka.
Tak afdal rasanya, bagi yang lidahnya suka dimanjakan dengan alkohol dan minuman tradisional, jika datang ke Manado, tak mencari cap tikus. Cap tikus sudah menjadi jenama tersendiri di Manado. Sebenarnya dari mana sih muasal pembuatan cap tikus ini?
Perlu diketahui, minuman yang diproduksi tanpa ada campuran kimia ini, dihasilkan dari tangan-tangan petani di daerah yang ladangnya banyak ditumbuhi pohon seho atau nira aren.
Dari sana, kemudian orang Minahasa dan orang Sangir membuatnya dengan cara tradisional. Mereka menyadap buah aren atau yang biasa disebut batifar, untuk menghasilkan minuman saguer yang dalam bahasa Minahasa disebut akel.
Bagaimana proses batifar itu sebenarnya? Caranya, jika petani menemukan tangkai bunga pohon aren yang sebesar pergelangan tangan orang dewasa, mereka lalu membersihkannya dan dipukul-pukulnya selama beberapa hari, kemudian dipotong.
Dari potongan itu, maka keluarlah getah seputih susu yang menetes dengan cepat yang akhirnya ditampung. Getah itulah yang dinamakan saguer. Saguer lalu dialirkan melalui pipa-pipa bambu sulingan yang sudah diatur sedemikian rupa. Uap panas yang keluar dari sulingan, akan berubah menjadi cairan yang kemudian dinamai cap tikus.
Mereka, para pembuat cap tikus itu, lebih senang memilih lokasi pegunungan yang dingin dan tempat berbukit, supaya pipa bambu penyulingan tidak di atas pohon, tapi di permukaan tanah perbukitan.
Dalam cerita rakyat Manado yang sudah melegenda, konon ada dewa yang dinamai Makawiley, didaulat menjadi dewa saguer pertama (leway atau busa saguer).
Kemudian ada juga dewa saguer yang bernama Kiri Waerong. Ia dihubungkan dengan pembuatan gula merah dari saguer yang dimasak.
Dewa saguer yang ketiga adalah Dewa Parengkuan, yang dihubungkan dengan air saguer yang menghasilkan cap tikus. Nama Parengkuan diawali dari asal kata rengku, artinya minum sekali teguk di tempat minum yang kecil.
Orang Minahasa meyakini, Parengkuan adalah orang Minahasa pertama yang membuat minuman cap tikus. Itulah sedikit referensi soal mengapa cap tikus bisa mengakar menjadi budaya orang Minahasa.
Awalnya cap tikus konon dinamai sopi. Belakangan berubah ketika orang Minahasa yang mengikuti pendidikan militer untuk menghadapi perang Jawa, sebelum tahun 1829, menemukan sopi yang dijual tauke di Benteng Amsterdam Manado, dalam botol biru bergambar ekor tikus.
Sementara dalam kultur macam memasuki rumah baru, para penari Maengket menyanyi lagu Marambak, untuk menghormati dewa pembuat rumah, yang dinamai leluhur Tingkulendeng.
Saat menari, tuan rumah harus menyodorkan minuman cap tikus pada Tonaas, pemimpin upacara adat naik rumah baru, sambil penari bernyanyi, mereka menyebut "tuangkan minuman cap tikus (sopi) wahai tuan rumah" atau bahasa Minahasanya, tuasan e sopi e maka wale.
Dalam manuskrip yang ditulis pengeliling dunia Colombus dari Spanyol, bernama Antonio Pigafetta, bersama kawan sekapalnya, setelah mereka bersandar di Pelabuhan Ternate pada tanggal 15 Desember 1521, usai melewati pulau Sangir dan Talaud, mereka dijamu Raja Ternate dengan tuak yang dinamakan cap tikus.
Belum jelas dalam manuskrip yang dibukukan berjudul “Perjalanan keliling dunia Antonio Pigafetta” terbitan tahun 1972 itu, perihal bagaimana dan dari mana Raja Ternate mendapatkan minuman tradisional itu. Hal ini patut dipertanyakan, sebab masyarakat Ternate tidak punya budaya batifar.
Spekulasi lalu menguar, bahwa kemungkinan besar minuman itu, proses masuknya, sama halnya dengan beras yang didatangkan ke Ternate dari Minahasa. Budaya produksi dan penjualannya masih berlanjut di Minahasa sampai saat ini ke Irian.
Catatan ini lalu menguatkan soal siapa yang mengajarkan cara membuat cap tikus, sebenarnya. Bukan orang Spanyol, sebab sewaktu mereka datang di Ternate, minuman itu sudah ada.
Perlu pula diketahui, minuman itu menjadi bumerang yang berakibat
orang Spanyol jadi diusir dari Minahasa. Sebab serdadu mereka suka mabuk-mabukan, dan akhirnya membunuh Dotu Mononimbar di Tondano, lalu melukai anak Kepala Walak Tomohon tahun 1644.
Malahan beredar pula cerita, kalau yang mengajari orang Minahasa membuat saguer adalah pedagang dari Cina. Manuskrip ringan tentang sejarah budaya Minahasa yang ditulis oleh Jessy Wenas mencatat, bahwa Cap Tikus sudah dipasarkan pada 1512- 1523 oleh pedagang Cina di Benteng Amsterdam Manado.
Dari sini asumsi beredar, bahwa orang Cina lah yang mengajarkan orang Minahasa untuk membuat minuman keras cap tikus dengan menyuling saguer.
Tentu saja bagi orang-orang tua dulu, cap tikus tidaklah jelek-jelek amat. Alasannya, menurut buku Adatrechtbundels XVII terbitan 1919 halaman 79, minuman keras tradisionil ini telah menyelamatkan orang Minahasa dari ketergantungan candu dan opium pada abad 18. Secara tidak langsung, gaya hidup mereka berubah.