Jakarta, Etnis.id - Sewaktu kecil, aku pernah diberi tahu kalau banyak orang di Sulawesi Selatan bisa mengangkat rumah. Bahwa orang Bugis itu kuat-kuat, sebab rumah saja bisa dipindahkan dari tempat satu ke tempat lainnya.

Tubuhku kemudian tumbuh semakin besar berikut umurku makin bertambah, dan para orang-orang tua di lingkunganku makin bisa kupercaya omongannya.

Mereka berbicara seperti sedang menyulap koin yang disimpan di tangan kirinya, dan saat dibuka, koin itu sudah hilang. Percaya dan tidak. Mereka berbicara apa saja tanpa malu, jika ada adat dan budaya yang harus disampaikan.

Pada sebuah masa, di Kajang, Kassi, Kabupaten Bulukumba, siang sudah cukup terik. Orang-orang beramai-ramai berdiri di bawah kolong rumah kayu atau rumah panggung seorang tetanggaku. Orang Bugis menyebutnya Bola Ajue.

Ada gelas dan cerek yang penuh kopi hitam yang disediakan saat itu. Para lelaki membuka bajunya, dan mereka semua keringatan. Mereka baru saja menggergaji beberapa balok besar dan kayu-kayu yang sudah disiapkan untuk membangun sebuah rumah.

Tak lama mereka kemudian memasangnya. Mereka membuat rumah itu dengan cekatan dan cepat. Para orang-orang tua yang bekerja lalu berhenti sambil terengah-engah, menyesap kopi dulu, makan kue yang disiapkan, lalu melanjutkan pekerjaan hingga proses itu selesai. Kini, rumah itu tinggal diangkat, dipindahkan ke tanah lapang, di sekitar rumah itu dibuat.

Aku menemukan itu di Sulawesi Selatan. Saat ini, kebiasaan masyarakat memang selalu menjadi hal menarik untuk dilihat bahkan dituliskan seperti ini.

Jauh setelah kejadian itu, aku baru tahu, kalau itu adalah sebuah sikap saling bantu antarmasyarakat atau bahasa yang dipopulerkan Orde Baru yakni gotong royong. Mengangkat rumah atau memindahkan rumah itu disebut mappalette bola, jika membuatnya secara beramai-ramai disebut mappatettong bola.

Selain di Kajang, Kabupaten Barru juga melakukan hal serupa. Barru dikenal memiliki tipe masyarakat yang majemuk dan terbuka. Di sana, rumah-rumah mereka didominasi rumah panggung yang sangat khas.

Jika rumah panggung itu mewah dan besar, orang Barru menyebutnya sebagai Sao Raja. Satu sao raja bisa ditemukan di Lapinceng, Kecamatan Balusu. Sao raja itu konon sudah ada setelah banyak kerajaan yang menyatu di sana, hingga membentuk Kabupaten Barru.

Sao Raja La Tenri Bali/Denna Pratiwi

Dalam konteks yang lebih luas, tipe rumah Bugis sendiri terbagi dua tipe, yaitu rumah sao raja (salassa) dan bola. Saoraja adalah rumah besar yang ditempati oleh keturunan raja (kaum bangsawan) dan bola adalah rumah yang ditempati oleh masyarakat biasa.

Rumah bugis itu sendiri sangat khas dibanding dengan rumah kayu yang ada di Sumatera dan Kalimantan. Bedanya ada pada bentuk. Biasanya, bola ajue atau sao raja, memanjang ke belakang dengan tambahan di samping bangunan utama dan bagian depan yang disebut lego-lego.

Tak cuma di Kajang lagi-lagi, tak jauh dari Barru, di Soppeng, pembuatan rumah panggung oleh masyarakat di Kecamatan Soppeng Riaja Desa Siddo Dusun Ceppaga, masih dilakukan secara gotong royong juga.

Hal itu bisa dilihat dari prosesi adat istiadatnya sampai berdirinya rumah panggung tersebut, bahkan dilakukan sebelum fajar terbit. Para orang-orang tua percaya, harus dilakukan petuah adat untuk keselamatan rumah baru.

Contohnya, sebelum semua tiang rumah didirikan, harus bersandar pada hakikat keagamaan. Hal ini terlihat dari pembacaan “Barasanji” berisi salawat nabi besar Muhammad SAW.

Melihat yang lebih spesifik, orang Bugis mengistilahkan hal terkecil dari rumah itu, dengan nama “Posi Bola”. Pusar rumah atau posi bola itu, dianggap tumpuan berdiri sao raja atau bola ajue.

Selama berlangsungnya ritual prosesi bangun rumah kayu tersebut, ada yang menarik dilakukan pemilik rumah tersebut. Sebelum semua tiang rumah berdiri, pemilik rumah harus berada pada titik posi bola.

Dalam pembuatan rumah itu, para warga yang kadang berjumlah puluhan orang bahkan biasa juga ratusan, tampak menikmati kerja sama itu. Pemilik rumah yang menghargai mereka, lantas menyiapkan makanan yang lezat-lezat, baik kudapan atau pun makanan berat.

Hal ini patut kita banggakan, jika masyarakat kita masih tersimpan nilai-nilai kegotongroyongan yang kuat, yang menghadirkan generasi yang paham akan arti kesatuan.