Etnis.id - Di Batam itu menarik. Orang-orang berbaur satu sama lain. Tak ada perbedaan mencolok antara suku satu dan lainnya. Semua bisa disatukan lewat orkes.
Wajah Batam umumnya dianggap sebagai kota industri dan surganya para pencari kerja. Orang-orang dari berbagai daerah berlomba-lomba berdatangan untuk bekerja memperbaiki taraf hidup menjadi lebih baik secara materi.
Banyak kaum urban meninggalkan kampung lalu memilih mengadu nasib di Batam. Mereka yakin, rezeki negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia bisa terciprat ke dirinya.
Mayoritas masyarakat Kota Batam bekerja sebagai buruh pabrik, atau bekerja di galangan pembuatan kapal sebagai tukang las, tukang cat, teknisi kapal dan sebagainya. Sebagian lagi adalah wiraswasta, pedagang, pegawai pemerintahan.
Sebab banyaknya pekerjaan, mengundang banyak orang datang dengan perbedaan suku. Batam jadi kota yang heterogen pada intinya. Masyarakat lama Batam adalah masyarakat suku Melayu.
Sebab itu, mereka menciptakan menciptakan ruang-ruang interaksi sosial yaitu berkumpul bersilaturahmi, serta mewujudkan suatu organisasi etnis dengan berbadan hukum resmi. Semisal Paguyuban Jawa Timur, IKBI (Ikatan Keluarga Batak Islam), PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Pariaman) dan sebagainya.
Organisasi etnis yang ada di Batam merupakan representasi rasa rindu terhadap kampung halaman para perantau. Berbagai macam kegiatan diadakan oleh organisasi-organisasi itu, seperti seni budaya dan kegiatan-kegiatan sosial.
Dalam pandangan saya, mereka semua bisa menerima perbedaan pada praktik interaksi sosial kehidupan sehari-hari. Perbedaan itu bisa saja bahasa, budaya, dan cara bersikap selama bertetangga di suatu komplek atau di kampung.
Peristiwa ini dapat dilihat saat orang-orang menggandeng Bahasa Melayu bersama Bahasa Indonesia. Para pemuda dan pemudi yang lahir di Kota Batam, menggunakan itu. Karenanya, identitas etnis dari bapak dan ibu mereka dianggap menjadi Melayu Batam.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi, sebenarnya etnis asli Kota Batam ialah etnis Melayu Kepulauan atau Melayu Pesisir. Kebanyakan dari mereka berdomisili di Kampung Tua, wilayah tepi pantai. Mayoritas masyarakatnya menjadi nelayan.
Tipikal Melayu pesisir hidupnya tidak terlalu terobsesi terhadap materi, tidak seperti orang-orang perantau yang pekerja keras, selalu ingin sukses, serta memiliki rumah dan mobil selama berada di Kota Batam.
Sikap terbuka etnis Melayu di Kota Batam terlihat jelas saat bagaimana para pendatang yang tinggal dan bekerja baik di Kota pun di desa, diterima oleh masyarakat Melayu.
Penerimaan semakin terasa sekali saat orang asli Batam menerima etnis-etnis lain untuk nikah dengan pemuda dan pemudi Melayu serta tinggal kampung-kampung Melayu yang ada di Kota Batam.
Ada pengalaman menarik soal bagaimana musik menyatukan pelbagai etnis di Batam. Itu berdasar pengalaman saya ketika meneliti kelompok musik Orkes Melayu Pancaran Senja tahun 2018 silam di Kampung Melayu Batu Besar Nongsa.
Para musisi Orkes Pancaran Senja adalah kelompok musik etnis yang mewakili identitas Melayu Batam. Kelompok musik OMPS berdiri sejak tahun 1998 yang diketuai oleh Rahman.
Rahman merupakan tokoh musik Etnis Melayu berasal dari Kampung Melayu Batu Besar Batam. Eksistensi Rahman dan OMPS cukup diakui oleh masyarakat Melayu di Batam.
Pelbagai macam event pertunjukkan seni budaya telah dilalui oleh mereka, seperti event pernikahan dan event-event resmi pemerintahan yang diadakan oleh Pemerintah Kota Batam.
OMPS sendiri terkenal di kalangan masyarakat Kota Batam. Keterkenalan itu bisa dilihat dari jadwal pertunjukan musik yang ditentukan oleh OMPS pada hari Minggu di Pantai Melayu.
OMPS paham, itu adalah momen senggang bagi para pekerja Kota
Batam yang bisa dimanfaatkan dengan memburu rezeki lewat pertunjukan musik Melayu.
Saya menganggap kejenuhan masyarakat Kota Batam dari rutinitas membutuhkan sarana ruang ekspresi untuk menghadirkan energi positif semangat bekerja keesokan harinya.
Konse di pantai Melayu yang menjadi objek wisata keluarga dengan keindahan alamnya, dapat memberi ruang kepada penonton yang hadir untuk bernyanyi dan berjoget bersama menikmati sajian rentak-rentak musik Melayu.
Rentak-rentak yang mainkan oleh kelompok OMPS ibarat magnet yang menarik perhatian penonton saat berada di pantai Melayu. Penonton merespons terhadap rentak inang, rentak zapin, dan rentak joget sembari berjoget berpasang-pasangan.
Penonton yang bergoyang berpasang-pasangan disebut juga bertandak dengan penuh ekspresi kegembiraan atau keceriaan. Begitu juga dengan pemusik OMPS, terkadang ada beberapa pemusik seperti pemain tamborin dan penyanyi ikut berjoget bersama penonton.
Candaan dan tawa senyuman dari penonton dan pemusik OMPS memperlihatkan bahwa rasa jenuh dari rutinitas pekerjaan sehari-hari harus segera disalurkan melalui pemandangan suasana alam seperti pantai, laut, serta pertunjukan musik.
Sesekali, penonton dan pemusik yang mengalami puncak kegembiraan selama permainan rentak joget akan mencetuskan kalimat eee...wahh...wahh... wahh pada bagian interlude lagu.
Eeewahh ialah ekspresi kagum, puas, senang dan gembira terhadap suatu pertunjukan musik rentak yang mempesona memberikan kesan kepada pemusik dan penonton.
Dari fenomena interaksi pemusik dan penonton OMPS, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Melayu Batam Kampung Melayu Batu Besar terbuka terhadap etnis lainnya, baik secara interaksi pergaulan sosial.
Keterbukaan itu dipengaruhi oleh struktur alam berlokasi berada di pesisir pantai yang pada masa dahulu kala dan sekarang, masih menjadi tempat bersandar kapal serta jalur perdagangan yang mempertemukan orang-orang dari berbagai kalangan etnis.
Hal ini juga terbukti secara artefak melalui asal-usul instrumen musik Melayu. Bagaimana instrumen musik seperti biola, akordion, berasal dari Barat, sementara gendang rebana, tamborin, dan darbuka berasal dari Arab.
Perpaduan instrumen musik Barat dan Arab menciptkan ruang baru dengan sebutan Orkes Melayu Pancaran Senja dengan teknik permainan dan rasa musikal Melayu.
Dengan adanya pertunjukan musik Melayu dari kelompok OMPS yang berada di pantai Melayu Batu Besar Nongsa Batam. Identitas Melayu Batam semakin dikenal oleh masyarakat perantau Kota Batam serta lebih apresiatif dan partisipatif terhadap seni budaya Melayu.
Editor: Almaliki