Etnis.id - Di Sulawesi Selatan, para orang tua memiliki kebiasaan bersenandung saat bersama anak yang masih di bawah lima tahun (balita). Senandung itu biasanya sekadar untuk menghibur sang anak agar tidak rewel.

Selain itu, ada pula nyanyian yang menyiratkan pesan dan nilai dalam lagu yang dilantunkan. Lagu dalam bahasa Makassar disebut kelong. Kelong adalah salah satu bentuk dari tradisi lisan suku Makassar, yang banyak mengandung pesan, nasihat dan petuah.

Nursiah Tupa mengatakan dalam jurnalnya tentang Kelong Sisila-sila, bahwa kelong yang berkembang dari zaman generasi terdahulu penuh simbol atau perlambang yang dipakai dalam mengungkapkan isi pikiran dan perasaan hati penuturnya.

Saya kira penjelasan Nursiah benar adanya. Saya sendiri telah mendengar, mencatat dan membaca sejumlah lirik kelong dalam bahasa Makassar. Seperti sore kemarin, ketika saya meminta ibu saya melantunkan lagu yang biasa ia nyanyikan ke saya dan saudara saya saat masih kecil, lirik kelongnya banyak mengandung petuah dan harapan yang ditampilkan ke dalam simbol.

Ibu saya bersenandung: Pija-pija toa, kojjolo bongganna, mange malli gangang, gangang dentu’ dentu’, pallui naik nanu sare sare tongki, Manna je’ne na, pakkaci na, bale ngaseng.

Kelong di atas, kata ibu saya, dilantunkan kepada kami bersaudara saat masih balita dan baru belajar beridiri dan jalan. Kelong itu dilantunkan sambil memijat kaki sang balita, dengan harapan agar ia dapat cepat berdiri dan berjalan.

Hal itu dapat dilihat di frasa kojjolo bongganna yang berarti kuat pahanya. Selebihnya, lirik kelong itu berisi pesan dan harapan yang tersirat dalam bahasa kiasan. Seperti di frasa mange malli gangang dan pallui naik, yang artinya pergi membeli sayur dan memasak.

Kata ibu saya, hal ini menyiratkan harapan orang tua, agar kelak sang balita menjadi anak yang rajin. Sedangkan frasa; Nanu sare sare tongki, manna je’ne na, pakkaci na, bale ngaseng. Artinya dibagi-bagi ke kami, walau hanya airnya, bumbunya. Frasa itu menyimbolkan pesan dan harapan orang tua agar nantinya sang anak peduli pada orang lain dan tidak tumbuh menjadi anak yang pelit.

Lagu Anak Balita di Selayar

Selain lagu di atas, informasi tentang nyanyian untuk anak balita juga saya dapat saat membaca buku berjudul Nusa Selayar (2016), karya Ahmadin.

Dalam buku yang membahas mengenai sejarah dan kebudayaan masyarakat di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan ini, terdapat pula penjelasan tentang satu nyanyian untuk menghibur bayi atau balita. Pua-pua dede judul nyanyian itu.

Ahmadin menjelaskan, pua-pua dede dinyanyikan sambil bermain. Saya kira permainan pua-pua dede ini mirip seperti odong-odong, tapi bedanya ada pada lagu dan tunggangannya.

Pada permainan pua-pua dede, mulanya sang anak akan naik ke kaki orang tuanya yang lagi duduk atau berbaring. Di atas kaki orang tuanya, sang anak terlihat seperti sedang menunggangi kuda.

Balita/ETNIS/Ruslan

Lalu, orang tua pun bernyanyi sambil menggerakkan kaki yang ditunggangi anaknya. Pua-pua dede, ante’e mae ando, mange ngalle je’ne, je’ne lalakura, la paasa berang, berang lalakura, la pata’bang bulo, bulo lalakura, la pasuppi taju’, taju’ lalakura, la laerang naik sapo lohe, tanpa donti-donti, tanpa kio-kioe.

Lirik lagu pua-pua dede di atas dilantunkan dalam bahasa Selayar umum, yaitu bahasa Makassar dengan dielek konjo. Dijelasi Ahmadin, masyarakat kepulauan Selayar memiliki bahasa yang beragam, salah satu yang paling dominan dipakai adalah bahasa Selayar umum, yaitu bahasa Makassar dengan dielek konjo. Hampir sama dengan dialek bahasa di kabupaten Bulukumba.

Ahmadin menyampaikan pua dede berarti kakek/nenek buyut, ando juga berarti nenek. Sedangkan je’ne, berang, bulo dan taju’ berarti air, parang, bambu dan kembang. Lagu ini, kata Ahmadin, biasa dinyanyikan oleh bapak atau kakak sang balita, saat ibunya sibuk di dapur atau tidak berada di rumah.

Selain pua-pua dede, masih ada lagi lagu untuk anak balita di Selayar. Dalam bukunya, Ahmadin juga menyebut lagu bulang-bulang keke, sebagai lagu untuk balita yang mulai belajar bicara.

Bulang-bulang keke, ako sampa anrai, surampako kassi, kassi manompi, toli-toli jaha, kareta utang, lappa-lappa biadang, biadang baddong, baddong kasusu, kasusu parring, parring ma’rete-rete, pararang anrenreng tulu' ranrang lampanrai’ ri tamparang timoro’na.

Dijelasi Ahmadin, lirik lagu ini bercerita tentang seseorang yang berharap kepada bulan, agar terus memancarkan cahayanya dari ufuk barat. Lalu, harapan untuk bulan menyinari ufuk timur setelah burung bernama kassi berkicau.

Frasa terakhir, yang berbunyi; pararang anrenreng tulu' ranrang lampanrai’ ri tamparang timoro’na. Ahmadin sebut sebagai bagian dari latihan pengucapan atau berbicara bagi anak balita, sebab frasa ini banyak menggunakan huruf R di setiap katanya.

Frasa itu berarti seekor biawak menarik seutas tali menuju pantai atau laut timur. Begitulah lagu-lagu untuk anak balita dari suku Makassar dan Selayar di Sulawesi Selatan.

Tentunya, tradisi lisan ini mesti dilestarikan, agar kelak tidak hilang begitu saja. Saya sendiri hampir lupa pada lagu yang dinyanyikan oleh ibu saya, jika saja saya tidak terpantik mencari tahu lagi setelah membaca buku karya Ahmadin.

Saya membayangkan bila tradisi lisan ini hilang, maka ke depan kebanyakan anak balita akan tumbuh dan dibesarkan dengan pesan dan petuah yang ia dapat dari gawai, sebagaimana kebiasaan para orang tua masa kini menghibur dan menenangkan anaknya dengan gawai.

Editor: Almaliki