Etnis.id - Pernikahan merupakan perwujudan dari cinta dua insan yang sah sesuai dengan ketentuan agama dan juga negara. Pernikahan juga dianggap sebagai sesuatu yang sakral, agung dan monumental.

Makanya pernikahan tidak sebatas mengikuti ajaran agama saja. Lebih dari itu, peristiwa satu ini juga menyimpan arti mendalam. Mengenai prosesi pelaksanaannya, setiap daerah menyimpan berbagai upacara pernikahan yang berbeda-beda.

Pada masyarakat Jawa, pernikahan dianggap bukan hanya sebuah peristiwa bertambahnya keluarga baru, melainkan sebagai bentuk ikatan yang terdiri dari dua keluarga besar.

Kedua keluarga besar bisa jadi memiliki banyak perbedaan latar belakang. Untuk menghargai peristiwa monumental tersebut, sangat wajar sekali tatkala pernikahan dirayakan melalui berbagai tahapan prosesi yang sangat panjang, serta penuh dengan simbol-simbol tertentu.

Siraman merupakan salah satu wujud simbol dalam pernikahan masyarakat Jawa. Mengenai asal bahasanya, siraman berasal dari kata siram yang berarti mengguyur. Sebelum ijab kabul, sepasang pengantin akan siraman.

Berbicara mengenai hakikatnya, peristiwa ini bukanlah peristiwa pembersihan fisik saja, melainkan pembersihan jiwa. Membersihkan segala hal yang bisa menjadi gangguan, supaya saat melakukan prosesi ijab kabul, tidak ada aral yang melintang.

Mengenai pelaksanaan, ritus ini biasa dilakukan di antara pukul 10.00-15.00, tepat sehari sebelum upacara ijab kabul. Masyarakat Jawa memiliki keyakinan jika bidadari akan turun dan mandi saat itu.

Pengantin merupakan representasi dari seorang manusia yang cantik, menawan. Oleh karenanya, waktu mandinya sebaiknya sama dengan waktu mandi para bidadari.

Bidadari merupakan wujud visualisasi yang diinginkan oleh lelaki. Jika kita tarik lebih luas menggunakan paradigma filsafat, sesuatu yang diinginkan ini tidak lain adalah sesuatu yang mengandung nilai.

Bukan hanya menjelma sebagai wujud visualiasai saja, akan tetapi pelaksanaan ritus ini menyimpan sebuah tujuan yang mulia. Siraman diadakan sebagai cara untuk memohon rahmat kepada Tuhan Yang Maha Esa, supaya kelak calon pengantin bersih dari godaan, sehingga bisa membangun keluarga yang harmonis.

Ternyata hal ini selaras juga dengan ajaran filsafat Jawa tiga aras. Artinya manusia memiliki kesadaran mengenai keberadaan Tuhan, semesta dan juga kesadaraan akan keberadaan manusia lain.

Manifestasi dari keberadaan Tuhan tampak dalam lantunan doa-doa yang dipanjatkan saat prosesi siraman berlangsung. Manusia memohon keberkahan dan juga keselamatan di dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Hal ini juga serupa dengan ajaran monoteisme yang berarti manusia hanya meminta kepada Tuhan. Tidak ada hal lain yang memiliki kekuatan penuh selain Tuhan itu sendiri.

Siraman bukan hanya bertujuan mendapatkan rahmat serta berkah saja, melainkan sebagai upaya untuk membersihkan diri dari segala “kotoran” sampai bersih seutuhnya. Tentunya bersih jiwa dan juga bersih raga.

Secara simbolik siraman merupakan pertanda jika pengantin memiliki tekad kuat untuk berperilaku bersih. Bersih secara pikiran, kata-kata dan perbuatan.

Kemudian mengenai ajaran filsafat yang kedua dan ketiga, manusia harus memiliki kesadaran penuh akan alam dan juga sesama manusia sendiri, tentu sudah tercermin dari tujuan siraman ini.

Saat manusia mampu membersihkan, maka lahirlah perilaku baik dan juga benar. Perilaku baik dan benar inilah yang mampu melahirkan kehidupan yang selaras.

Editor: Almaliki