Dalam memasuki era modernisasi ini, banyak terjadi pergeseran seni dan budaya, baik ke arah positif maupun ke arah negatif. Tayub misalnya, yang lambat laun dianggap sebagai kesenian yang dekat dengan erotisme pengundang nafsu. Anggapan itu perlu diluruskan supaya Tayub kembali pada hakikat awal lahirnya Beksan Tayub. Jangan sampai pergeseran ke arah negatif ini masuk lebih dalam ke budaya Tayub. Mari kita tengok dan lebih dekat dengan sejatinya Beksan Tayub sejak awal hingga sekarang.

Kata Beksan berasal dari kata beksa yang artinya adalah “hambek Esa” yaitu menyembah kepada Tuhan yang maha Esa. Kata Tayub sendiri berasal dari kata “tata lan guyub”. Tata dalam bahasa Indonesia berarti semua hal tentang Beksan dari gerak seperti tanjak, pacak, lampah, ulat, hingga pembawaan gestur tubuh itu harus ditata dan diatur.

Tanjak dalam tari adalah cara berdiri yang benar seperti posisi kuda-kuda. Pacak adalah tata cara membawakan tari Beksan yang fokus, menjiwai, sabar, serius, dan tidak boleh seenaknya sendiri. Lampah adalah tata cara berjalannya kaki yang juga ada aturannya. Ulat adalah tata cara penglihatan atau mengatur pandangan bahwa pandangan mata penari Beksan sewajarnya saja ketika mulut tersenyum dan tidak boleh jelalatan. Guyup adalah penggambaran sebuah kerukunan, kekompakan, bergotong-royong dengan spirit satu rasa.

Beksan Tayub, menurut sejarah keraton merupakan tari yang sudah ada sejak zaman Keraton Singasari. Pada waktu itu memperingati pengukuhan Tunggul Ametung menjadi pemimpin di Tumapel. Setelah acara pengukuhan selesai, para kerabat raja bersama-sama melakukan Beksan Tayub.

Dari sanalah kemudian Jumenengan atau ritual adat untuk memperingati hari ulang tahun kenaikan tahta Raja selalu digelar Beksan Tayub. Tradisi ini akhirnya turun-temurun ke Jenggala, Kediri, hingga Majapahit akhir. Namun, Beksan Tayub tidak diadakan di Keraton Demak Bintara. Beksan Tayub diadakan lagi pada masa Kerajaan Pajang, Mataram, Kartasura, hingga Surakarta seperti saat ini.

Melihat sejarahnya, tampak bahwa Beksan Tayub ini adalah salah satu tari yang sangat penting di dalam kehidupan tembok Keraton. Fungsinya pun sangat identik dengan kepemimpinan seorang raja yang berwibawa, adil, dan dicintai rakyatnya. Beksan Tayub memiliki kandungan makna yang sangat dalam, menggambarkan seseorang yang mempunyai cita-cita yang tidak luput dari halangan, rintangan, dan godaan. Sehingga apabila ingin menggapai cita-cita tersebut harus menghadapi semua rintangan tersebut.

Ledhek atau penari Tayub dalam Beksan Tayub adalah simbol dari godaan yang menghalangi terwujudnya suatu cita-cita. Sehingga, apabila memiliki cita-cita tetapi tidak bisa menghindari godaan tersebut maka yang dilakukan akan sia-sia.

Ketika keadaan zaman mulai berubah, Beksan Tayub juga mengalami perubahan. Beksan Tayub yang dulu menjadi tari dalam upacara kenaikan tahta raja dan untuk upacara Jumenengan, mulai Keraton Surakarta Hadiningrat pada masa kepemimpinan Pakubuwana IV, berubah menjadi beksan untuk menyambut tamu, atau sebagai tari yang disuguhkan untuk menghormati tamu agung. Keadaan ini berlanjut hingga kepemimpinan Pakubuwana X.

Berawal dari watak orang-orang Belanda yang ada di Indonesia ketika itu, yang mempunyai watak kurang baik dengan semboyan 3 C yaitu Ciu, Colek, Cium. 3 C ini artinya ketika orang Belanda pada waktu itu menjadi tamu raja kemudian disuguhi Beksan Tayub, orang-orang Belanda tersebut kemudian mabuk-mabukan, mencolek penari Tayub dan menciumnya. Dari sinilah Tayub mulai dihapus dari Keraton dan diambil oleh para Adipati yang memimpin di Kadipaten.

Tamatlah Beksan Tayub dari dalam tembok Keraton. Dahulu secara kekuasaan seorang Raja masih di bawah orang-orang Belanda, sehingga apa pun yang dilakukan orang-orang Belanda sangat bebas dan raja tidak bisa berbuat apa-apa. Mulai dari mabuk-mabukan, pelecehan seksual, mencium penari Tayub, bahkan hingga diperkosa. Hal ini yang mengakibatkan Tayub dikeluarkan dari Keraton.

Keluarnya Tayub dari dalam tembok Keraton akhirnya berkembang di masyarakat. Tayub menjadi sebuah tarian hiburan rakyat atau menjadi kesenian rakyat. Tetapi tidak semua daerah mengembangkan tari Tayub ini. Pada jaman dahulu hanya daerah Wonogiri dan Sragen yang menghidupkan tari Tayub.

Seiring berjalannya waktu, Sragen menjadi daerah yang paling subur menghidupi tari Tayub. Sedangkan Wonogiri, menurut beberapa penelitian, kesenian Tayub mulai hilang. Dahulu sempat seorang seniman tari Dr. Sumaryono M.Hum bersama seniman muda di Wonosari Gunung Kidul membahas persoalan Tayub di Wonogiri hingga membuat strategi membuat kreasi tari Tayub agar diminati masyarakat sekitar.

Di Sragen, Tayub menjelma menjadi kesenian yang digandrungi oleh semua lapisan masyarakat hingga saat ini. Tampak pada saat Tayub diselenggrakan, selalu hadir menjadi bagian penting dalam acara tersebut. Tidak hanya di acara hajatan saja, Tayub juga hadir di beberapa acara adat seperti Bersih Desa, Sedekah Bumi, dan lain sebagainya. Tayub semakin hidup dan berkembang hingga ke daerah-daerah lain seperti Grobogan, Blora, dan Jawa Timur.

Mengenal Tayub dari Segi Bentuknya

Beksan Tayub dibagi menjadi 3 jenis yaitu Tayub Alus, Tayub Gagahan, dan Tayub Gecul. Iringan Beksan Tayub umumnya menggunakan gending-gending Ladrang dan Ketawang. Untuk mengiringi Beksan Gambyong sebagai pembuka, digunakan Gending Ageng Gambirsawit. Sehingga disebut Beksan Laras Sawit yang merupakan jenis Beksan Alus.

Untuk mengiringi Beksan Gecul, digunakan gending-gending Lancaran. Pemegang keberhasilan pertunjukan Beksan Tayub yang paling berpengaruh adalah permainan Kendang. Kendang dapat menutupi kekurangan Beksan ketika tampil kurang baik, sehingga pertunjukan dinilai berhasil.

Tentunya, pertunjukan Tayub dikatakan sangat berhasil dan memuaskan ketika Beksan dan permainan Kendangnya menampilkan yang terbaik. Kendangan untuk mengiringi Beksan Gambyong dinamakan Kendangan Ciblonan, untuk mengiringi Tayub dinamakan Kendangan Tanjakan, dan untuk mengiringi Beksan Gecul dinamakan Kendangan Badhutan.

Beksan Tayub di dalam sajian pertunjukannya harus runut dan rinci. Sebagai pembuka, diawali dengan Beksan Gambyong Gambirsawit. Gambirsawit memiliki arti wiwit yang dalam bahasa Jawa artinya mulai. Gambirsawit menjadi penanda bahwa pertunjukan Tayub dimulai. Setalah Beksan Gambyong selesai, dilanjutkan dengan Beksan Gedhog. Beksan Tayub dimulai setelah Beksan Gedhog selesai ditarikan.

Sebutan seorang Ledhek sendiri dibagi menjadi tiga yaitu Ledhek Tayub, Ledhek Janggrung, dan Ledhek Amen. Ledhek dengan Sinden pun juga berbeda walaupun sama-sama seorang penyanyi. Sinden bernyanyi dalam pertunjukan karawitan dan pertunjukan wayang, sedangkan Ledhek harus bisa menari dan bernyanyi. Ledhek kalau di daerah lain seperti Lengger di Banyumas, Ronggeng di Jawa Barat, dan Gandrung di Jawa Timur.

Pada zaman dahulu banyak seorang Ledhek yang ahli bela diri untuk berjaga-jaga ketika terjadi mungkin pelecehan seksual. Hal ini membuktikan bahwa ada anggapan yang salah ketika Ledhek diidentikkan dengan pelacur, karena Ledhek pun akan melawan dengan ilmu bela dirinya ketika dilecehkan. Ketika terdapat kejadian hubungan seksual antara Ledhek dengan laki-laki hidung belang maka itu hanya suatu kasus saja tetapi bukan merupakan budaya Tayub. Diharapkan stigma buruk tentang Tayub dapat diluruskan dan kembali menjaga Tayub sebagai salah satu tari yang bermakna positif.

Dok/foto: Beksan Puri Melati Gagrak Pakualaman/M. Yusril Mirza/Wikimedia

Penyunting: Nadya Gadzali