Etnis.id - Tradisi tidak pernah habis dibicarakan di indonesia. Dalam segi pergaulan, sebagaimana dikatakan oleh W.S Rendra, tradisi sebagai pengatur, penting fungsinya dalam menjaga perilaku masyarakat agar tidak kacau.

Tradisi adalah sesuatu yang dilakukan sejak lama dan menjadi bagian kehidupan suatu kelompok masyarakat dan biasanya dari suatu wilayah, kebudayaan atau agama yang sama.

Salah satu tradisi yang hingga hari ini masih bertahan dan masih dijalankan oleh masyarakat di daratan Gunung Sumbing, Dusun Kwadungan Desa Wonotirto Bulu Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, adalah tradisi Nyekar Pundhen Nyai Rantamsari.

Bagi sebagian masyarakat Kwadungan, menjalankan tradisi ini diyakini akan mendatangkan keselamatan, keberuntungan dan keberkahan terkait dengan proses dan tindakan di dalam kehidupan.

Lahirnya tradisi ini didasari dari sosok Nyai Rantamsari sebagai leluhur Desa Wonotirto, yang dipercaya sebagai sing mbahureksa atau penjaga lingkungan sekitar.

Konon, Nyai Rantamsari dalam sejarahnya, merupakan putri dari Kerajaan Demak yang mempunyai penyakit kebutaan pada matanya. Hingga pada suatu hari, ayahnya mencarikan obat untuknya dan bertemu dengan seorang wali bernama Joko Teguh atau Ki Ageng Kedu Makukuhan, murid Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Dan wali penyebar agama Islam di Karesidenan Kedu.

Sang wali ini pun mampu menyembuhkan mata sang putri, hingga akhirnya sang putri ini dinikahkan dengan Ki Ageng Makukuhan. Kemudian keduanya bersama-sama menyebarkan agama Islam.

Pada saat Nyai Rantamsari menyebarkan agama Islam, sang putri pun beristirahat di sebuah mata air yang bernama Tukji atau Tuk Ajining Diri. Di tempat itu juga, terdapat sebuah pohon beringin yang besar dan berdaun lebat.

Dari tempat peristirahatan sang putri inilah, Dusun Kwadungan Desa Wonotirto lahir. Kwadungan berarti kuwat dongane dan Wonotirto. Secara keseluruhanm artinya hutan berlimpah air. Olehnya, sebagai wujud dan penghormatan terhadap Nyai Rantamsari serta rasa syukur seraya memohon keselamatan, pelindungan, kelancaran dalam panen (rezeki) dan keberkahan kepada Tuhan yang Maha Esa.

Masyarakat Kwadungan pun kemudian melakukan slametan dan ritual tradisi Nyekar Pundhen Nyai Rantamsari yang dilakukan oleh masyarakat Kwadungan setiap 35 hari sekali, di malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.

Dalam ritus ini, disiapkan sesajian yang penuh makna, yang berkait dengan diri sendiri, alam semesta dan Tuhan. Seperti sega golong, wedang jembawuk, wedang kopi pait, wedang teh legi, wedang putih salam, udud, uang, kemenyan serta kembang wangi.

Setiap sesaji yang diberikan masyarakat Kwadungan Desa Wonotirto di Gunung Sumbing Temanggung Jawa Tengah ini, memiliki maknanya masing-masing, seperti:

1). Sega golong (nasi putih yang dibentuk bulat seperti bola tenis) secara umum bermakna Malaikat Kasim, yang menurut kepercayaan Desa Wonotirto dan para sesepuh terdahulu, diyakini sebagai malaikat pembagi rezeki.

Pembuatan dari sega golong ini dimaksudkan agar sang pemberi rezeki membagikan rezekinya secara melimpah. Selain sebagai permohonan doa untuk menjaga kebaikan di desa, diberikan yang terbaik dalam pertanian, khususnya tembakau. Dan sebagai tanda syukur kepada mbahurekso di Desa Wonotirto dan Kang Yasa Jagat.

2). Wedang jembawuk dan wedang kopi pait secara umum adalah minuman yang terbuat dari kopi dan air santan yang dicampur, sebagai simbol perwujudan rasa susah pada manusia. Intinya, manusia diharapkan selalu ingat kepada Gusti Allah agar selalu diberi kemudahan ketika hidup di dunia.

3). Wedang teh legi, secara umum adalah minuman yang terbuat dari teh berdaun (bukan teh celup), yang bermakna perwujudan rasa senang atau kebahagiaan manusia yang diperoleh harus dengan pengorbanan dan perjuangan untuk mendapat manisnya dunia.

4). Wedang salam secara umum adalah minuman yang terbuat dari daun salam, yang bermakna memberi salam dengan rasa suci, tulus dan ikhlas dari dalam hati yang terdalam.

5). Udud dan uang. Udud di dalam sesajian mempunyai fungsi yang ditunjukan untuk makhluk halus berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan uang dengan nominal seikhlasnya, bertujuan untuk melancarkan dan mendatangkan rezeki, serta sebagai pelengkap dalam memberikan sesaji.

6). Kembang wangi dan menyan. Menyan memiliki makna sebagai wewangian. Kemenyan memiliki makna jika akan berdoa atau menghadap Tuhan harus dilakukan dengan kondisi yang bersih dan suci. Sedangkan menyan juga bermakna sebagai pembakar sifat-sifat jelek dalam hati manusia.

Kembang wangi memiliki makna sebagai sarana memohon keselamatan dengan tulus, mengagungkan nama Gusti Allah, serta mengingat jasa-jasa para leluhur. Serta sebagai pedoman manusia dalam menjalankan kehidupan dengan baik.

Dari adanya tradisi Nyekar Pundhen Nyai Rantamsari dengan berbagai sesajian yang diberikan, secara tidak langsung telah memperlihatkan adanya arti penting ritual tersebut.

Setidaknya terdapat dua hal yang penting secara spiritual maupun sosiologis. Secara spiritual, pelaksanaan tradisi ritual Nyekar Pundhen ini tak bisa lepas dari apa yang disebut Karen Amstrong di dalam bukunya A History of God, yang mengatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk homo religious, makhluk yang memiliki naluri religius.

Dalam menjalani hidupnya, manusia selalu meyakini bahwa di balik alam semesta ini terdapat kekuatan supranatural yang selalu mengatur, melihat, menjaga dan menciptakan mereka yakni Gusti Allah.

Dengan kodratnya yang demikian, maka sejatinya manusia selalu sadar untuk berdoa memohon keselamatan, agar di dalam menjalani hidupnya, selalu dalam lindungan, keberkahan dan ketentraman serta selalu dijauhi dari segala bentuk bahaya.

Tradisi ini juga sebagai bentuk penghormatan dengan mengirimkan doa, khususnya kepada Nyai Rantamsari selaku leluhur dari desa Wonotirto, Temanggung Jawa Tengah. Serta bertujuan agar saling hormat-menghormati sesama makhluk hidup, agar tercipta keharmonisan dan ketentraman.

Secara sosiologis, adanya ritual tradisi Nyekar Pundhen ini menjadi media interaksi antarsesama manusia untuk lebih mempererat tali silahturahmi, persaudaraan, kekeluargaan dan kebersamaan antarwarga. Pula sebagai upaya masyarakat di dalam pelestarian dan perlindungan terhadap tradisi leluhur.

Editor: Almaliki