Dalam artikel yang saya tulis dengan tajuk “Tandasnya Folklor ‘Hantu Bayi’ dan Kuburan Trek di Klaten”, dikisahkan ihwal eksistensi dan makna keberadaan kuburan trek atau kuburan lisang bagi masyarakat Jawa. Kali ini, saya akan menjelaskan ihwal tradisi mboyong lisang selumbari, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 2021.
Keberuntungan tampaknya menghampiri saya karena diberikan kesempatan menyaksikan ritus ini. Di tengah ingar-bingar masyarakat yang masih merayakan hari ulang tahun kemerdekaan, ironi justru dialami oleh salah seorang warga: Ibu Kasiyati. Kehilangan seorang ibu kiranya menjadi peristiwa sedih yang tidak tergambarkan. Saya turut berduka.
Dengan pembatasan jumlah pelayat, upacara kematian tetap dilaksanakan dengan adat Jawa pada umumnya. Serangkaian ritus pun dilakukan menurut adat istiadat setempat. Namun, terdapat sebuah ritus yang diperlakukan secara khusus dan belum pernah saya temui selama saya hidup yaitu tradisi mboyong lisang.
Mulanya, tradisi ini dilakukan karena Ibu Kasiyati belum memindahkan kuburan trek yang ada di pekarangannya. Padahal, kuburan trek ini tidak dirawat sebelumnya. Namun, ia diberikan pesan oleh Ibunya untuk memindahkannya, nanti jika ia sudah tidak ada.
Saya mendapatkan data ini melalui wawancara dengan Mbah Warto (selaku tetua adat di Desa Tambakan), sungguh tidak etis jika saya menanyai Ibu Kasiyati secara langsung. Mbah Warto menjadi “mediator” dalam pelaksanaan tradisi ini, mengingat ia adalah tetua sekaligus orang “terakhir” yang melakukan ritus kuburan trek di desa.
Selain itu, keluarga Ibu Kasiyati berkisah tentang kuburan trek kepadanya. Data yang saya dapatkan menjadi faktual lantaran sesi wawancara yang saya lakukan dengan Mbah Warto. “Pas ninggal, biyunge pesen kon mindah lisange amor ibune, ndek ora mengko ndak nganggu sek bakal manggoni omah iki. Kamongko ora pernah dirumat sakdurunge, nanging tetep kudu diboyong supoyo oleh panggonan sek kepenak amor biyunge” (Saat meninggal, ibunya berpesan untuk memindahkan kuburan trek (lisang) bersama Ibunya, jika tidak (dipindahkan), nanti takutnya mengganggu orang yang akan menempati rumah ini.
Padahal, kuburan trek (lisang) tidak pernah dirawat sebelumnya, namun tetap harus diantarkan agar mendapat tempat yang layak bersama Ibunya. Atas permintaan dari Keluarga Ibu Kasiyati, akhirnya sang lisang diboyong bersama jenazah ibunya.
Prosesi diawali dengan memantram dari bibir Mbah Patno (pemimpin upacara kematian sekaligus tetua desa) di depan jenazah, ia kemudian berjalan ke luar rumah, ke arah kuburan trek. Di tangan kanannya, tiga buah anakan pohon pisang digenggam. Di tangan kirinya, kain mori dan tas kecil berisi berbagai macam sarana pendukung upacara ditenteng.
Sesampainya di depan kuburan trek, ia bersimpuh dengan sumetan tiga buah dupa (menyesuaikan jumlah dari bayi lisang yang ada). Memantram dan japam dilantunkan kembali di depan kuburan trek, bertujuan memohon izin kepada sang bayi. Pada peristiwa itu, tanpa diduga angin seperti berhenti berhembus, atmosfer pekarangan begitu mencekam dalam ketakutan yang saya rasakan, namun saya berusaha untuk tetap berdiri di sana.
Selepas prosesi itu, Mbah Patno mengambil tiga buah genting dari atap kuburan, kemudian ditata di samping kiri-kanannya: di sebelah kanan dua genting, sedangkan di kiri satu genting. Di atas susunan genting, diletakkan kain mori, bagian teratas diletakan anakan pohon pisang. Masing-masing satu buah pada setiap genting.
Seusai peletakan, Mbah Patno mengucapkan mantram kembali. Mantram kali ini begitu panjang lantunannya. Kemudian, ia menaburkan bunga mawar di ketiga kuburan itu, diambil tanahnya dari masing-masing kuburan trek, kemudian tanah itu ditaburkan di atas mori dan anakan pohon pisang dari masing-masing jajaran genteng. Pengambilan tanah dilakukan sebanyak tiga kali. Di sela-sela pengambilan tanah, Mbah Patno menyiramkan minyak ke kuburan trek dan ke atas jajaran genting. Minyak ini mengandung aroma yang menurut saya menyeramkan.
Setelah tiga kali penyiraman, Mbah Patno membungkus anakan pohon pisang ini dengan kain mori. Teknisnya seperti jenazah. Barangkali, hal ini menjadi perwujudan perlakuan atas jenazah. Ketiga “jenazah” kemudian diboyong arah rumah oleh tiga orang pemuda untuk diletakan di dalam peti bersama jenazah sang ibu. Nantinya akan dimakamkan di liang yang sama bersama sang ibu.
Simbol dalam tradisi mboyong lisang terdiri dari empat sarana yaitu anakan pohon pisang, minyak wangi, tanah kuburan, dan dupa. Keempat sarana tersebut adalah simbol yang merepresentasikan tradisi tersebut.
Anakan pohon pisang secara etimologis berarti anak dari sebuah objek. Dalam hal ini, anakan pohon pisang adalah anak dari pohon pisang atau tunas dari pohon pisang. Hal ini menjadi simbol seorang anak yang mendiami sebuah pohon. Hidup atau mati tunas pohon pisang, tunas tersebut akan terus berada di sisi pohon. Hal ini diartikan bahwa bayi lisang, meskipun telah tiada, ia tetap berada di sisi sang ibu.
Minyak Wangi
Dalam ritual ini, minyak wangi disiramkan ke jenazah sang Ibu dan di kuburan sang bayi. Wewangian dalam hal ini sering diucap “sarana boga” atau bisa diartikan makanan. Dalam tradisi jaranan misalnya, minyak wangi seringkali tidak ditinggalkan dalam tarian ini. Indang (ending) yang merasuki pemain jaranan harus diberi makan. Sebab, seperti yang kita ketahui bahwa makhluk halus seperti indang (ending) jaranan memang memakan wewangian. Bila kita manusia memakan nasi dan sebagainya, maka mereka juga makan, yaitu intisari dari wewangian.
Hal ini dikonfirmasi oleh Mbah Patno, bahwa lisang diberi makanan karena lama tidak diberi oleh sang Ibu. Sehingga, keduanya diberikan minyak wangi. Tanah kuburan trek diambil, kemudian ditaburkan ke dalam jajaran genting, yang menjadi simbol pengambilan rumah, sedangkan tanah yang ada di kuburan trek menjadi tempat berteduh sebelumya dan segera dipindahkan menuju ke rumah yang baru. Dengan harapan, ia dapat bersemayam dengan aman di tempat barunya.
Selain itu, masyarakat Jawa meyakini adanya penunggu. Hal yang sangat krusial dari simbol ini adalah permohonan penyatuan tanah terhadap penghuni baru, sehingga dapat diterima di tempat yang baru. Menghidupkan dupa dilakukan di awal ritus sebagai sebuah penanda bahwa ritus mulai digelar.
Dupa, seperti kebanyakan fungsi dupa dalam tatar Jawa, dalam upacara mboyong lisang, elemen ritual ini menjadi simbol pencipta atmosfer pemboyongan. Dalam ritus ini, mantram dirasa sangat penting untuk menyampaikan maksud dan tujuan.
Tradisi mboyong lisang memang sudah usang. Peristiwa ini menjadi akhir dari ritus yang sudah puluhan tahun dilaksanakan. Seperti yang saya tuliskan di artikel sebelumnya bahwa, Mbah Warto menjadi orang terakhir yang melakukan ritus ini.
Situasi berbeda ditemui, tatkala akhir hayat Ibunda dari Ibu Kasiyati menitipkan amanat untuk melakukan tradisi mboyong lisang. Menurut Mbah Warto dan Mbah Patno, kekhawatiran akan hal yang tidak diinginkan terhadap anak-cucunya menjadi faktor utama ia menginginkan tradisi tersebut dilaksanakan. Meskipun sebelumnya sudah tidak dirawat, namun kedekatan bayi dan Ibu akan selalu terjalin.
Kesadaran untuk menjalankan ritual itu akhirnya terjadi di penghujung hayatnya. Sembari tersenyum tipis dan menyelipkan selinting tengwe di sela jarinya, terdengar ucapan, “Iki dadi sek keri dewe yo, Mbah!” (Ini menjadi yang terakhir ya, Mbah!), ucap Mbah Warto kepada Mbah Patno beberapa hari lalu. Terima kasih atas pengetahuan ini. Kiranya tulisan ini menjadi manfaat untuk generasi mendatang.
Penyunting: Nadya Gadzali