Etnis.id- Maulid Nabi Besar Muhammad SAW telah lewat, namun saya masih mengenang masa-masa saat saya kecil dulu di kampung. Setiap Maulid Nabi,
kampung tak pernah sepi. Seluruh warga ikut merayakannya.

Nenek Ambo (panggilan untuk kakek saya) sebelum Magrib akan berangkat mammadu’ (ikut merayakan Maulid Nabi) dan pulang dengan membawa satu ember
berukuran sedang berisi kaddo’ minnyak yang di dalamnya diisi ayam dan telur. Lengkap dengan hiasan telur yang telah diwarnai. Biasanya, telur yang telah diwarna itu ditancapkan di ember yang telah berisi beragam rupa-rupa makanan khas perayaan Maulid.

Kaddo’ minnyak merupakan makanan tradisional suku Bugis, Makassar dan Mandar. Dalam bahasa Indonesia, kaddo’ berarti nasi dan minynyak berarti minyak atau lemak. Kaddo’ minnyak terbuat dari beras ketan. Disiram dengan santan kental hingga meresap, kemudian diberi pewarna kuning dari bubuk kunyit, lalu ditaburi dengan bawang goreng dan ketumbar yang sudah disangrai.

Sejauh ini, belum ada penelitian yang menjelaskan sejak kapan tradisi ini ada. Namun yang pasti, tradisi merayakan Maulid Nabi dengan kaddo' minnyak telah ada setelah kedatangan Islam (Islamisasi Bugis) sekisar abad 17.

Hitungan kotornya barangkali tradisi ini marak dirayakan saat Islamisasi Bugis berhasil dan mayoritas masyarakat Bugis telah memeluk Islam. Dibuatnya kaddo' minnyak sendiri, adalah salah satu gambaran perpaduan Islam dan tradisi suku Bugis, yang sebelumnya menganut ajaran To Riolong.

Nabi Muhammad adalah nabi utusan bagi umat Islam dan merayakannya dengan kaddo' minnyak adalah wajah dari masyarakat Bugis yang memang dikenal sebagai kelompok yang sangat memegang tradisi atau adat istiadat.

Pelras dalam The Bugis (2006) menyebutkan, keberhasilan islamisasi Bugis tergolong unik di tengah masyarakat yang selain telah memiliki kepercayaan yang telah lama dipraktikkan dalam kehidupannya, juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki karakter yang tegas.

Persilangan antarislam dan tradisi Bugis, memang hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Mustaqim dalam tulisannya Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis (2012) mengungkapkan bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan, yang salah satunya dilakukan oleh Sayyid Jalaluddin di Mangara
Bombang, tidak diterima baik dalam lingkungan kerajaan Gowa, sebab penyebaran ajarannya tidak melalui kekuasaan dan legitimasi para raja.

Dia juga kurang dikenal dalam sejarah, bahkan keturunannya disebut sebagai pelaku bid’ah. Padahal Islamisasi yang dilakukannya tidaklah kaku, tapi melalui proses dialog dengan budaya setempat. Misalnya, ia mengganti rebana yang terkesan Arab dengan gendang sebagai alat musik memperingati perayaan Maulid, bahkan mengganti nama Maulid dengan Kaddo' Minnyak.

Pandangan dari Mustaqim di atas menjadi salah satu rujukan bahwa tradisi kaddo' minnyak lahir dari negosiasi antarislam dan kepercayaan adat masyarakat Bugis. Lalu mengapa perayaan Maulid Nabi dilakukan dengan menghias kaddo' minynyak?

Sejauh ini, saya belum mendapatkan referensi yang menjelaskan hal itu. Akan tetapi, apabila ditelisik kembali, karakter masyarakat Bugis yang komunal dan sejak zaman dahulu hampir seluruh aspek kehidupannya, mulai dari kelahiran hingga kematian, dirayakan dengan ritual atau tradisi, maka kemungkinan besar hal itu mendasari bahwa Maulid Nabi juga tetap harus dirayakan dengan tradisi tertentu.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika kaddo' minynyak menjadi representasi dari masyarakat Bugis yang senang berkumpul dan bekerja sama. Selain itu, filosofi dari makanan kaddo' minnyak yang teksturnya cenderung lengket dan saling menyatu, adalah gambaran dari kerukunan dan sikap persaudaraan yang tinggi masyarakat Sulawesi Selatan.

Biasanya pada hari Maulid Nabi itu, Nenek Ambo berangkat sebelum Magrib dan pulang saat menjelang tengah malam. Demi sepotong ayam yang tergolong makanan mewah di keluarga kami, dengan kondisi terkantuk, saya menunggu ember berisi
kaddo' minnyak.

Maulid Nabi di kampungku, di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan, biasanya dimulai dengan barazanji, pembacaan ayat suci Aquran, kemudian dilanjutkan dengan salawat. Itu dirayakan dari pagi hingga siang.

Berbeda hal di Kabupaten Pangkep, tempat Nenek Ambo merayakan Maulid Nabi yang adat istiadatnya memang terasa masih sangat kental, sebab diisi dengan bermacam ritual salah satunya dengan barazanji.

Setelah sekian lama dan semenjak Nenek Ambo meninggal, saya sudah tak merayakan Maulid Nabi lagi di kampung. Maksudnya, saya tak lagi punya tradisi menunggu dengan khidmat bawaan Nenek Ambo sepulang dari masjid merayakan maulid (mammaudu’).

Dua tahun belakangan, saya pun sepertinya hampir lupa dengan tradisi ini. Barulah saat Bibi saya mengirimkan foto perayaan Maulid Nabi di grup Whatsapp keluarga, saya kembali mengingat Nenek Ambo.

Namun, ada yang menarik dari foto yang dikirim oleh Bibi saya. Dalam foto itu, saya kembali menyadari, ada perubahan dari perayaan Maulid Nabi saat ini. Misalnya, dalam satu ember, porsi kaddo' minnyaknya lebih sedikit, begitu pun dengan ayam dan telurnya.

Dan yang paling berbeda adalah, kaddo' minnyak di era millennials ini, rupanya dilengkapi dengan produk lain seperti sabun, mi instan, kerupuk dan segala rupa makanan yang biasanya dijajakan di toko kelontong.

Namun bagaimanapun perubahannya, semoga tradisi kaddo' minnyak ini tetap ada. Semoga anak cucu kita kelak mengetahui bagaimana peradaban leluhurnya dahulu, salah satunya melalui seember kaddo' minnyak.

Editor: Almaliki