Etnis.id - Di Sulawesi Selatan, di Kabupaten Sidrap, kerap terjadi kasus besar. Sudah menjadi rahasia umum, kalau Sidrap dikenal dengan dua kejahatan yang membelit Bumi Nene Mallomo ini: Passobis dan narkotik.

Sidrap adalah daerah yang cukup besar. Di sanalah, beras-beras pilihan terbaik dari Sulsel muncul. Dari Sidrap pula, mayoritas orang-orang Sulsel diberi makan nasi yang lezatnya bukan main.

Keluarga saya mengasup beras dari sana. Saya mencintai Sidrap, sebagaimana saya mencintai panorama sawahnya sekaligus hasil tangan-tangan kasar dan suci para petani.

Saya juga tidak menyukai hal-hal yang mengotori nama Sidrap lewat pemberitaan media. Label-label dan pertanyaan yang disematkan orang-orang Makassar biasanya seperti, "Banyak di sana passobis, iyo?"

Saat menjadi editor di sebua media lokal Makassar dulu, saya sering mendapati berita reporter Sidrap yang mengekspose pemberitaan soal narkotik. Bahkan, desas-desusnya, bisnis jahat itu dibekingi orang gede.

Apa sebab? Kasus itu sulit sekali diputus rantainya. Berkilo-kilo narkotik biasanya diekspose. Setelahnya, ada lagi dan lagi dan lagi. Saya sering bertanya dalam hati, mengapa kasus ini tidak bisa dihentikan ya?

Selain narkotik, ada juga passobis. Passobis adalah sebutan orang Sidrap yang menyebut komplotan penipu lewat ponsel. Di Sidrap banyak passobis. Kalau tidak percaya, lihat saja di mesin pencari.

Saya pernah sekali mendapati kejahatan itu sampai ibu saya menangis histeris. Bagaimana tidak. Pagi itu, ponsel tua ibu saya berdering nyaring. Ibu saya saat itu sedang memasak di dapur. Saya duduk di ruang tamu sambil mengetik beberapa berita lewat ponsel.

Ibu mengecilkan api kompornya terlebih dahulu. Pagi itu, cuma kami berdua yang ada di rumah. Adik saya yang paling bontot, sudah pergi ke sekolah sejak pagi. Ia masih duduk di sekolah dasar.

Ibu mengangkat teleponnya. Tak berselang lama, ia menangis dan berteriak menyebut namaku. Terjadi obrolan emosional saat itu. "Adikmu, Nak. Katanya ia kecelakaan. Kepalanya pendarahan hebat."

Air mata ibu saya meleleh di pipinya yang tirus. Ia menangis tersedu-sedu sembari duduk di melantai sambil memegangi kepalanya. Napasnya tersengal-sengal.

Saya mencoba menenangkannya. Saya bilang, tidak mungkin. Itu cuma kerjaan orang iseng. Ibu saya perlahan-lahan menghentikan tangisannya dan menyodorkan satu pertanyaan, "Bagaimana kalau itu benar? Kenapa sekolah adikmu sampai ditahu?"

Saya bersikeras, kalau itu penipuan. Orangtua, perasaaan cintanya kepada anak, biasanya mengaburkan logikanya. Saya paham. Makanya saya pelan-pelan menuntun ibu untuk berhenti menangis.

Tunggu saja teleponnya lagi. Saya berujar lembut pada ibu. Akhirnya, tak berselang lama, ponsel merah asal pabrikan Cina miliknya, berdering lagi. Nomor yang sama menelpon. Ibu mendorong ponselnya padaku.

"Bicara."

Saya menyanggupi. Passobis itu, memakai bahasa Indonesia yang baik. Ia menyuruh saya segera mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya untuk membeli obat. Adik saya dikatakan sudah sekarat dan pendarahan hebat.

Saya katakan saya saja yang membelinya. Saya meminta daftar obat yang ingin ia beli. Ia menyodorkan beberapa merek yang tak sampai lengkap dan akhirnya berujung menutup telepon. Saya tertawa lepas.

"Penipu bajingan!"

Ibu saya terheran-heran dan segera berdandan. Ia lalu ke sekolah adik saya. Tak lama, ia pulang membawa raut wajah yang bahagia. "Baik-baikji adikmu. Kagetku. Saya kira betulmi kecelakaanki kodong."

Itulah satu contoh kasus betapa tengiknya passobis itu. Mereka tidak memandang orang yang akan mereka kerjai. Yang penting, uang mengalir ke rekening mereka. Perasaan? Nomor paling ujung.

Soal narkotik, di Sidrap, malah seorang petani dibuat kaya raya. Namanya Agus Sulo. Ia diceritakan menjadi kurir narkotik yang menyebarkan paket-paket di daerah Sulsel. Dari bisnis hitamnya, ia menjadi milyuner. Di rumahnya, ia punya harta bergerak seperti mobil berjenama terkenal dari Eropa, pabrik telur, petak sawah dan lain-lain.

Substansi kasus-kasus itu, yang tidak pernah berhenti di Sidrap, menyimbolkan bahwa nilai adat dan petuah-petuah leluhur Bugis sudah dilupakan. Tak digenggam erat lagi.

Saya mengingat La Pagala (1546-1654). Pria yang lahir di Panrengnge, di sebelah utara Amparita. Ialah yang membuat hukuman dan memberitahu anaknya, yang melanggar nilai kejujuran, harus menerima hukuman mati sebagai imbalannya (Rahim 2011: 123).

Malu La Palaga sungguh besar. Jika tersiar kabar kejahatan yang dilakukan oleh keluarganya, maka tak segan, ia menjatuhkan hukuman yang berat. La Pagala kemudian digelari Nene Mallomo.

Ia punya petuah terkenal. “Resopa temmangingngi namalomo naletei pammase dewata”. Artinya adalah hanya kerja keras disertai sikap pantang menyerah yang akan mudah mendapatkan limpahan rahmat dari Allah SWT.

Jika melihat dua kasus di atas, apakah itu sebuah kerja keras? Jawabannya, iya. Soal rahmat? Saya katakan, tidak. Nilai inilah yang hilang. Orang Bugis dikenal kuat dalam bekerja. Pantang menyerah. Pelaut pemberani, ulung menggulung ombak. Pedagang yang cerdik. Tetapi bukan seperti dua kerjaan buruk di atas, bukan?

Dalam jurnal Tasrif Akib, berjudul Nilai Sosial Nene' Mallomo di Kabupaten Sidenreng Rappang. Disebutkan, bahwa Nene’Mallomo adalah tokoh cendikiawan dalam sejarah Kabupaten Sidrap.

Ia penasehat atau staf ahli bagi Raja Sidenreng pada abad 17 yang beragama Islam. Nene Mallomo dinilai konsisten dalam bentuk apapun. Ia juga komitmen dalam penegakan hukum, yang dikenal dengan semboyan adek temmakkeana temmakkeappo (hukum tidak  pandang anak dan cucu).

Dari poin yang didapat Tasrif melalui Dosen Sosiolog Universitas Hasanuddin, Prof Tahir Kasnawi, semboyan itu baik dijadikan sebuah contoh bagi pemerintah yang ada. Lebih dari itu, saya kira kita mesti tahu lebih jauh soal bagaimana hidup Nene Mallomo.

Orang yang dituakan di Sidrap itu, memegang nilai alempureng nennia deceng-kapang, yang berarti kejujuran dan baik sangka. Dalam Lontara La Tona (Tomawa 2008: 334), yang dimelayukan oleh Andi Bausat, dijelaskan mengenai beberapa aturan hidup masyarakat yang dibuat oleh Nene’Mallomo.

Seperti, pasal pesan Nene Mallomo, yaitu jikalau engkau menyuruh orang, upayakan berbicaralah dengan baik. Sebab orang  yang engkau suruh, tentu kesusahan. Kalau engkau beri pengajaran pada orang, jangan juga dengan marah. Karena marah bisa memecah negeri dan merusak kebaikan.

Aturan yang lebih keras juga diterapkan olehnya, tentang orang  yang membuat kesalahan besar dan harus dihukum mati (Tomawa 2008: 252-354). Apa itu? Adalah orang yang tinggal serumah dengan pencuri atau sepakat dengan orang yang tidak baik kelakuannya.

Jika passobis itu hidup dalam masa kepemimpinan Nene Mallomo, bisa dipastikan, ia akan dihukum mati. Bahkan, Nene Mallomo juga diketahui tidak mengurus hal logis saja. Ia juga mengatur hukum-hukum soal gaib, yang masih menjadi cerita misteri masyarakat Bugis-Makassar sampai sekarang.

Seperti siapa saja yang menyembunyikan parakang yang didapat di tempat kotoran, apa yang ditangkap Sanro (dukun) yang mengeluarkan anak dari perempuan bunting (hamil) yang tidak ada suami. Mereka semua harus dihukum mati.

Parakang adalah sejenis manusia jadi-jadian, sementara dukun yang dimaksud di sini ialah yang membantu seorang perempuan menggugurkan kandungannya.

Dalam pada itu, pada akhirnya, kita harus menimbang, sejauh mana hukum kita berjalan sekarang? Apakah produk masa lalu lebih baik dari hari ini? Hukum yang harus diubah atau pribadi kita? Intinya, kita harus ingat dan berpegang pada petuah yang baik dari Nene Mallomo.