Etnis.id - Jawa Barat yang dikenal sebagai “Tanah Pasundan” atau “Parahyangan” atau “Priangan” memiliki beragam pesona di dalamnya. Mulai dari pesona “mojang”, kuliner hingga seni tradisional.

Salah satu seni tradisional itu yakni tembang Sunda Cianjuran. Kalangan menak (bangsawan) menjadi komunitas yang membidani munculnya seni vokal tersebut.

Tembang Sunda Cianjuran terdiri dari penembang laki-laki dan perempuan, kecapi rincik, kecapi indung dan suling tembang. Daya tariknya ialah teknik vokalnya yang memiliki pakem berbeda dengan seni vokal lainnya dalam lingkup seni di tanah Sunda.

Adalah dongkari, sebuah peristilahan penting yang merujuk pada bagaimana cara penembang bersuara. Dongkari dikenal sebagai istilah yang berkaitan dengan teknik, ornamentasi lagu bahkan menjadi tolak ukur tingkat kemahiran seorang penembang.

Dongkari menjadi penting dalam tembang Sunda Cianjuran, bahkan kalangan penembang menyejajarkan istilah dongkari dengan ilmu tajwid dalam Alquran. Apabila penggunaan tajwid salah dalam membaca Alquran, maka makna dari sebuah ayat akan salah. Begitu logikanya.

Dongkari sebagai Teknik Vokal

Dongkari erat kaitannya dengan cara penembang “bersuara”. Artinya berhubungan erat dengan teknik vokal para penembang Cianjuran. Dongkari bukanlah teknik tunggal, melainkan sebuah istilah yang mewakili sejumlah teknik vokal.

Penembang paling tidak mengenal sembilan belas jenis teknik vokal beserta simbolnya, mulai dari teknik riak (ᴖᴖᴖ), reureueus (ΛΛΛ), gibeg (ƺ), kait (), inghak(~), jekluk (√), rante (℘), lapis (≈), gedag (Ζ), leot (ٮ), buntut (כ), cacag(//), baledog, (  ), kedet (ɚ), dorong(→), galasar(З), golosor(ξ) ombak(ΩΩΩ), dan dangheuak (ʆ).

Kesembilanbelas teknik di atas disebut sebagai dongkari. Setiap teknik memiliki karakteristik dan cara yang berbeda-beda dalam menyuarakannya. Penembang akan melakukan sejumlah teknik vokal pada setiap penyajian repertoar lagu tembang Sunda. Dari teknik mudah hingga sulit.

Selain itu, yang dilakukan penembang ialah memilih sejumlah teknik untuk diaplikasikan ke dalam lagu dalam rangka mendukung kekuatan artistik dari sajian. Adapun penguasaan seluruh dongkari diwajibkan bagi seluruh penembang, agar mendapatkan legitimasi sebagai penembang “kahot” atau profesional dari kalangan seniman maupun penikmat tembang Sunda Cianjuran.

Ada yang menarik dari istilah-istilah dongkari di atas. Apabila dicermati, dia merupakan kata-kata yang lazim ditemukan dalam bahasa Sunda sehari-hari. Ada yang berasal dari fenomena alam, kata kerja dan kata benda.

Pada konteks fenomena alam, ada teknik ombak yang merupakan sebutan untuk gelombang air laut. Teknik ombak diimajinasikan sebagai cara penembang bernyanyi menghasilkan vibrasi yang seolah-olah seperti ombak.

Kemudian konteks kata benda, ada teknik yang disebut rante yang berarti rantai. Penembang menamai rante karena pada teknik tersebut, suara penembang seolah-olah saling berbelit-belit dan sambung menyambung.

Contoh penggunaan istilah dalam kata kerja yakni teknik inghak yang merujuk pada suara mendesah baik di akhir kata atau kalimat lagu, dalam konteks seseorang yang sedang menangis. Inghak dipandang bersifat feminin, sehingga jarang digunakan oleh penembang laki-laki.

Dongkari dan Ornamentasi Vokal

Selain memiliki definisi teknik, dongkari juga diartikan sebagai ornamentasi vokal yang mengacu soal bagaimana penembang mengolah berbagai nada, sehingga menjadi suatu ornamen auditif yang indah.

Pada konteks dongkari, setiap teknik yang dilakukan pada hakikatnya merupakan ornamen, karena bahan baku dari setiap teknik ialah sejumlah nada-nada. Beberapa nada dilakukan “treatment” yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan teknik yang lain pula bila ditinjau secara auditif. Jadi prinsipnya, setiap teknik dalam dongkari merupakan ornamen-ornamen vokal pendek.

Pada praktiknya setiap teknik pada dongkari tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan satu sama lain. Memang pada bagian-bagian tertentu ada satu dongkari yang berdiri sendiri, tetapi setelahnya pasti akan disambung dengan dongkari lainnya.

Contoh pada lagu “Mupu Kembang” yang disajikan oleh penembang bernama Nenden DK. Pada kalimat lagu “dewi asri tanding leuwih baraja inten gumilang” terdiri dari hampir tujuh jenis dongkari dengan komposisi dongkari riak, lapis, jekluk, baledog, golosor dan inghak. Semuanya tidak bisa dipisahkan.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa dongkari merupakan ornamen-ornamen pendek. Olehnya dalam satu sajian lagu utuh dongkari, satu sama lain membentuk sebuah ornamen yang bermuara pada pengalaman auditif yang khas dari para penembang.

Melalui dongkari tersebut, rasa tembang Sunda Cianjuran muncul. Dongkari menjadi unsur penting dalam membangun cita rasa, karakteristik serta identitas tembang Sunda Cianjuran. Makanya penguasaan seluruh teknik dongkari dengan baik dan benar, merupakan harga mati bagi penembang, terutama dalam rangka
mencapai sebuah puncak estetika dari penyajian repertoar tembang Sunda Cianjuran.

Dongkari sebagai Indikator Virtuositas

Latihan teknik dongkari tidaklah mudah. Perlu proses yang cukup lama untuk dapat menguasai seluruh teknik. Siapa pun dapat belajar tembang Sunda Cianjuran, baik melalui jalur formal maupun informal.

Kedua jenis wadah pembelajaran sama-sama menggunakan metode “ngabeo” atau meniru langsung si guru tembang. Murid harus mendengarkan dengan baik apa yang disuarakan oleh gurunya, kemudian berusaha untuk menirukannya semirip mungkin.

Metode tersebut dalam istilah ilmiah juga sering disebut sebagai oral transmission. Untuk menguasai seluruh teknik, murid perlu bekerja keras melatih setiap teknik melalui penguasaan sejumlah repertoar tembang, dari lagu yang berlaras salendro, pelog hingga laras madenda.

Belajar dongkari biasanya langsung melalui penguasaan lagu-lagu, karena selain untuk belajar teknik secara serius, juga untuk menambah bank lagu bagi si murid.

Keberhasilan penembang di antaranya ialah mampu menyajikan banyak lagu dari berbagai laras dan mampu menguasai dongkari dengan baik menurut ukuran estetika masyarakat tembang Sunda Cianjuran.

Intinya, dongkari merupakan elemen yang paling penting di dalam konteks seni vokal tembang Sunda Cianjuran. Yang pada akhirnya, tingkat kemahiran seseorang dinilai dari seberapa dalam penguasaan penembang dalam menggunakan dongkari di setiap penyajian tembang Sunda Cianjuran.

Ada istilah “ngawirahma” dan “teu ngawirahma”. Ngawirahma menunjuk pada penembang yang dianggap memiliki teknik yang baik dan benar menurut kalangan seniman tembang Sunda.

Sedangkan teu ngawirahma dianggap belum bisa memberikan kesan tembang secara mendalam menurut seniman tembang Sunda Cianjuran. Dongkari pada akhirnya bisa disebut sebagai indikator dari tingkat virtuositas penembang.

Editor: Almaliki