Etnis.id - Masyarakat agraris di Jawa mempunyai berbagai macam ritual. Mulai dari ritual yang diadakan sebelum panen, hingga ritual pasca panen. Salah satu ritualnya yakni Manten Kucing di Tulungagung.
Ritual ini adalah sebuah bentuk ikhtiar yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Tulungagung untuk memohon hujan kepada Tuhan.
Menurut data demografi desa, 70 persen penduduk Desa Pelem bekerja sebagai petani. Sistem pertanian di desa juga masih berupa sistem tadah hujan yang membuat air langit itu jadi siklus vital dalam kehidupan masyarakat Desa Pelem. Sawah baru bisa diolah ketika hujan datang. Makanya hujan bermakna kehidupan di sana.
Ritual Manten Kucing dilaksanakan dengan cara memandikan sepasang kucing pilihan di Coban Kromo, sebuah sumber mata air desa yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah pendiri desa (Jawa; Punden).
Prosesi ritual dimulai dengan pemilihan kucing yang diambil dari dua dukuh yang berbeda. Kucing tersebut kemudian dipertemukan di balai desa setempat dan bersama-sama diarak menuju Coban Kromo untuk dimandikan.
Sepanjang jalan menuju tempat pemandian, kucing tersebut digendong oleh laki-laki dan perempuan menggunakan jarit yang diikuti oleh seluruh masyarakat desa, serta diiringi bermacam kesenian khas Tulungagung.
Sebelum memandikan kucing, sesepuh desa berdoa di lokasi yang dipercaya sebagai makam pendiri desa. Setelah itu, prosesi pemandian kucing yang hanya bisa dilakukan oleh kepala desa ini, baru bisa dijalankan.
Selanjutnya, ritual diteruskan dengan prosesi slametan, pembacaan ujub (doa dalam bahasa Jawa) dan diakhiri dengan Tiban. Tiban sendiri merupakan sebuah tarian yang dilakukan oleh dua orang lelaki bertelanjang dada dengan cara mencambuk satu sama lain menggunakan lidi aren.
Mitos Eyang Sangkrah
Masyarakat setempat percaya bahwa ritual adat Manten Kucing bersumber pada mitos yang tersebar di masyarakat tentang sosok Eyang Sangkrah. Dipercaya bahwa dahulu kala, kemarau panjang sempat melanda Desa Pelem.
Hal ini tentu saja membuat masyarakat bingung, karena tanpa hujan sawah tidak bisa digarap. Semua usaha dilakukan oleh masyarakat desa untuk mendatangkan hujan, namun tak ada yang membuahkan hasil.
Di tengah kebingungan, masyarakat percaya bahwa Eyang Sangkrah mandi di Coban Kromo. Eyang Sangkrah adalah seorang janda yang masih mempunyai garis keturunan dengan Mbah Brahim, pendiri Desa Pelem.
Saat itu, Eyang Sangkrah datang ke Coban Kromo bersama kucing
kesayangannya. Ketika sedang mandi, Kucing jantan Condromowo (tiga warna) kesayangannya melompat masuk ke telaga dan mandi bersama Eyang Sangkrah.
Tak lama setelah kejadian tesebut, mendung mulai menggantung di langit dan tetesan hujan kembali mengguyur Desa Pelem. Masyarakat kemudian mengaitkan hujan tesebut dengan mandinya Eyang Sangkrah dan kucing kesayangannya di
Coban Kromo.
Beberapa tahun setelah itu, saat Demang Sutomejo menjabat sebagai Kepala Desa, kemarau panjang sekali lagi datang. Hal ini membuat bingung warga desa. Demang Sutomejo yang merasa prihatin dengan kondisi desanya, berdoa untuk diberikan petunjuk.
Saat itulah turun wisik yang menyarankan Demang Sutomejo untuk melakukan kembali ritual adat Manten Kucing dengan menggunakan sepasang Kucing (jantan dan betina) sebagai representasi dari Eyang Sangkrah dan Kucing Condromowo kesayanganya. Semenjak saat itu, apabila kemarau panjang melanda desa, ritual tersebut rutin dilaksanakan.
Pasang-Surut Ritual
Bila melihat ke belakang, ritual ini pada awalnya tidak bernama. Namun, seiring berkembangnya zaman dan untuk menarik rasa ingin tahu masyarakat, ritual ini kemudian dinamai Manten Kucing.
Kata manten diambil dari sepasang kucing yang digunakan dalam ritus. Semenjak tahun 2001, ritual ini lalu mendapatkan perhatian dari pemerintah Kabupaten Tulungagung yang akhirnya membuat Manten Kucing menjadi tidak biasa.
Itu adalah pertama kalinya ritual adat ini diundang dalam pentas seni daerah se-Tulungagung. Ketenaran Ritual ini terus berlanjut. Terhitung mulai tahun 2003, Manten Kucing secara beruntun dipilih menjadi representasi kebudayaan Tulungagung dalam berbagai macam festival budaya di Jawa Timur.
Puncak ‘pamor’ ritual ini terjadi pada tahun 2005 saat Dinas Pariwisata Jawa Timur menunjuk Manten Kucing sebagai perwakilan kebudayaan Jawa Timur di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Lama berjalan, anti klimaks lalu terjadi pada tahun 2010. Saat itu, bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Tulungagung. Waktu itu, pemerintah kabupaten menyelenggarakan festival Manten Kucing yang bertujuan lebih mengenalkan ritual asal Desa Pele ini ke warga Tulungagung.
Semua kecamatan di kota marmer saat itu, diwajibkan untuk menampilkan ritual Manten Kucing. Saat satu per satu perwakilan tampil. Dari semua, ada seorang peserta bertindak berlebihan dengan menyisipkan unsur-unsur Islam dalam penampilan ritual.
Hal ini lantas memicu reaksi keras dari pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tulungagung. Manten Kucing dianggap melecehkan agama. Persoalan ini pun berbuntut pada pelarangan penampilan ritual di ruang publik. Semenjak kejadian tersebut, ritual Manten Kucing seolah kehilangan suara dan makin lama, eksistensi ritual khas Desa Pelem itu seolah semakin terimpit.
Setelah diusut, yang terrjadi sebelum festival berlangsung, sebenarnya sudah ada pengarahan tentang tata cara ritual. Para peserta boleh menambahkan kesenian tanpa menghilangkan unsur utama dari ritual tersebut, yaitu memandikan kucing.
Selain konflik tahun 2010, semakin pudarnya ritual juga dipengaruhi oleh faktor internal lainnya. Kuatnya paham agama membuat sebagian masyarakat enggan berperan dalam melakasanakan ritual.
Teknologi dalam pertanian, seperti pompa air, memungkinkan masyarakat menemukan cara lain untuk menyuplai kebutuhan air selain dari hujan. Terakhir, perubahan komoditas pertanian dari padi ke tembakau yang membutuhkan sedikit air, juga membuat ritual ini sedikit-demi sedikit ditinggalkan oleh masyarakat.
Revitalisasi Budaya
Apabila dibiarkan, tentu saja hal ini cukup mengkhawatirkan. Ritual yang sarat akan nilai filosofis dan merupakan salah satu bentuk kekayaan bangsa, seolah menjadi asing di tanah sendiri.
Padahal, bila dieksplorasi secara proporsional, ritual ini juga dapat mendongkrak kunjungan wisatawan yang berperan dalam peningkatan taraf hidup masyarakat di sana. Selain itu, dalam tingkatan yang lebih kompleks, ritual Manten Kucing juga berfungsi sebagai sarana identitas, alat perekat sosial, jembatan antara masa lalu dan masa kini, serta sarana konservasi alam.
Bila ritual Manten Kucing hilang, maka hilang pula nilai dan fungsi yang melekat di dalamnya. Untuk mencegahnya, diperlukan sebuah usaha kolektif dari berbagai pihak seperti pemerintah, pemangku adat dan masyarakat. Mereka harus bekerja sama menjaga ritual budayanya.
Kreativitas, inovasi dan kompromi dalam memodifikasi unsur-unsur dinamis ritual tanpa harus mengubah esensi, juga perlu dilakukan di tengah gempuran globalisasi seperti saat ini. Hal ini untuk memastikan bahwa ritual Manten Kucing tetap bisa
dinikmatii oleh anak-cucu kita nanti.
Editor: Almaliki