Ada sebuah kalimat yang mempunyai nilai kearifan lokal yang dalam, yaitu: “Ata da meku ne’e doa delu, modhe ne’e hoga woe,” (lembut dengan sesama dan baik dengan sahabat). Sebuah prinsip yang masih dipegang oleh orang-orang Ngada di pulau Flores, Nusa tenggara timur (NTT). Suku dengan beragam kekayaan alam dan beragam keramahan masyarakatnya.
Etnis.id - Untuk menuju Ngada, dari ibukota Provinsi NTT yaitu Kupang maka kita dapat transportasi udara menuju Ende, yaitu sebuah kota di Pulau Flores. Setiba di sana, kemudian melanjutkan perjalanan darat menuju Kabupaten Ngada sekitar 61 km dengan naik minibus. Nantinya akan ada bandar udara kecil yang bernama Turulelo Soa Airport sebagai landasan udara di Bajawa. Jaraknya 21 km dari pusat kota kecil Bajawa. Maskapai Transnusa adalah satu-satunya penerbangan di landasan ini dengan jadwal terbang 4 kali dalam seminggu ke Bajawa.
Alternatif lain yakni penerbangan menuju Maumere. Setelah mendarat di Bandara Frans Seda, sebaiknya mengambil alternatif kendaraan sewa ke Bajawa. Bila ingin menggunakan kendaraan umum, bisa melanjutkan perjalanan dari Maumere ke Bajawa dengan minibus lewat stasiun bis di sebelah barat kota. Taxi atau ojek menuju terminal dapat diperoleh di bandara. Bila berada di Labuan Bajo, sangat direkomendasikan menyewa kendaraan daripada bis umum walaupun pilihan kembali di tangan masing-masing. Bajawa – Labuan Bajo dan Bajawa – Maumere jaraknya hampir sama. Bajawa berada tepat di tengah-tengah perjalanan antara Labuan Bajo dan Maumere.
Upacara Reba.
Diluar kekayaan alam, ada satu kekayaan lain yang tak dimiliki oleh banyaknya suku di nusantara. Yakni, kita dapat melihat upacara Reba di Kabupaten Ngada. Setiap kecamatan yang berpartisipasi dalam upacara adat di pulau Flores ini akan bergiliran menjadi tuan rumah setiap tahun, hal ini bertujuan agar setiap kecamatan diberi kehormatan dan memiliki peran yang adil. Acara Pesta Reba biasanya diselenggarakan pada pertengahan Januari, setiap tahunnya.
Sehari sebelum perayaan diadakan, akan diadakan upacara pembukaan Reba, dimana warga maupun seluruh keluarga berkumpul di rumah tradisional masing-masing. Mereka akan membahas masalah yang muncul di sukunya, menemukan solusi, mendamaikan anggota suku yang tidak setuju, menerima usulan calon suami, mendengarkan saran dari para penatua, menyucikan diri, hingga makan dan minum bersama sambil menunggu pagi. Kegiatan ini merupakan bentuk perpaduan antara adat tradisional dengan Katolik.
Upacara Adat Reba merupakan bentuk rasa terima kasih kepada masyarakat Ngada yang ditujukan kepada leluhur mereka. Ubi atau 'uwi' adalah hidangan utama dalam upacara tradisional ini. Pesta Reba memiliki nilai magis yang memikat orang dari berbagai wilayah di Pulau Flores.
Setelah Upacara Reba, kita akan mendapatkan pengalaman langsung menyaksikan tarian-tarian dengan penari menggunakan pedang panjang dan liukan "tuba", yang merupakan tongkat bulu kambing putih. Ada pemain musik juga yang akan memainkan menggunakan alat musik yang terbuat dari batok kelapa atau labu hutan. Alat musik ini sangat unik karena wadah resonansi ditutupi dengan kulit kambing dan bagian tengahnya dilubangi. Penggeseknya adalah sebilah bambu yang diikat dengan benang tenun dan digosok lilin.
Kita akan melihat sejumlah desa tradisional yang terdiri dari bongkahan batu berdiri, nuansa ini membuat kita merasakan berada di tengah-tengah masyarakat yang masih bertahan dari zaman batu. Masyarakat Ngada juga ada istilah Ngadhu dan Bhaga. Ngadhu adalah simbol leluhur lelaki, dan Bhaga adalah leluhur perempuan. Kemudian ada satu batu di desa Bena, di mana batu yang berdiri dianggap sangat sakral, yaitu ture.
Makanan Abadi.
"Dimakan, adek!" kata seorang penduduk di kampung ini, sembari menyodorkan aneka makanan rebus di atas mangkuk bambu. Mangkuk tersebut berisi ubi rebus, singkong rebus. Secara filosofis, menurut orang ngada, ubi merupakan salah satu makanan pokok yang selalu tumbuh sepanjang tahun. Ubi merupakan sumber makanan yang tidak akan habis digunakan oleh bumi manusia. Jadi, dari sini diharapkan orang-orang Ngada tidak akan pernah mengalami kerawanan pangan.
Ia juga mempersilahkan saya yang untuk menyeruput kopi asli Ngada. Menariknya, mulai dari gelas, sendok dan mangkuk, hampir semuanya perlengkapan makan dan minum ini merupakan olahan dari bambu. Bukan hal yang kebetulan, karena ternyata nama desa ini memang diambil dari salah satu jenis bambu asli wilayah tersebut, bambu Bela. Desa ini juga dikelilingi rimbunnya tanaman bambu yang menjadi potensi untuk dimanfaatkan masyarakat setempat.
Ubi, tuak, makan bersama, menari dan bernyanyi, merupakan bentuk rasa syukur dari suku Ngada terhadap rezeki yang berlimpah dari sang pencipta. Mereka percaya bahwa seluruh kehidupan ini merupakan anugerah dan harus dipertahankan sebaik-baiknya. Secara tidak langsung, ini menjadi satu kebiasaan dalam mempererat tali silaturahmi seluruh masyarakat suku ngada baik yang menetap maupun merantau.