Etnis.id - Tahun baru Hijriah menjadi salah satu awal tahun yang sakral bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Sebagai penandanya, masyarakat Jawa yang tinggal di Yogyakarta, memiliki tradisi unik yang sarat akan makna.

Adalah Topo Bisu Mubeng Benteng. Sampai sekarang, masyarakat Yogyakarta masih menjalankan ritual ini. Dari beberapa sumber yang saya peroleh, Topo Bisu merupakan bahasa asli Jawa yang berarti diam tanpa bicara.

Siapa saja yang mengikuti ritual ini, memang diwajibkan untuk tidak melontarkan sepatah kata pun, kecuali berzikir atau instropeksi diri. Alasannya, saat pergantian tahun hendaknya seseorang bisa lebih prihatin dalam memaknai serta menjalankan kehidupan. Mengurangi bicara dipercaya menjauhkan pibadi pada hal-hal yang tidak bermanfaat.

Mengenai sejarahnya, ritus ini sudah ada sejak tahun 1919. Waktu itu rakyat Yogyakarta melakukan upacara ritual membawa Kanjeng Kiai Tunggul Wulung yang tidak lain adalah bendera pusaka, sembari berjalan mengeliling Benteng Keraton.

Upacara ini merupakan salah satu bentuk ikhtiar keprihatinan rakyat setempat karena konon, penyakit influenza pernah mewabah di Yogyakarta. Rakyat memiliki keyakinan, dengan dilakukannya upacara tersebut, maka mampu menghilangkan wabah penyakit.

Dalam sebuah jurnal dimuat juga informasi terkait bendera pusaka Kanjeng Kiai Tunggal Wulung. Konon, bendera pusaka Kanjeng Kiai Tunggal Wulung itu sendiri adalah salah satu bagian dari penutup Kakbah di Mekah yang dibawa oleh Imam Syafi’i melalui utusannya, Sultan Hamengkubuwono 1 tahun 1784 masehi.

Berkat keyakinan serta sugesti penuh, pada akhirnya penyakit serta wabah tersebut bisa dihilangkan.  Sampai sekarang, ritual ini masih dijalankan oleh abdi dalem dan masyarakat Yogyakarta. Sekarang, tujuan melakukan ritus ini lebih pada pemaknaan sikap prihatin sebagai manusia.

Ada hal unik yang ingin saya sampaikan, yaitu kehadiran “Macapatan” pada prosesi Tapa Bisu Mubeng Benteng. Macapat sendiri merupakan salah satu wujud karya sastra Jawa yang kaya akan petuah-petuah kehidupan.

Dalam Laku Bisu Mubeng Benteng, Macapat menjadi penanda dimulainya ritual. Beberapa sumber mengatakan, jika Macapatan ini menjadi salah satu sarana komunikasi transendental antara manusia dengan sang pencipta, melalui laku doa, ibadah serta aktivitas lain yang diperintahkan Sang Pencipta.

Macapatan dilakukan dengan memakai bahasa khusus. Bukan bahasa pada umumnya. Macapatan berisi doa serta puji-pujian dalam bahasa Jawa. Lantas apa nilai yang terkandung di dalamnya? Apakah hanya mengabarkan sesuatu yang indah semata?

Tidak demikian. Macapatan merupakan cerminan dari realitas sosial masyarakat Yogyakarta. Macapatan hadir sebagai bentuk sarana penyampaian doa melalui wacana puisi dalam gaya Macapat. Tembang yang diwacanakan, merupakan tembang yang ditujukan kepada Tuhan dengan pengharapan penuh menuju kehidupan yang lebih baik.

Misal, masyarakat berharap, pada tahun berikutnya bisa menjadi lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jika kita tarik lebih luas lagi, Macapatan ini hadir dalam beberapa nilai.

Manakala kita tarik berdasarkan nilai keindahan, itu sudah pasti. Puisi yang diwacakan sarat akan nilai keindahan. Pun ditarik menggunakan nilai nilai sosial-budaya. Macapatan merupakan cerminan keadaan masyarakat Yogyakarta untuk menunggu puncak ritual.

Selain itu ditarik menggunakan nilai religiusitas. Secara sederhana, bisa disimpulkan Macapatan menjadi bentuk komunikasi hamba kepada sang pencipta melalui lantunan doa-doa yang tersirat di dalam tembang Macapat.

Eksitensi Macapatan dalam ritus Laku Bisu Mubeng Benteng ini juga menjadi cerminan ritual serta spiritual masyarakat setempat lewat bahasa yang indah. Melalui wacana puisi, masyarakat diajak untuk senantiasa memohon perlindungan kepada Tuhan dari segala hal buruk, mengingat kuasa Tuhan serta menjaga kehidupan dalam bermasyarakat hingga mencapai puncak tertinggi yaitu
ketenangan jiwa serta raga.

Editor: Almaliki