Hari sabtu tanggal 11 September 2021 kemarin, saya mengikuti kegiatan pembuatan film berjudul “Laguna Teluk Samawi” yang dibesut oleh anak-anak muda Aceh di Kota Lhokseumawe dan sekitarnya. Tidak tanggung-tanggung, nama-nama beken seperti Nyakman Lamjame, Sirajul Munir, Hendri, Ichsan Nanda dan Alan Kiteng tercantum dalam susunan credit film yang rencananya akan diputar secara perdana di Indonesiana TV pada bulan Oktober nanti.

Dilihat dari prosesnya, boleh dikatakan bahwa film ini sangat menarik karena mengangkat kisah tentang salah satu kota pelabuhan penting di Nusantara sejak masa kejayaan Samudera Pasai hingga era kolonial. Berdasarkan hasil riset yang mereka lakukan, ternyata belum ada satu literasi pun yang menceritakan kota pelabuhan ini secara utuh di masa jayanya.

Beberapa penjelajah terkenal seperti Ibnu Batutah, Ceng Ho, Marsden, Marcopolo, Von Schmidt dan Hurgronje hanya menggambarkan sedikit dari perjalanan mereka. Keterbatasan ini membuat sejarah Lhokseumawe seolah terendam di antara sejarah entitas politik besar, seperti Kerajaan Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam. Tetapi semangat untuk mempelajari sejarah membuat anak-anak muda ini menjahit penggalan catatan itu untuk membangun konstruksi tentang sejarah Lhokseumawe dan perananannya sebagai bagian dari Jalur Rempah Nusantara.

Dari sudut pandang saya, upaya yang mereka lakukan ini merupakan bentuk penyelamatan sekaligus diplomasi kebudayaan yang konkrit. Karena hasil karya mereka tidak hanya tersimpan dalam kardus yang terisolasi dengan rapi, melainkan dapat disaksikan oleh seluruh masyarakat yang mengaksesnya melalui dunia maya. Melihat proses yang dilakukan, saya pun merasa penasaran dan tidak sabar lagi untuk melihat hasilnya.

Sekilas tentang Kota Lhokseumawe

Secara toponimi, penamaan Lhokseumawe memiliki dua versi cerita. Versi pertama mengatakan bahwa Lhokseumawe berasal dari kata Lhok yang artinya teluk, dan Seumawe yang artinya pusaran air yang berada di laut. Versi ini mengatakan bahwa Lhokseumawe itu berarti teluk yang airnya berputar-putar. Sementara versi kedua mengatakan bahwa bahwa Seumawe berasal dari kata Samawi, yang kemudian berubah dalam pelafalan orang setempat. Samawi berasal dari bahasa Arab yang berarti langit. Kata ini sering dinisbatkan pada orang-orang yang berasal dari Jazirah Arab, karena mereka memperkenalkan Islam sebagai salah satu agama yang diturunkan dari langit.

Penamaan Samawi ini memiliki keterkaitan sejarah dengan jalur perdagangan rempah Nusantara di masa lalu. Para penjelajah mencatat bahwa sejak masa Kerajaan Samudera Pasai, Teluk Samawi merupakan salah satu pelabuhan yang paling berkembang di pesisir utara Jazirah Sumatra yang menjadi bagian dari jalur perdagangan rempah dunia. Orang-orang dari Turki misalnya, mereka datang ke Nusantara melewati Jazirah Arab, singgah di Hadramaut, ke Gujarat, singgah di Aceh lalu ke seluruh wilayah Nusantara.

Dalam pelayaran itu mereka tak hanya berdagang, tetapi juga mengemban misi dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Jangan heran, di bumi Serambi Mekkah ini banyak sekali orang-orang yang wajah dan perawakannya menyerupai orang Arab. Sebagian dari mereka bahkan memiliki keistimewaan, yakni hubungan nasab dengan Nabi Muhammad SAW melalui keturunannya yang ada di Yaman. Orang-orang yang memiliki keistimewaan ini dapat kita ketahui dari gelar yang mereka sandang yakni Syarif dan Sayyid untuk laki-laki, serta Sayyidah dan Syarifah untuk perempuan.

Latar belakang sejarah ini yang kemudian menempatkan agama Islam dan kebudayaan Aceh dalam satu nafas. Artinya, agama Islam secara kontekstual tidak hanya menjadi pondasi dasar dalam membangun sebuah kebudayaan, tetapi juga menjadi referensi spiritual yang membuat kebudayaan itu masih tetap bisa kita lihat, dengar, dan rasakan hingga saat ini. Selama orang Aceh, khususnya di Lhokseumawe, masih memeluk dan menjalankan syariat Islam, selama itu pula kebudayaan ini akan tetap bertahan. Karena itu tadi, agama dan budaya berada dalam satu nafas yang tak terpisahkan. Hal ini juga yang dilihat oleh Haji Puteh (Snouck Hurgronje), sehingga ia masuk dan menginfiltrasi kebudayaan Aceh dari sisi Agama.

Rempah dan Perubahan Kebudayaan Masyarakat

Pasca berakhirnya masa-masa emas sebagai Kota Petrodollar, pelabuhan di Kota Lhokseumawe terlihat sepi, meski ada aktivitas bongkar muat tetapi tidak sepadat pelabuhan Belawan di Sumatra Utara. Bisa dikatakan bahwa Lhokseumawe kini bukan lagi kota pelabuhan seperti yang diceritakan dalam catatan para penjelajah di masa lalu. Konsekuensinya, jalur rempah nusantara pun terputus. Tanpa adanya perdagangan rempah, banyak mata pencaharian yang semula potensial kemudian hilang dalam kehidupan masyarakat. Jika kita lihat, aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan laut saat ini didominasi oleh nelayan. Mereka tidak lagi berdagang antarpulau, bahkan antarnegara seperti yang dilakukan di masa lalu.

Kehilangan jenis-jenis mata pencaharian yang potensial membuat kemampuan ekonomi masyarakat menjadi lemah, dan lemahnya kemampuan ekonomi membuat orang rentan menjadi lapar. Dalam keadaan seperti itu, alih-alih melestarikan, warisan budaya sendiri bahkan bisa dijual untuk mempertahankan hidup. Warisan budaya Aceh khususnya untuk kategori Benda Cagar Budaya, bernilai tinggi sebagai benda koleksi. Tetapi jika sudah jatuh ke pasar gelap, kecil harapan untuk dapat kembali. Terutama jika barangnya sudah dikirim ke luar negeri, tentunya akan sulit untuk direpatriasi. Ini dari satu sisi.

Di sisi lain, secara praktik, banyak yang berubah dalam kebudayaan masyarakat Lhokseumawe. Sejauh mana perubahan itu terjadi, tentu dibutuhkan riset yang lebih mendalam untuk mengukurnya. Tetapi secara kasat mata dapat kita lihat bahwa ada struktur sosial yang sudah berubah, ada kesenian yang berada di ambang kepunahan, ada mata pencaharian yang sudah hilang, dan tradisi yang sudah jarang dilakukan. Sederhananya saja, hiburan anak-anak di masa lalu dan anak-anak saat ini sangat jauh berbeda. Jika dulu anak-anak bermain layangan, bermain geunteut, beradu seumapa dan sebagainya, anak-anak sekarang cenderung memilih Mobile Legend, PUBG, dan berekspresi di media sosial seperti Instagram, YouTube, dan Tiktok.

Perubahan dalam praktik kebudayaan disebabkan karena adanya negosiasi nilai dengan perubahan yang terjadi di sekitar kebudayaan itu sendiri, seperti misalnya; inovasi baru dalam bidang teknologi, perubahan sistem perekonomian, kebijakan pemerintah serta situasi politik. Terlebih lagi selama rentang waktu pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam hingga kini, berbagai peristiwa telah mewarnai sejarah Lhokseumawe dari masa ke masa. Berbagai peristiwa sejarah ini memiliki kontribusi besar dalam membentuk kebudayaan masyarakat di Lhokseumawe menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini.

Kemudian secara esensial, kebudayaan yang dijalankan oleh masyarakat sebenarnya masih sama seperti yang dulu. Hal ini terjadi karena agama sebagai pondasi tidak berubah, sehingga meskipun lingkungan di sekitar kebudayaan itu berubah, esensi dari praktik kultural yang dilakukan tetap mengarahkan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang melekat pada agama sebagai pondasi dasarnya. Intinya, selama masyarakat masih beragama Islam, masih menjalankan apa yang diperintahkan dalam agamanya, kebudayaan masyarakat tidak akan berubah.

Teluk Samawi dan Masa Depan Rempah Aceh

Kalau kita ingin membangun kembali kejayaan di Teluk Samawi, hal pertama yang harus dilakukan adalah menguatkan agama sebagai referensi spiritual dan pondasi dasar dari kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan secara fisik dan praktik akan terbangun dengan sendirinya mengikuti referensi spiritualnya, seperti peradaban Yunani yang berkembang sesuai dengan Helenisme-nya, Roma dengan Gereja-nya, Skandinavia dengan Mitologi Nordik-nya, serta Tiongkok kuno dengan Taosime-nya.

Persoalan apakah nanti akan ada praktik kultural yang berubah, itu memang sudah menjadi fitrahnya. Karena sama seperti manusia, kebudayaan juga memiliki daur hidupnya sendiri. Kebudayaan itu lahir, tumbuh, berkembang, mengalami fase perubahan, lalu akhirnya mati ketika ia sudah tidak dianggap fungsional lagi. Tetapi meskipun akhirnya dia akan mati, generasi kita saat ini memiliki tanggung jawab moral untuk mendokumentasikannya, baik itu dalam bentuk kajian, foto, maupun video.

Boleh jadi budaya yang tidak fungsional hari ini disebabkan keterbatasan kita untuk memahami kearifan yang ada di dalamnya, dan bisa pula budaya yang tidak fungsional hari ini menjadi jawaban atas persoalan yang mungkin saja akan dihadapi oleh generasi yang akan datang. Ketika persoalan itu muncul, mereka tidak perlu lagi menggalinya, karena kita sudah menyiapkan referensinya untuk mereka.

Kedua, mengembalikan fungsi Lhokseumawe sebagai kota pelabuhan dan perdagangan. Tentunya, ini dapat terwujud dengan adanya kepastian hukum dan jaminan atas tegaknya prinsip persaingan usaha yang sehat. Dengan hadirnya aktivitas pelabuhan yang intens, maka akan muncul mata pencaharian baru di kawasan Kota Lhokseumawe dan sekitarnya. Mungkin saja rempah Aceh yang dulu menjadi primadona bisa muncul kembali dan memberikan manfaat yang jauh lebih besar kepada masyarakat. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa rempah Aceh bisa mengembalikan Lhokseumawe sebagai kawasan Petrodollar meski cadangan gas sudah tidak ada sama sekali.

Kebangkitan kembali rempah Aceh bukan sekedar isapan jempol semata, tetapi geliatnya sudah mulai terjadi di berbagai daerah. Seperti di Kabupaten Aceh Besar misalnya, ada Bapak Sulaiman yang berhasil merubah wajah Lamteuba dari penghasil ganja menjadi penghasil kunyit dan rempah berkualitas di bawah brand Aslam. Kemudian ada Bapak Haji Mansur di Lhoksukon yang terkenal dengan Lada Putih Bubuk berkualitas merek Ben Ali, serta para petani di Aceh Jaya yang sukses mengembangkan Nilam sebagai cashcow yang sangat potensial.

Dari sini sebenarnya kita dapat belajar dengan mengambil hikmah, bahwa Aceh memiliki masa lalu yang diwarnai dengan kejayaan. Sepatutnya generasi muda Aceh juga memiliki masa depan yang cerah. Tentunya, semua itu dapat terwujud jika kita memiliki niat tulus untuk membangun daerah, kita mampu melihat potensi yang ada, lalu mengembangkannya dengan semua yang kita punya.

Penyunting: Nadya Gadzali