Etnis.id - Dahulu saat belum terdapat alat tulis dan kertas, seni dianggap memiliki kapasitas untuk menanamkan ilmu pengetahuan―termasuk kaitannya―terhadap moralitas Jawa.

Moralitas atau etika Jawa adalah keseluruhan norma dan perilaku yang digunakan oleh masyarakat, untuk mengetahui bagaimana manusia Jawa seharusnya menjalankan kehidupan―mencakup tentang cara membawa diri, sikap-sikap dan tindak-tanduk.

Tulisan ini adalah cara pandang penulis dalam melihat realitas manusia Jawa dalam bersikap dan berkepribadian Jawa. Salah satu hal yang cukup esensial adalah tentang kelas priyayi Jawa. Melalui tulisan ini, konsep priyayi ditelusuri di dalam praktik seni tari.

Contohnya, gerak tubuh dalam seni tari keraton kini merambah sebagai media penyampai pesan kehidupan dan cerminan kultur kebudayaan kaum priyayi. Ia tumbuh akibat pengaruh sejarah yang mengitarinya.

Konsep priyayi inilah, secara gamblang, pernah ditulis oleh Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul Raja, Priyayi dan Kawula. Diartikan oleh Kunto, priyayi adalah orang-orang yang berasal dari keturunan raja dan orang-orang terpelajar.

Priyayi dianggap sebagai suatu kelas sosial dan berkedudukan lebih tinggi dari orang biasa. Sebagai upaya untuk membedakan status sosial, priyayi menjelma sebagai hasil budaya yang dijadikan sebagai identitas atau karakteristik.

Identitas priyayi dihasilkan dengan tujuan untuk menunjukkan perbedaan status. Menciptakan identitas, sama halnya dengan membentuk kesamaan kolektif yang dapat memberi jarak, sekaligus pembatas terhadap kelas atau budaya lain. Hal tersebut sengaja diciptakan guna mewujudkan kepentingan sosial, budaya dan politik. Lalu, sejauh mana rekonstruksi priyayi melalui mediasi tubuh penari?

Rekonstruksi tubuh penari

Manifestasi tubuh bagi seorang penari berfungsi untuk mengartikulasikan perasaan dalam jiwa. Melalui tubuh pulalah, penari dapat membentuk pola-pola ritmis yang kaya akan nilai.

Tubuh juga memediasi, menyalurkan ekspresi dan mengonstruksikan pemahaman terhadap entitas pada seseorang untuk berinterpretasi. Tubuh seakan menjadi bukti atas pelbagai aktivitas diri sendiri maupun sosial.

Sebagai medium utama penari, gerak yang terurai melalui tubuh menjadi jawaban atas penghayatan. Tubuh penari keraton didisiplinkan untuk mengarahkan pada kesempurnaan lahir dan pengendalian diri.

Esensi tari keraton adalah nilai etika, estetika, dan spiritual. Setiap tarinya merefleksikan kebiasaan yang serba ditata, terkontrol dan terkendali. Seperti tangan tidak boleh direntangkan terlalu ke atas, pandangan mata dan kepala menghadap ke bawah, serta tidak boleh membuka kaki terlalu lebar.

Ragam gerak yang halus, harus terkendali seirama dengan suara gamelan. Belajar menari keraton, sama dengan mengajarkan tata krama dan sopan santun―terlebih tari yang bergenre putri. Gerak tubuh yang halus dan luwes mengajarkan untuk membentuk kepribadian wanita Jawa.

Menelisik lebih jauh, menurut penuturan Kanjeng Pangeran Aryo Winarnokusumo, pembelajaran tari di keraton bertujuan untuk menempa jiwa, untuk mengetahui tata susila, mengolah batin serta mengetahui cara menghormati seseorang.

Makanya, menjadi penari keraton tentu harus memiliki daya dan laku secara kejawen. Seorang penari harus melatih keheningan, menahan hawa nafsu dan berpuasa, agar memperlihatkan karakter diri seorang penari yang anteng, jatmika, sareh, semeleh dan merak ati.

Selain itu, kemampuan penari dalam bergerak ditopang oleh rutinitas pengaturan tubuh. Tak heran jika penari memiliki kewajiban mengolah tubuh demi melatih kelenturan, kekuatan, ketahanan, keseimbangan dan kemampuan.

Kelima hal itu membantu penguasaan penari terhadap konsep estetis tari Jawa yang disebut sebagai hastha sawanda. Penerjemahan hastha sawanda menjadi pijakan menari didasari atas orientasinya yang mengarahkan penari pada kesempurnaan lahir dan pengendalian diri. Singkatnya, penerjemahan ini mengindikasikan
beberapa kriteria untuk diterapkan dalam ketubuhan.

Konsep hastha sawanda menetapkan karakteristik tertentu sebagai sebuah konvensi yang berfungsi untuk membentuk penari ideal. Semakin seorang penari mendekati ketetapan yang ada dalam konsep, maka dinilai semakin sempurna.

Pada dasarnya konsep ini dibakukan secara personal, namun karena memiliki relevansi dalam tari, maka konsep hastha sawanda mendapat pengakuan kolektif. Salah satu pembuktian datang dari Institut Seni Indonesia Surakarta yang hingga sekarang menggunakan hastha sawanda sebagai standar kepenarian.

Hastha sawanda memiliki peran untuk membentuk penari yang ideal. Proporsi penari ideal menurut kaca mata konsep hastha sawanda adalah yang dapat menyesuaikan diri terhadap delapan elemen meliputi kualitas gerak, peralihan gerak,
ekspresi, kelenturan, kenyamanan, desain dramatik dan kepekaan terhadap musik.

Pada praktiknya, membentuk idealitas ketubuhan bukanlah hal mudah, karena penari perlu melewati beberapa tahap, yaitu hapal gerak, peka terhadap suara gending, mampu memvisualisasikan karakter, mbanyumili atau mengalir dan mampu memperlihatkan kualitas ketubuhan.

Menjadi priyayi lewat tari keraton

Priyayi diartikan sebagai orang-orang yang berasal dari keturunan raja, beserta orang-orang yang memiliki jabatan baik di dalam maupun luar keraton. Priyayi menurut Clifford Geertz adalah suatu kelas sosial yang tergolong sebagai kaum aristokrat, kebudayaan yang dimiliki berbeda dengan kebudayaan orang biasa yang dianggap lebih kasar.

Golongan priyayi mewakili tradisi agung, tingkah lakunya terkendali secara cermat, memiliki sikap menahan diri, berpengetahuan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kerohanian (1981, 307-308).

Karakteristik priyayi yang telah dikemukakan Clifford Geertz, diwujudkan melalui belajar tari keraton. Tari keraton merupakan salah satu hasil budaya yang merepresentasikan keadaan sosial masyarakat keraton.

Dengan begitu, menari tari keraton sama dengan mendekatkan diri pada figur priyayi Jawa. Bentuk sajian tari keraton di bagian awal dan akhir umumnya menampilkan gerak sembahan atau manembah, yang memiliki makna penghormatan.

Dalam berekspresi, penari tidak diizinkan untuk senyum terlalu lebar hingga memperlihatkan gigi. Adapun jarak pandangan mata sejauh tiga kali tinggi badan penari ke arah bawah atau lantai.

Gerak tari keraton khususnya tari bergenre Bedhaya dan Srimpi memiliki bentuk-bentuk gerak yang pelan dan halus, hal tersebut dapat mengintegrasikan penari pada kehalusan budi dan pengendalian diri.

Etika yang diajarkan untuk merepesentasikan figur priyayi Jawa juga dilakukan penari melalui cara memakai jarik dan berlatih tata bahasa krama ketika berbicara kepada guru tari.

Kadang kala guru tari pun memberikan nasihat kepada murid seperti “jogonen projomu”, “jogonen wedokmu” yang artinya jagalah harga dirimu, jagalah perempuanmu. Menurut sudut pandang guru, bagaimana bentuk gerak tubuh penari saat menari, ditentukan dari sikap dan kejiwaan dalam bertingkah laku sehari-hari.

Apabila penari sering bergonta-ganti pasangan, maka kesan dan citra tersebut akan tampak saat menari dan itu tidak sesuai dengan identitas penari keraton. Kebiasaan yang diterapkan selama latihan tari, dapat membentuk perilaku murid sesuai keadaan kultural masyarakat keraton.

Bagi seorang penari keraton, menari adalah merefleksikan diri untuk mengendalikan
emosi. Puncak capaiannya dapat merasuk ke dalam diri ketika seorang penari telah menghayati dan mengamalkan arti dari simbol-simbol tari.

Seni tari keraton Surakarta kaya akan makna simbolik yang mengupas tentang nasihat, bentuknya pun tak luput untuk mengajarkan menjadi pribadi yang tenang. Menari tradisi keraton adalah semacam laku doa melalui gerak tubuh dalam mewujudkan religiousitas kepada sang ilahi.

Melalui tata norma tradisi keraton pulalah, seorang penari berkesempatan mendapatkan ruang untuk merenungi nilai-nilai kehidupan dan belajar menitiskan diri menjadi kaum priyayi.

Editor: Almaliki