Awal membaca tentang kesenian Reyog Ponorogo dalam Serat Centhini, rasanya seperti kejatuhan palu gada. Kisah yang menyertai pengembaraan Cebolang (salah satu tokoh dalam karya sastra Serat Centhini) ke Slahung Panaraga itu tak memperlihatkan Kelana Sewandana sebagai tokoh sentral pada terbentuknya kesenian Reyog Ponorogo. Akan tetapi, ceritanya didaku tua, melegenda, dan keabsahan historinya begitu diyakini oleh masyarakat.

Bagai kisah yang terlupakan, legenda Kelana Sewandana dengan Kerajaan Bantarangin sama sekali tak menjadi fokus penceritaan. Reyog diceritakan cenderung berstigma negatif. Indahnya Seni Reyog tergulung cerita yang penuh tragedi dari penceritaan fenomena Warok dan Gemblak.

Tanya pun mencuat, mengapa kesenian Reyog Ponorogo terbingkai begitu negatif? Mungkin, di masa pembuatan Serat Centhini kisaran tahun 1814 M, Warok dan Gemblak yang dinilai menyimpang secara syariat dan sosial memang menjadi buah bibir. Sehingga terabadikan dalam Serat Centhini, pupuh 291 tembang Maskumambang hingga 293 tembang Durma.

Bentuk pertunjukannya sangat berbeda dengan bentuk kesenian Reyog masa kini. Jejak gambaran pertunjukan Reyog tahun 1814 M sesuai Serat Centhini rampung ditulis seolah menegaskan eksistensi pertunjukan Obyog di masa lalu. Hanya ada Barongan, Gendruwon (Bujang Ganong), dan Jathilan.

Para pemain Gendruwon (Bujangganong) tergambar membawa sambit arit, pedang dan kapak saat arak-arakan acara sunatan. Senjata tajam yang dibawa tak sekadar menjadi properti pentas. Namun, digunakan sebagai pertahanan dari para Warok yang memperebutkan jathil untuk menjadi Gemblaknya. Sekaligus pertahanan dari gesekan antar kelompok Reyog yang marak di masa itu.

Gesekan antar kelompok Reyog dipicu persaingan para Warok untuk menunjukkan siapa yang paling kuat. Warok sebagai tokoh disegani masyarakat lantaran berperan penting dalam kesenian Reyog. Bisa dikatakan tokoh pemimpin kelompok Reyog yang berilmu kanuragan. Kesenian Reyog menjadi terbingkai begitu menyeramkan dan penuh tragedi.

Dengan egosentris kedaerahan yang begitu primordial, tentu saya pun bertanya-tanya. Benarkah di masa lalu kesenian Reyog Ponorogo hanya demikian? Kehendaknya hanya satu, membalik narasi negatif yang tertulis dalam Serat Centhini, yang begitu mendiskreditkan Reyog Ponorogo.

Citra Reyog Ponorogo yang tragis dan penuh konflik dalam Serat Centhini hanya saya letakan secuil bagian saja dari sosiologis masyarakat pecinta kesenian Reyog Ponorogo, dengan tetap mencari pijakan tekstual cerita Kelana Sewandana dan Bantarangin sebagai muasal cerita Reyog Ponorogo selain dari buku Babad Ponorogo dan buku acuan pementasan Reyog yakni “Buku Kuning”.

Alhasil, tokoh Kelana Sewandana dalam Reyog Ponorogo yang identik dengan tokoh cerita panji itu berangsur terjawab. Lewat naskah bendel berjudul Titingalan Reyog Panaraga (kisaran 1920-an) dapat dikatakan Reyog Ponorogo memang bagian kesenian turunan dari sekian banyak kesenian terkait cerita panji. Yang dalam naskah tertuliskan:

Miturut gotéking titiyang sepuh-sepuh ing panaraga, wontenipun titingalan jatilan punika ing kinanipun pethilan saking arak-arakan ing jaman nagari kedhiri inggih punika panggihipun Déwi Condra Kirana dhaup kaliyan Radén Panji Asmara Bangun ing Jenggala. nalika panggih wau mawi srah-srahan buron wana inggih barongan punika pepethanipun. déné réyog nenem dalah bujang ganong punika pangiritipun.

Terjemahan:

Menurut pengetahuan para orang tua di Ponorogo, wontenipun pertunjukan Jathilan (Reyog) itu dulunya petikan dari arak-arakan di nagari Kedhiri yakni pernikahan Dewi Candra Kirana dengan Raden Panji Asmara Bangun dari Jenggala. Pernikahan tersebut disertai penyerahan buron (hewan buruan) hutan yakni berupa Barongan, dikawal enam Reyog dan Bujang Ganong.

Keyakinan soal historisitas Kelana Sewandana dan Bantarangin pun berada di persimpangan jalan. Seolah mengikis keyakinan perihal cerita asal-muasal Reyog Ponorogo yang selama ini diperbincangkan. Apa mau dikata, data berbicara demikian.

Terlebih lagi setelah membaca hasil riset Pigeud dalam Javaanse Volksvertoningen Bijdrage Tot de Beschrijvingvan Land en Volk (1938) yang juga tak menyebut Kelana Sewandana sebagai tokoh sentral dalam kesenian Reyog. Data hasil penelitian berada pada titik kontra dari cerita lisan masyarakat. Lalu, apakah keyakinan cerita masyarakat gugur begitu saja? Tentu saja tidak.

Posisi cerita masyarakat berada dalam lingkup kreativitas kesenian. Sedangkan urusan historis berada pada titik pandang jauh, bukan sebagai kreasi narasi kesenian. History mengamati dinamika dari semesta keragaman cerita Reyog Ponorogo, mulai versi Ki Ageng Kutu hingga versi Bantarangin.

Posisi pencarian mana yang paling tua antara pijakan versi Ki Ageng Kutu atau versi Bantarangin tak jadi hilir. Akan tetapi, bagaimana ragam cerita itu terbangun sebagai rangkaian transformasi narasi kesenian Reyog yang berusaha bergerak menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan segudang kepentingan.

Sosok Penthul, Kelana Sewandana, Barongan/Dadhak Merak, membuat Jathilan seolah hadir sebagai reproduksi representasi masa lalu. Hadir atas keterpengaruhan lingkup kesenian yang merujuk cerita panji.

Jejak lisannya pun dapat dilacak dari memori masyarakat. Beberapa seniman Reyog di Madiun menyebut Reyog dulu juga memainkan lakon Andhe-andhe Lumut. Sosok Penthul Tembem yang umum dalam cerita panji disebut-sebut identik dengan kesenian Reyog.

Bahkan penelusuran Lono Simatupang dalam buku Play and Display: Dua Moda Pertunjukan Reyog Ponorogo di Jawa Timur menyebut pada kisaran tahun 1940-an sosok Kelana Sewandana hanyalah tokoh pendukung (2019: 142), bukan tokoh sentral seperti representasi Reyog Ponorogo saat ini.

Dengan begitu, representasi Reyog Ponorogo memang bertumbuh. Bergerak adaptif menyesuaikan estetika zaman. Menjadi hal wajar jika ada beragam pemaknaan pada kesenian Reyog.

Ragam pemaknaan seperti ini memang lumrah terjadi. Bergantung pada kapan dan siapa yang memaknai. Seperti yang diungkapkan Stuart Hall dalam tulisannya, The work of Representation, bahwa ada tiga fungsi representasi yakni: 1) reflective atau cerminan dari makna sebenarnya; 2) intentional atau makna dari cara pandang pemakai bahasa; 3) constructionist atau makna yang dihasilkan dari konstruksi individu/kelompok pemakai bahasa (1997: 15). Dengan kata lain, bergantung pada cara pandang dan tujuan si pemakna. Sehingga perbedaan memang lumrah terjadi.

Beragam temuan tekstual Serat Centhini, Titingalan Reyog Panaraga, dan berbagai hasil riset terdahulu terkesan mematahkan keyakinan asal-muasal Reyog Ponorogo. Bertentangan dengan narasi resmi pemerintah. Harus mencari jalan lain, pandai-pandai memosisikan mana yang history dan story agar tak salah mengambil awal pijakan berpikir.

Cerita Reyog Ponorogo hari ini berada pada posisi constructionist. Hasil olah kreativitas pewaris dari cikal-bakal kesenian Reyog Ponorogo. Mereproduksi bentuk masa lalu agar lebih sesuai dengan estetika zaman dan pemaknaan baru yang merespon beragam kepentingan pragmatis zaman. Hingga muncul bentuk estetika Reyog Ponorogo berlatar cerita Kelana Sewandana dan Bantarangin. Sebuah story yang melekat pada pertunjukan Reyog Ponorogo.

Selintas saya pun berpikir, umpama siklus tumbuh-kembang manusia, kesenian Reyog Ponorogo pun mengalami siklus demikian. Melewati tahap-tahap penyempurnaan estetika, bahkan hingga kini tahap itu (mungkin) belum berhenti.

Paling mungkin dilakukan adalah pembacaan ruang history dari dinamika narasi dan estetika Reyog Ponorogo. Ketimbang memikirkan pijakan versi, tegangan para pembela versi narasi, atau berebut pendakuan siapa yang paling tua dan paling benar. Yang umum pula hanya menginterpretasi bentuk estetika Reyog saat ini dalam kerangka imajinasi masa lalu. Bentuk estetika Reyog Ponorogo saat ini tidak setua itu.

Dipertautkannya Reyog Ponorogo hingga kerajaan Majapahit tampaknya masih abu-abu. Begitu pula dengan beragam interpretasi masa lalu yang kadang tak mempertimbangkan temuan artefak lain. Barangkali, di luar Ponorogo, ada pula kesenian bernama Reyog dengan beda representasi?

Kebingungan memang belum tuntas terobati. Penelusuran minimal memunculkan satu gambaran bahwa ada semesta Reyog lain di luar batas teritori. Fenomena garis dalam teritori hanya story yang belum terkonstruksi history-nya. Sehingga, masih terbuka lebar untuk ruang riset history kesenian yang bernama Reyog itu.

Ilustrasi Reyog Ponorogo: foto.dok Wikimedia Commons, Koleksi Tropenmuseum, circa 1920.

Penyunting: Nadya Gadzali