Etnis.id - Selembar brosur wisata berukuran besar terbentang di genggaman tangan saya. Dalam brosur itu, Amsterdam menabalkan dirinya sebagai “City of Sin” dan “City of Museum”.

Sembari tersenyum membacanya, saya pikir itu sebuah kontradiksi unik yang berhasil memikat wisatawan dari pelbagai belahan dunia menyambangi Belanda.

Gelombang manusia pelbagai usia dan ragam, tak henti keluar masuk Amsterdam Centraal, stasiun yang berada satu kompleks dengan Bandara Internasional Schiphol. Mereka hilir mudik di sepanjang ruang terbuka depan stasiun hingga trotoar kota.

Jalan Borneo di Indische Buurt/Arman AZ/Etnis

Di halte, orang-orang sabar menunggu giliran datangnya trem. Disergap dingin dan gerimis, mereka disiplin mematuhi peraturan. Dalam balutan jaket tebal, mantel, syal, dan sebagian menggenggam payung, mereka menanti lampu merah berganti hijau.

Jadwal keberangkatan trem dan line tujuan sudah terpampang di papan digital hingga orang-orang tak perlu risau menunggu lama. Sesekali lonceng trem berdentang-dentang, pertanda siap berangkat.

Indonesia dan Belanda memiliki ikatan historis emosional. Di Belanda, selain menyambangi museum dan perpustakaan yang mengoleksi khasanah sejarah-budaya Indonesia, saya mencari kawasan Indische Buurt.

Jalan Palembang di Indische Buurt/Arman AZ/Etnis

Di kawasan itu, banyak nama jalan diambil dari nama pulau dan daerah di Indonesia. Bisa jadi informasi ini jarang diketahui warga Indonesia, termasuk yang menetap di Belanda. Hal ini bukan hanya di Amsterdam. Di kota lain di Belanda juga melakukan hal serupa, seperti kota Nijmegen, Haarlem, Almelo, Almere, Apeldoorn, Arnheim, Dordrecht, Eindhoven, Groningen, Utrecht, Rotterdam, dan beberapa lainnya.

Saya lebih tertarik mencari di Amsterdam karena jumlahnya lebih banyak. Bermodal kar dan petunjuk transportasi yang mudah dipahami dari Stasiun Amsterdam Centraal, saya temukan kawasan Indische Buurt.

Tidak sampai setengah jam, trem yang saya tumpangi tiba di tujuan. Sisa gerimis membuat cuaca lumayan lembab. Kawasan Indische Buurt lengang. Saat itu sedang musim dingin di Eropa. Aplikasi suhu di gawai saya memberitahu, temperatur di Belanda hari-hari belakangan ini antara delapan hingga sempat dua derajat. Cuaca yang cukup menyulitkan bagi mereka yang sekian lama hidup dalam cuaca tropis di katulistiwa.

Jalan Batavia di Indische Buurt/Arman AZ/Etnis

Berjalan kaki menyusuri ruas-ruas jalan Indische Buurt, saya seperti bocah menemukan mainan baru, semringah menemukan plang kecil warna biru di ujung blok. Di setiap plang itu tertulis nama—nama jalan berbau Indonesia, lebih banyak dari yang saya duga. Meski mayoritas nama jalan itu menggunakan ejaan lama, tidak mengurangi antusiasme melacak dan memergokinya.

Di Indische Buurt, saya berpindah dari satu pulau ke pulau lain, dari satu kota ke kota lain, cukup dengan berjalan kaki. Saya teringat ihwal satire, salah satu “nasib” pahlawan di Indonesia adalah namanya diabadikan sebagai nama jalan atau nama bandara, bukan spirit perjuangannya.

Ternyata, faktanya, beberapa tokoh Indonesia pun dijadikan nama jalan di Belanda, misalnya Kartini (di Kota Utrech dan Harleem), Hatta (di Kota Harleem), dan beberapa nama pahlawan Indonesia. Terakhir, beberapa tahun lalu sempat dipublikasikan sebuah berita tentang Munir, aktivis demokrasi yang meninggal dalam perjalanan menuju Belanda, dijadikan nama jalan di Negeri Oranye.

Jalan Sumatra di Indische Buurt/Arman AZ/Etnis

Bataviastraat, Balistraat, Lampongstraat, Borneostraat, Javastraat, Sumatrastraat, Atjehstraat, Delistraat, Sibogastraat, Niasstraat, Riouwstraat, Palembangstraat, Benkoelenstraat, Bankastraat, Langkatstraat, Padangstraat, Djambistraat, Gorontalostraat, Tidorestraat, Semarangstraat, Madurastraat, Bonistraat, Batjanstraat, Halmaheirastraat, Makassarstraat, Menadostraat, Molukkenstraat.

Itulah nama-nama jalan yang saya temukan di Indische Buurt. Di ruas jalan itu berjajar pertokoan yang menjual beragam produk, dari sayur mayur, apotek, toko elektronik, galeri seni, rumah makan, dan sebagainya. Sebagian kawasan yang lebih lengang tampaknya menjadi rumah penduduk setempat.

Javastraat menjadi jalan utama di kawasan Indische Buurt. Di kawasan Molukkenstraat, ada tanah lapang yang dijadikan ruang publik, taman
bermain untuk anak-anak dan sarana olahraga untuk warga sekitar kompleks perumahan.

Belanda tempo dulu/Arman AZ/Etnis

Bagaimana sejarah atau asal mula nama-nama jalan itu memakai nama daerah di Indonesia? Siapa penggagasnya? Apakah orang-orang yang tinggal di kawasan Indische Buurt tahu muasal nama jalan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu bersemayam di benak saya sejak sebelum menyambangi Indische Buurt.

Beberapa buku sempat membahas kawasan Indische Buurt, misalnya: De Indische Buurt, De geschiedenis van Amsterdam-Oost, karya Ton Heijdra (2013), Wijkopbouworgaan Indische Buurt: De Indische Buurt, van Seeburgh tot Zeeburg (1990) juga karya Heijdra. Juga Zeeburg, de geschiedenis van de Indische Buurt en het Oostelijk Ha-vengebied (2000).

Di sana diterangkan bahwa nama-nama jalan itu diresmikan oleh Dewan Kota Amsterdam sejak tahun 1900 dan awalnya diperuntukan bagi pekerja-pekerja lokal. Di buku itu,  dapat dilihat foto-foto Indische Buurt tempo doeloe.

Belanda tempo dulu//Arman AZ/Etnis

Hal-hal tak terduga bisa terjadi kapan saja. Orang baik dapat ditemui di mana saja, termasuk di negara yang pernah menjajah Indonesia. Warga di sekitar Indische Buurt ramah terhadap turis, terutama dari Indonesia.

Melihat saya sibuk memotret nama jalan dan seolah yakin saya dari Indonesia, seorang ibu uzur menghampiri saya dan dengan sikap ramah memberitahu nama-nama jalan lain yang berkaitan dengan Indonesia.

Di simpang jalan, seorang lelaki muda jangkung berambut ikal menghampiri dan menawarkan bantuan untuk memotret saya dengan latar sebuah nama jalan. Dia tertawa melihat dahi saya berkerut sewkatu ia berbicara dalam bahasa Indonesia meski patah-patah. Dia mengaku pernah berwisata ke beberapa tempat di Indonesia Timur beberapa tahun lalu.

Belanda tempo dulu/Arman AZ/Etnis

Fasih sekali. Disebutnya sejumlah tempat berkesan yang diingatnya. Tanpa saya minta, sama seperti ibu tadi, dia tunjukkan jalan-jalan lain di sekitar tempat itu yang bisa saya datangi. “Saya cinta Indonesia!” katanya seraya mengacungkan jempol saat berpamitan.

Saya tertegun memandangi punggung lelaki itu menjauh dengan kedua tangannya masuk dalam saku jaket tebalnya. Entah apakah kalimat terakhirnya itu serius atau basa-basi. Yang jelas, saya bangga dan haru mendengarnya.

Banyak cara untuk mengingat dan mengabadikan sesuatu. Saya enggan menduga bahwa penamaan jalan itu dapat ditafsirkan bahwa Belanda “gagal move on”. Begitulah cara Amsterdam mengabadikan hubungan antara Indonesia-Belanda di masa silam, masa kini, dan masa depan.

Jalan Nias di Indische Buurt/Arman AZ/Etnis

Dan untuk mengingat, bukan berarti kita harus melupakan. Sejarah, masa kini, dan masa depan adalah satu kesatuan. Berdiri di masa kini, mengetahui dan belajar dari masa lalu, adalah sebentuk upaya kepedulian terhadap masa depan.

Dalam cuaca dingin Amsterdam, puluhan ribu kilometer dari negeri tropis tercinta, saya menekuri Indonesiastraat, menekuri Jalan Indonesia.

Editor: Almaliki