Etnis.id - Mengenal pemimpin Inong Bale dari Aceh yakni Malahayati, adalah sebuah kesyukuran. Sebagai seorang yang lahir di Makassar, saya menghubungkannya dengan Pasukan Bainea yang dipimpin I Fatimah Daeng Takontu.

Pikiran saya jadi terbuka setelah melepaskan diri dari anggapan bahwa perempuan tempatnya cuma di kasur, sumur, serta dapur. Wajah Islam yang dicitrakan sangat patriarki dari dulu, luruh pelan-pelan dari kulitku meski ada sisa-sisa. Saya belumlah menjadi lelaki sempurna dalam memandang perempuan.

Pernah, seseorang teman nyeletuk dengan nada bercanda. "Kenapa di sebuah kampus Muslim di Makassar yang besar, dipimpin oleh rektor perempuan? Memangnya lelaki sudah tidak ada lagi? Pemimpin kan harus lelaki."

Lalu dilanjutnya lagi, "Itu sekarang yang jadi perdebatan di tataran elite Universitas Muslim Indonesia (UMI). Mengapa rektor perempuan yang diangkat?"

Apakah memang terjadi perdebatan sengit di tataran elite kampus itu? Saya tidak ingin banyak omong soal dominasi lelaki yang dielukan kawan saya. Di kepala saya hanyalah kerja dan bermain.

Saya kemudian membaca beberapa literatur yang mengangkat harkat perempuan. Tersebut dua nama yang belakangan saya kagumi, berada di paragraf awal. Sebab mereka, saya menyejajarkan perempuan dengan lelaki dalam porsinya masing-masing dalam situasi dan kondisi. Lelaki bisa lemah dari satu urusan, begitu juga perempuan. Lelaki dan perempuan sebaiknya saling membantu.

Meski corong-corong pesan Islam di Indonesia, pada zaman kiwari tampak garang dengan puan, tapi sejarah tidak bisa bohong. Dalam pembentukan kebudayaan Aceh, sungguhlah lekat dengan Islam. Buya Hamka menuliskan beberapa poin yang meneguhkan, jika kerajaan di Aceh dominan bermahzab Syafi'i.

"Itulah yang ditanam raja-raja Pasai dahulu (Kebudayaan Aceh dalam Sejarah; 37)."

Menurutnya, saat ulama penyebar Islam datang ke Aceh pada abad 7 Masehi, tidak menghilangkan kepribadian Muslim Indonesia. Aceh tetap memiliki kebudayaannya sendiri sekaligus menjadi pribadi yang memegang nilai Islam. Sebab itu, Aceh sekarang dijuluki sebagai Serambi Mekkah (Bustanus Salatin; Syekh Nuruddin Ar Raniry).

Jika dari sini saja sudah bisa disimpulkan kalau semangat Islam mengakar kuat di Aceh, maka mau bicara apalagi orang-orang yang menempatkan perempuan di kelas kedua atas nama Islam yang mereka anut? Mereka ini sebenarnya mau mendominasi memperturutkan egonya sajakah atau membawa pemurnian Islam?

Saya tambahkan lagi soal tiang kebudayaan Islam yang kokoh di Aceh. Lewat buku Malahayati Srikandi dari Aceh, tersebutlah pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) kerajaan Aceh Darussalam berada di puncak kemajuannya.

Tidak saja dalam bidang pengembangan agama Islam, melainkan juga dalam bidang politik, perdagangan dan pendidikan. Sehingga pada masa itu, Aceh Darussalam menjadi salah satu dari Kerajaan Besar Islam di Dunia.

1. Kerajaan Usmaniyah di Istambul (Turki) di Asia Minor; 2. Kerajaan Maroko di Rabat (Afrika Utara); 3. Kerajaan Isfahan di Persia (Timur Tengah); 4. Kerajaan Moghul di Agra (di anak benua India) dan; 5. Kerajaan Aceh Darussalam di Aceh (Asia Tenggara).

Jika memang Islam tak ramah kepada perempuan dan wajib menempatkannya di ruang yang jauh dari ingar-bingar dunia, maka heroisme Malahayati dipastikan tidak akan muncul dalam sejarah. Sejarawan atau budayawan dari Aceh pasti akan menyembunyikan perannya dari teks-teks bahan ajar.

Apakah cuma Malahayati saja yang berperan dalam emansipasi wanita di Aceh dan Indonesia? Tidak. Sekiranya ada empat fakta untuk membantah argumen, bahwa perempuan tidak harus menjadi pemimpin.

Pada abad ke-17 di Aceh, pernah lahir seorang ulama besar ahli fikih dan ahli tasawuf yang beraliran sattariyah serta bermazhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, namanya Syekh Abdurrauf bin Ali al Fansuri al Singkeli atau Singkili yang
kemudian dikenal dengan nama Siyah Kuala (1620-1693).

Dia pernah menjadi kadhi Malikul Adil Mufti Besar kerajaan Aceh pada masa Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675); Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678); dan Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1685).

Semasa hidup, pernah ia berfatwa bahwa wanita boleh menjadi penguasa (Sultanah). Atas keputusannya itu, selama 60 tahun kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh para sultanah bernama:

1. Sultanah Tajul Alam Saffiamddin Syah (1641-1675); 2. Sultanah Nurul Alam Nakiyamddin Syah (1675-1678); 3. Sultanah Inayat ZaHyamddin Syah (1678-1688); 4. Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).

Sebelum Kerajaan Aceh Darussalam, dalam abad ke-14 Masehi, Aceh sudah pernah memiliki Sultanah bernama Puteri Lindung Bulan atau Puteri Sri Kandee Negeri. Putri dari Raja Muda Sedia ini, memerintah Negeri Benua Tamieng (Negara bagian dari Kerajaan Islam Perlak) dalam tahun 1353-1398 M.

Meski tidak memegang jabatan resmi dalam pemerintahan, di belakang layar, Puteri Lindung Bulan banyak membantu ayahnya dalam urusan kerajaan, yang pada
hakekatnya adalah sebagai Perdana Menteri dalam pekerjaannya.

Malahayati

Namanya Keumalahayati, saya membacanya jadi mesem. Bagus sekali. Kelak, jika punya anak perempuan, akan kunamai dia seperti itu. Di sebelah namanya, ada juga identitas Bugis atau Makassarnya barangkali. Semoga. Kemala dalam bahasa Aceh Kemala berarti sebuah batu yang indah dan bercahaya, banyak khasiatnya dan mengandung kesaktian.

Malahayati berdarah biru. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya, dari garis ayahnya, adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putera dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), Pendiri dari Kerajaan Aceh Darussalam.

Dari garis darahnya, Malahayati adalah seorang pelaut ulung yang diperistri oleh seorang pemimpin kapal yang membawa pasukannya memenangi pertempuran melawan Portugis di lautan, meski akhirnya ia gugur dalam duel waktu itu.

Malahayati malah bangga dengan suaminya sekaligus marah kepada penjajah karenanya. Ia mengobarkan heroisme dengan memohon kepada pemimpin angkatan perang untuk membiarkan dirinya menakhodai pasukan Inong Bale atau Armada Wanita Janda.

Sampai di sini saya takjub dengan keberanian Malahayati. Jauh sekali perbandingannya dengan mayoritas kami dalam melihat seorang perempuan tunggal yang dianggap sebagai objek yang cuma butuh dinikahi dan dinafkahi melulu.

Salah? Tidak. Cuma pandangan ini harus diimbangi dengan pikiran bahwa janda bisa berdiri sendiri, jika menikahinya, maka tersusun sebuah keluarga yang saling menguatkan satu sama lain dalam bagian-bagian tertentu. Paradigma ini yang dilupakan kaum kami.

Semakin hari, armada Inong Balee di bawah pimpinan Laksamana Malahayati makin kuat seiring bertambahnya pasukan dari 1000 orang janda muda menjadi 2000 orang. Bertambah pula personel, dari mereka, para gadis-gadis muda pemberani.

Sampai akhirnya tercatatlah sejarah berdarah bahwa Cornelis de Houtman mati ditikam dengan rencong Malahayati karena sikap Cornelis yang keji, manipulator dalam perdagangan dengan Banten saat itu.

Kini, Malahayati menjadi seorang perempuan Islam serta berbudaya, yang ceritanya patut disebarkan di kancah Indonesia sekarang. Intinya, budaya Islam dan emansipasi berjalan seiring. Perempuan Indonesia kini harus dibuka jalannya untuk mendapatkan hak tanpa melewatkan kewajibannya. Begitu juga lelaki.