Etnis.id - Sekolah dasar yang menempa saya selama enam tahun ialah yang gedungnya bekas rumah sakit Belanda. Lokasinya di dalam kompleks Pabrik Gula (PG) Cepiring, Kabupaten Kendal, yang sempat berjaya di zaman kolonial dan berhenti beroperasi di tahun 2015-an.

Bangunannya tetap kokoh kendati telah berumur lebih dari satu abad. Itu jadi salah satu ciri khas sekaligus keunggulan yang bisa dipamerkan dari SD saya. Adapula keuntungan lain yang diperoleh SD saya lantaran menempati areal peninggalan Belanda. Untuk operasional, selain didukung oleh pemerintah, pihak PG masih tetap memberi bantuan.

Aset yang dimiliki pabrik juga bebas dijelajahi para murid. Asalkan tidak menerobos masuk kawasan produksi yang dipenuhi alat-alat berat dan membahayakan bagi anak-anak.

Ini begitu membekas jadi memori indah semasa berseragam putih merah. Salah satu gedung yang paling sering disinggahi bocah-bocah yakni gedung SUS. Letaknya bersebelahan dengan lapangan tenis dan koperasi pegawai. Tempatnya teduh karena dikelilingi pohon asam dan pohon beringin raksasa.

Konon umurnya juga setua pabrik ini. Mengapa anak-anak kerap menyambangi gedung SUS? Sebab di sana tersimpan gamelan yang umurnya ratusan tahun. Tak cuma jadi pajangan, gamelan tersebut sering dimainkan para pegawai pabrik dua kali seminggu, seingat saya.

Waktu latihan gamelan bertepatan dengan murid-murid bubaran sekolah. Jarak sekolah dengan gedung SUS hanya 400 meteran. Sehingga suaranya terkadang sampai ke sekolah. Kalau sudah begitu, saya dan teman-teman langsung bergegas berlari menuju tempat latihan gamelan saat guru memperbolehkan murid-murid pulang.

Para pegawai tidak melarang kami menonton. Kebanyakan murid SD berani menyaksikan latihan gamelan tersebut dari dekat. Sebab, pintu ruangannya tidak ditutup. Sesekali para pemain tersenyum kepada kami sekaligus melambaikan tangan tanda ajakan untuk turut serta.

Sedangkan teman yang lain masih ada yang malu-malu dengan mengintip lewat jendela tinggi khas bangunan Belanda. Jarak antara dasar tanah dengan pijakan jendela, bisa seukuran tinggi anak SD. Sehingga keahlian memanjat pun diperlukan supaya kami bisa mengintip dari jendela krepyak yang terbuka.

Ingatan mencuri pandang ke pertunjukkan gamelan membangkitkan memori saya soal hal lain yang juga berkesan. Kenangan indah semasa duduk di bangku sekolah dasar salah satunya disumbang oleh ekstrakurikuler karawitan.

Seni karawitan menjadi kegiatan tambahan sepulang sekolah yang begitu dibanggakan oleh pihak sekolah. Mengetahui ketertarikan anak-anak dengan gamelan, pihak PG memberi ruang untuk itu. Setiap Sabtu, gedung SUS bisa dipakai mengajarkan anak-anak main gamelan.

Anak-anak dari kelas empat hingga kelas enam banyak yang bergabung. Tiap anak disediakan jatah giliran untuk mengenal masing-masing nama alat musik yang ada di gamelan. Bagi yang bersuara merdu, dipersilakan menjadi gerong--sebutan untuk penyanyi dalam karawitan.

Menurut penuturan guru karawitan saya kala itu, SDN 3 Cepiring patut berbangga lantaran tidak semua sekolah di Kendal memiliki gamelan. Pasalnya, harga gamelan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Dana tersebut tentu lebih baik dialokasikan untuk pembangunan sarana penunjang pendidikan atau pengadaan buku untuk perpustakaan.

Ketika diceritakan begitu, saya yang masih bocah hanya terhenyak sembari menghitung jumlah nol untuk menuliskan ratusan juta rupiah. Bayangan tumpukan uang yang menyesaki ruangan terus terimajinasikan. Sang guru lantas menduga bahwa aset PG berupa besi, baja dan kuningan yang sudah rapuh disulap menjadi seperangkat alat musik gamelan. Sehingga ongkos pembuatan tidak begitu mahal.

Terlecut oleh penjelasan guru tersebut, kami selalu menggebu dalam berlatih gamelan. Apalagi guru itu terbilang tegas. Bagi kami yang lambat menyesuaikan nada, akan langsung diminta berhenti sementara. Lalu posisi kita digantikan teman lain. Sebenarnya ini menjengkelkan. Sebab bisa lancar memainkan gamelan adalah pengalaman berharga yang tak semua orang berkesempatan. Sehingga supaya kami mahir dan tidak kalah dengan kawan lainnya, instruksi sang guru diperhatikan betul.

Ketukan-ketukan dihapal. Teknik memegang alat penabuh tidak sembrono. Keselarasan dengan alat musik lain diresapi dalam hati. Sebab memainkan gamelan merupakan kerja tim. Keselarasan satu sama lain dibutuhkan. Salah sedikit saja akan langsung terdengar.

Beranjak ke sekolah menengah, kegiatan gamelan tersebut tidak saya teruskan. Pasalnya saya lebih memilih menggeluti bidang lain yakni olahraga renang. Namun saya bisa memetik buah dari pelajaran gamelan yang saya tekuni semasa SD.
Gamelan menyisipkan pesan bahwa disiplin adalah kunci meraih kesuksesan.

Para gerong yang duduk anteng nan tegak dengan kaki menyila di belakang adalah gambaran pemusatan konsentrasi. Filosofi yang ingin disebarkan dalam pertunjukan karawitan adalah soal masyarakat jangan bertingkah gegabah dan tetap tenang dalam mengambil keputusan.

Gamelan/ETNIS/Billy Chermutto

Tak Kenal Maka Tak Sayang

Saya tersadar bahwa generasi kiwari mungkin tidak banyak yang mengenal gamelan. Akarnya bermula dari tidak ada pengenalan untuk itu. Pengalaman saya semasa SD itu membuktikan bahwa tak kenal maka tak sayang.

Sedari dini memang anak perlu diperkenalkan dengan budaya Indonesia. Apalagi para orang tua yang terdiri dari bapak dan ibu serta guru masih bisa menyetir kesukaan anak-anak. Anak-anak seusia SD masih perlu diberi pemahaman tentang menentukan bidang mana yang bisa ia tekuni. Sehingga anak bisa dicoba untuk berlatih gamelan.

Dari situ, nalar anak akan terbentuk. Mungkin awalnya anak merasa asing dan belum tertarik, tapi lambat laun kecintaan itu akan tercipta. Kemampuan untuk memahami irama gamelan kian terasah seiring meningkatnya intensitas latihan. Anak pun bisa mereguk manfaat bahwa proses menentukan hasil. Ketekunan bakal mengantar pada kecakapan.

Namun orangtua yang antusias untuk mengenalkan anak dengan gamelan mesti terbentur dengan kendala yang ada. Sebab di Jawa Tengah saja, tidak semua sekolah memiliki gamelan. Bahkan tiap pemerintah pun belum tentu menyediakannya.

Ini jadi tugas berat bagi dinas kebudayaan terkait. Pasalnya untuk melestarikan suatu kebudayaan, memang butuh keberanian untuk menggelentorkan sejumlah dana yang besar. Bagi masyarakat yang berada dekat dengan pusat kebudayaan, mungkin bisa berkorban waktu, usaha dan tenaga. Caranya dengan inisiatif mendatangi balai kebudayaan tersebut, lalu menanyakan adakah jadwal latihan gamelan bagi masyarakat umum.

Percayalah, perjalanan jauh yang ditempuh tidak sia-sia demi sebuah perjuangan untuk melestarikan kekayaan budaya Indonesia. Apalagi, gamelan di Indonesia banyak ragamnya. Gamelan Bali dan Jawa saja sudah berbeda. Dan sebenarnya sangat menarik untuk dipelajari.

Ingat kembali prinsip lama yang menyatakan bahwa “kalau bukan kita, siapa lagi?” Malu rasanya jika kesadaran untuk mencintai dan menjaga budaya baru
digembar-gemborkan ketika ada klaim dari bangsa lain.

Mirisnya lagi, para turis dari Barat atau mahasiswa asing yang tengah pertukaran pelajar di Indonesia, malah yang lebih getol mencari pusat pelatihan gamelan. Mereka begitu terpukau dengan keunikan suara gamelan. Dan pada akhirnya, justru mereka lebih mahir menabuh gamelan.

Ini saya temui di Semarang, tempat saya menimba ilmu di bangku kuliah selama hampir lima tahun. Teknologi juga bisa dikawinkan dengan gamelan. Kata siapa gamelan jalan di tempat? Gamelan juga mengikuti perkembangan supaya tidak tertelan zaman.

Beberapa tahun lalu, para mahasiswa Udinus Semarang menggagas gamelan elektronik. Ketika awal ide tersebut tercetus, semua heboh memberitakan. Namun sayang, semua itu lenyap kabarnya seiring proyek perlombaan berakhir.

Pemerintah semestinya langsung bisa ambil alih ketika ada pihak yang berhasil menemukan metode untuk mengakrabkan gamelan dengan masyarakat modern. Dinas terkait lantas membagikan temuan itu di sosial media dan penyuluhan langsung ke masyarakat. Dengan demikian, gamelan tak tertelan zaman.

Editor: Almaliki