Etnis.id - Di bagian selatan Kota Yogyakarta, di Kabupaten Gunungkidul, ada tradisi dan budaya. Rasulan namanya. Di sana, daerahnya kerap dianggap tempat yang kering, tandus serta kekurangan air. Tetapi tidak soal tradisi dan budayanya.
Sepekan yang lalu, saya datang ke Jetis. Gersang benar. Sepanjang jalan, pohon jati meranggas. Tanahnya tandus. Kurang sedap dipandang atau kurang menjual untuk dipotret dan diabadikan di media sosial. Tapi tak mengapa. Toh, saya datang bukan untuk berswafoto saja.
Saya datang ke Gunungkidul untuk melihat langsung budaya Rasulan. Setelah menyusuri lokasi Desa Jetis, saya berjumpa dengan masyarakat setempat serta menjumpai tokoh adat dan agama. Dari mereka, tulisan ini saya catat pelan-pelan.
“Rasulan” identik dengan “Rasul”. Tak heran jika banyak yang mengira Rasulan ini merupakan sebuah kegiatan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Nyatanya tidak. Rasulan tidak ada kaitannya dengan Maulid Nabi Muhammad ataupun Isra Miraj.
Rasulan merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas semua nikmat yang sudah
diberikan. Syukuran istilah sederhananya.
Hampir semua masyarakat meyakini jika tradisi ini tidak diselenggarakan, maka mereka akan ditimpa hal buruk pada kemudian hari. Di balik keyakinan yang melekat kuat itulah, lahir pertanyaan tentang kapan Rasulan dijalankan. Sayangnya, hanya ada jawaban "sudah lama,” dari beberapa sumber yang saya tanyai. Mereka tidak mengetahui secara pasti.
Mereka ngikut saja. Semua untuk menghormati leluhur. Intinya, belum ada catatan resmi mengenai sejak kapan Rasulan mulai diadakan. Mengenai pelaksanaannya, di Desa Jetis, Rasulan berlangsung dalam beberapa hari yang dimulai dari kirab, kenduren hingga wayang kulit. Kegiatan tersebut erat kaitannya dengan kepercayaan Kejawen yang diyakini oleh sebagian masyarakat.
Masyarakat Jawa percaya, jika di masing-masing dusun, memiliki tempat khusus yang digunakan sebagai tempat bersemayamnya danyang atau mbaureksa. Danyang adalah roh halus tertinggi yang tinggal di pohon, gunung, sumber mata air, desa, mata angin atau bukit.
Di Dusun Dondong, Desa Jetis, konon persemayaman danyang berada di pohon beringin. Untuk itu, perlakukan masyarakat kepada beringin tidak boleh sembarangan. Hal ini dilakukan supaya mbaurekso tidak mengganggu. Sebagai bentuk penghormatan, maka lahirlah ritus-ritus. Rasulan salah satunya.
Di Desa Jetis, Rasulan dilakukan sekali setahun, tepat usai panen. Hal ini berbeda dengan desa lain, yang umumnya bikin bersih desa macam rasulan, setahun dua kali. Tepat saat usai panen dan saat akan menabur benih. Orang di desa lain menyebutnya Labuhan.
Rasulan dilakukan saat masyarakat akan menabur benih. Saat melihat masyarakat melakukannya, saya turut berbahagia. Menyenangkan sekali gerak ritus ini. Para warga turut aktif dalam menyambutnya. Wajah mereka memancarkan suka cita. Mereka saling membantu menyiapkan pelbagai piranti kirab. Mereka rela begadang semalam suntuk untuk menyiapkan gunungan yang digunakan untuk kirab. Seperti yang dikatakan oleh Wagirin, Kepala Dusun Dondong.
Rasulan ini bukan hanya perayaan budaya saja, lebih dari itu, Rasulan merupakan ungkapan syukur seluruh warga masyarakat kepada Tuhan yang Maha Esa.
Terciptanya masyarakat yang kompak, merupakan tanda bahwa solidaritas masyarakat Jetis masih kuat sampai sekarang. Selama saya hadir di sana, kulihat masyarakat dalam jumlah banyak begitu bersemangat. Tercipta konsesus antara anak muda dengan orang tua untuk bekerja sama dalam menyuksesan Rasulan. Mulai dari pengadaan biaya, pembuatan gunungan hingga berbagai piranti lain mereka siapkan bersama-sama.
Semua tersebab saluran informasi yang tak mampat di Jetis. Satu per satu warga mengingatkan perihal kapan Rasulan, apa yang akan disiapkan dan sebagainya, baik kepada masyarakat asli pun kepada pendatang. Hingga akhirnya, Rasulan kini menjadi agenda tahunan di Gunungkidul.
Tepat pada Minggu 13 Oktober 2019, seusai salat Duhur, semua warga Jetis berkumpul di Lapangan Cekel untuk melaksanakan kirab. Prosesi diawali dengan mengambil gunungan dari semua padukuhan. Semua grup kesenian mulai dari jathilan, gejog lesung, reog, berdandan sesuai dengan temanya masing-masing.
Peserta melaksanakan kirab sesuai dengan urutannya. Kirab diawali dengan barisan tiga gadis yang membawa uborampe berisi hasil pertanian. Ada juga yang membawa kwali lengkap dengan ingkung ayam di dalamnya. Mereka diikuti oleh pasukan prajurit keraton yang membawa tombak serta memainkan gamelan. Kemudian diisi dengan barisan yang membawa gunungan dari tiap-tiap padukuhan lengkap dengan reog dan hiburan lainnya.
Sesampainya di lokasi kirab, tepatnya di Lapangan Karang, acara dilanjutkan dengan doa bersama untuk meminta ketentraman serta keselamatan. Usai bagian ini, acara dilanjutkan dengan memperebutkan gunungan yang dibawa oleh tiap-tiap padukuhan. Perebutan gunungan ini menjadi salah rangkaian acara yang dinantikan.
Hampir semua masyarakat berlomba-lomba memperoleh bagian dari gunungan. Sebab tiap-tiap sayuran yang digunakan dalam gunungan, masing-masing memiliki makna simbolik tersendiri.
Seperti kacang panjang. Sayuran ini menyimpan makna bahwa dalam kehidupannya, manusia harus senantiasa berpikir panjang ke depan, serta terus memelihara berpikir positif, sehingga dalam menjalankan kehidupan, bisa menyikapi semua permasalahan dengan kesadaran penuh.
Lalu ada cabai merah. Cabai merah atau yang kerap disebut lombok abang oleh masyarakat Jawa, ternyata merupakan lambang dari munculnya sikap berani serta tekad yang kuat di dalam menegakkan kebenaran Tuhan serta berani dalam menjalankan sifat Tuhan.
Kemudian ada tomat. Masyarakat Gunungkidul memiliki kepercayaan jika buah satu ini merupakan lambang dari kesadaran manusia. Diharapkan, dengan adanya kesadaran tersebut, manusia mampu menghadirkan perilaku yang positif dalam kehidupannya sehari-hari.
Terong ungu juga. Buah ini merupakan lambang dari kehidupan manusia yang selalu diberikan jalan yang terang dari Sang Pencipta. Kemudian kita juga akan menjumpai wortel. Wortel bermakna, jika seseorang harus bersikap tegas serta memiliki pendirian yang kuat, supaya bisa memahami kehidupan.
Selain itu, gunungan juga berisi pelbagai jenis buah seperti jeruk, apel hijau, serta timun. Itu semua merupakan manifestasi dari rasa syukur kepada Tuhan atas semua nikmat yang sudah diberikan.
Ada pula Padi. Ia memiliki makna tersendiri. Padi merupakan tanaman yang mampu memberikan manfaat bagi manusia, sama halnya dengan jagung. Padi serta jagung yang turut andil di dalam gunungan tersebut merupakan simbol dari hasil pertanian warga.
Jika kita lihat lebih dalam lagi mengenai prosesi Rasulan, ritus ini bisa dibilang mampu menjadi pengikat perbedaan yang ada dalam masyarakat. Semua masyarakat dari pelbagai jenis agama, hadir bersama merayakan Rasulan. Dengan demikian, bisa saya katakan bahwa Rasulan merupakaan perayaaan kebudayaan, kebersyukuran dan juga keberagaman.
Editor: Almaliki