Etnis.id - Ada seorang anak yang bersedih karena Ibunya meninggal. Ia pergi ke hutan dan menyandarkan dirinya di sebuah pohon yang kini dikenal dengan pohon aren.

Beberapa saat kemudian, seeokor burung hinggap di pohon dan menjatuhkan bunga dari pohon aren. Sang anak yang sedang bersandar di bawah pohon, melihat bunga itu lalu mengambil dan menggigitnya.

Saat itulah, ia merasakan sari yang sangat manis. Didasari kisah itu, masyarakat Banyuwangi percaya, hal tersebut adalah awal mula modifikasi air nira dari pohon aren menjadi gula aren atau disebut juga dengan gula merah organik.

Ayah Badi, Toha, saat memanjat pohon nira/Etnis/Dumaz Artadi

Badi, salah seorang petani Desa Banjar, Banyuwangi, menceritakan seperti apa produksi gula aren di tempatnya. Badi mengungkapkan, ia bersama beberapa keluarganya dan warga Desa Banjar, telah menekuni profesi sebagai produsen gula aren secara turun-temurun.

Kami memulainya sekitar tahun 80-an," jelas Badi.
Gula aren hasil olahan Toha/Etnis/Dumaz Artadi

Bagi Badi, menjadi petani gula aren adalah pekerjaan yang harus dilakukan dengan penuh ketekunan, kejelian dan kehati-hatian, sebab proses pembuatannya cukup berisiko.

Di Desa Banjar, gula aren cukup banyak tumbuh dibandingkan di desa lainnya. Hal itu membuat warga, selain menjadi petani padi, juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menyadap aren. Bersama Badi, tim Etnis.id diajak ikut menyaksikan seperti apa proses pembuatan gula aren (16/11/2019).

Pagi-pagi sekali, kami dituntun melihat proses penyadapan gula aren. Seorang petani berusia 50-an tahun, memikul dua buah gontang di pundak kiri dan kanannya, berjalan menuju pohon aren. Ia lalu memanjat dan menyadap air aren dari satu batang pohon nira yang diiris tipis. Air itu lalu kemudian dimasukkan dalam tadah (gontang) yang selanjutnya disimpan hingga sore.

Toha saat memasukkan air nira ke dalam gontang/Etnis/Dumaz Artadi

Penyadapan pohon aren sangat dipengaruhi oleh cuaca. Pohon sehat dan cuaca yang bagus (tidak terik), menentukan berapa banyak produksi air dari pohon aren. Dalam 1 x 24 jam, pohon aren bisa menghasilkan sekitar 5 liter air yang rasanya manis.

“Iya cukup banyak, tapi itu disadap berkali-kali. Misalnya, pagi kita sadap lalu disimpan lagi, sore kita sadap lagi. Akan tetapi, proses pencetakannya itu yang jarang. Bisa sampai dua hari sekali atau tiga hari sekali,” ungkap Badi.

Toha saat menuang cairan gula ke mangkok dari bambu/Etnis/Dumaz Artadi

Proses pembuatan gula aren yang cukup lama, menurut Badi, karena air harus dipadatkan. Makanya, proses menuju terciptanya gula aren harus sesuai dengan prosedur. Cairan gula aren harus dimasak dengan api kecil. Pematangannya tidak boleh menggunakan kompor, melainkan dengan kayu bakar.

Para petani biasanya berangkat menyadap cairan aren pada pagi hari, sebelum cuaca terik. Saat itu sangat baik, sebab air nira belum terpapar cahaya matahari, sehingga struktur dan kualitas airnya masih bagus untuk dimatangkan menjadi gula.

Aren cair saat dipanaskan/Etnis/Dumaz Artadi

Penyadapan kedua dilakukan pada sore hari, sekitar pukul empat. Alasannya sama, lepas terik. Setelah disadap, cairan aren kemudian dipanaskan dengan api sampai kental. Setelah benar-benar kental, cairan dituangkan ke mangkok-mangkok yang terbuat dari daun palma dan siap dipasarkan.

Toha saat mengatur wadah aren/Etnis/Dumaz Artadi

Khusus daerah Banyuwangi, tempat untuk mencetak cairan gula aren cukup beragam. Ada dalam bentuk mangkok, balok atau dalam bentuk gelas yang terbuat dari bambu. Selain itu, ada yang namanya getuk, yakni cetakan cairan gula aren yang dibuat seperti bundaran kecil di atas pisang. Getuk biasanya dinikmati oleh masyarakat Banyuwangi dengan kopi.

Jadi sebelum mereka seruput kopinya, mereka gigit getuk itu untuk menetralisir rasa pahit dari kopi. Jadi seperti biskuit.
Gula aren untuk teman ngopi/Etnis/Dumaz Artadi

Menurut Badi, pohon aren harus diambil airnnya setiap hari. Jika tidak, maka air yang awalnya manis, bisa menjadi asam dan hanya bisa diproduksi sebagai tuak. Dengan kata lain, tidak bisa dijadikan gula aren. “Meskipun hujan deras, tetap harus manjat, tidak  boleh ditunda.”

Gula aren dengan kualitas baik, dapat diukur dengan tiga hal. Pertama, aromanya yang khas. Kedua, tingkat ketahanannya. “Gula aren kami bisa tahan 3-4 bulan, tidak meleleh di dalam daun pisang kering.”

Toha sewaktu menumpahkan sedikit gula di atas daun pisang/Etnis/Dumaz Artadi

Ketiga, gula aren yang bagus tentu dilihat dari rasanya. Untuk mendapatkan gula aren dengan kualitas baik itu, Badi menjelaskan bahwa pohon arennya harus tua, yakni di atas 40 tahun. Semakin tua, semakin matang bunganya.

“Kalau pohon aren sudah tua itu juga memudahkan kami dalam memanjat, karena bunganya semakin ke bawah.”

Gula aren yang sudah dipadatkan/Etnis/Dumaz Artadi

Selain kualitas pohon, gula aren yang bagus juga dihasilkan melalui proses pematangan yang baik. Dari proses pengelolahan gula aren yang terbilang rumit dan membutuhkan dedikasi yang besar ini, terkadang membuat banyak warga khususnya pemuda Kampong Banjar, ogah menjadi petani aren. Mereka yang notabene kerja di kota, tidak memiliki waktu untuk memproduksi gula aren.

Akhirnya, yang tersisa hari ini adalah pemanjat pohon dan penyadap aren yang berusia 50 tahun ke atas. Hal itu sekaligus menjadi ancaman baru akan punahnya produksi gula aren. Selain itu, harga yang rendah dengan beban kerja yang besar juga menjadi pemicu enggannya masyarakat membudidayakan pohon aren.

Gula aren cair dalam wadah bambu/Etnis/Dumaz Artadi

Dalam dua sampai tiga hari, para petani hanya bisa menghasilkan 25 biji gula aren yang dicetak dalam bentuk gelas menyerupai tabung. Satu tabung diberi harga Rp10 ribu. Para pedagang yang membeli dari produsen, biasanya menjual Rp15 ribu. “Kan kasihan kalau harganya tinggi, para pedagang juga mendistribusikannya ke tempat lain kan,” ungkap Badi.

Gula aren ini biasanya dijual untuk memenuhi kebutuhan restoran dan sebagai bahan baku kue-kue tradisional, yang harus menggunakan gula aren asli. Lantas, jika para pemuda tidak lagi peduli dengan budaya ini, lalu akan diserahkan pada siapa pembuatan gula aren? Apakah budayanya dibiarkan hilang?

Editor: Almaliki