Salah satu ikon budaya Batak Toba yang khas dan fenomenal adalah patung Sigale- Gale. Sigale-Gale adalah nama sebuah boneka atau patung yang terbuat dari kayu, sering diperlihatkan pada perhelatan adat di tanah Batak. Boneka ini bisa menarikan tor-tor, tarian khas Batak yang tersohor itu.

Bagi anak-anak, Sigale-Gale sepertinya cukup menakutkan. Pasalnya, boneka kayu ini memiliki wajah yang seram meskipun bisa menari, tangannya tampak bisa bergerak-gerak sendiri mengikuti alunan musik adat Batak. Sigale-Gale yang masyhur itu berasal dari kawasan Toba dan hanya bisa dijumpai di Samosir (Tomok-Simanindo), Danau Toba, Sumatera Utara.

Sigale-Gale adalah boneka atau patung kayu yang dibuat sedemikian rupa menyerupai manusia, dilengkapi dengan pakaian adat khas Batak. Patung ini dapat bergerak lantaran ada yang menggerakkannya dari arah belakang. Ada pula tali yang menghubungkan bagian kepala dan lengannya, sehingga Sigale-Gale dapat bergerak.

Sigale-Gale tengah menampilkan tari Tor-tor/ Christian Heru Cahyo Saputro

Konon, dahulu kala, jumlah tali yang menggerakkan Sigale-Gale sama dengan jumlah urat yang ada pada tangan manusia. Pemain Sigale-Gale seringkali menggerakkan tubuh boneka agar turut menari (manortor) selama ritual penguburan atau pemakaman. Sigale-Gale secara etimologis berarti “yang lemah gemulai”.

Menurut sejarahnya, dahulu kala, patung yang didandani layaknya lelaki Batak Toba ini dapat digerakkan dengan kekuatan mistis, bukan mekanis seperti yang kita lihat saat ini.

Filosofi Sigale-Gale

Sigale-Gale sudah dikenal sejak 400 tahun lalu. Ada beberapa versi mengenai asal-usul Sigale-Gale. Versi pertama, zaman dahulu kala, ada seorang raja yang kaya dan berkuasa bernama Raja Rahat. Sang raja memiliki seorang putra yang sangat disayangi yang bernama Manggale. Suatu ketika pecahlah perang, Raja mengirimkan anak yang disayanginya ke medan perang. Tetapi naas sang putra mahkota gugur di medan perang. Raja pun berduka.

Akibat memendam kerinduan, ia jatuh sakit. Seluruh tabib negeri dikumpulkan untuk menyembuhkan sang Raja. Seorang tabib mengatakan bahwa sang Raja sakit lantaran memendam rindu.

Maka sang tabib meminta penasehat kerajaan untuk memahat patung yang menyerupai Manggale. Namun, Raja berpesan agar patung tersebut ditempatkan agak jauh dari rumah, yaitu di Sopo Balian (rumah-rumahan) yang berada di areal persawahan.

Begitu tiba saat upacara kematian, patung tersebut dijemput untuk menari di samping jenazah Manggale. Pada saat upacara kematian Manggale berlangsung, sang tabib mengundang roh Manggale untuk masuk ke media patung. Maka, patung dari pohon nangka yang wajahnya dipahat seperti Manggale manortor atau menari selama tujuh hari tujuh malam dengan iringan musik sordam dan gondang sabangunan.

Patung ini memiliki rona muka yang menarik. Alis mata dibuat dari tanduk kerbau dengan daun telinga yang dipercantik dengan ornamen berbahan kuningan atau yang dikenal dengan nama sitepal.

Versi kedua, konon hiduplah seorang dukun bernama Datu Partaoar yang ingin sekali mempunyai anak laki-laki atau perempuan. Suatu ketika ia menemukan sebuah patung cantik di tengah hutan, persis seperti seorang gadis yang tubuhnya terlilit kain dan mengenakan anting-anting. Sang dukun kemudian membawa gadis itu, setelah mengubahnya dari patung menjadi manusia. Istrinya yang juga berharap memiliki keturunan, memberi nama gadis itu dengan nama Nai Manggale.

Dia menjadi gadis yang disenangi penduduk karena kelembutannya. Suatu ketika Nai Manggale mendapatkan pendamping hidup. Namun seperti ibunya, ia tidak dapat melahirkan keturunan biologis. Dia pun berkata kepada suaminya yang bernama Datuk Partiktik agar memesan pematung untuk membuatkan sebuah patung yang bisa menari di samping jenazahnya kelak.

Patung itu diberi nama Sigale-Gale. Berdasarkan versi itulah kiranya tarian Sigale-Gale mewakili dua jenis kelamin pada manusia. Patung laki-laki bernama Si Manggale dan perempuan bernama Nai Manggale.

Boneka ini ditampilkan pada prosesi pemakanan yang diberi nama Tor-tor Sigale-Gale. Tujuannya, untuk menghilangkan karma buruk karena kecewanya alrmahum yang meninggal, tanpa sempa memiliki keturunan (berdasarkan asal-usul versi yang kedua).

Orang Batak mempunyai kepercayaan, apabila seseorang meninggal tanpa anak, terutama anak laki-laki, maka akan membawa petaka karena jiwanya mengembara tanpa ada keluarga yang berdoa untuknya. Sesuai dengan kepercayaan setempat, setelah upacara pemakaman, boneka atau patung Sigale-Gale harus dihancurkan.

Menari Bersama Sigale-Gale

Biasanya, Sigale-Gale dipadukan dengan manortor atau menari. Manortor bersama Sigale-Gale dipentaskan dengan cara membayarnya. Di Tomok, Samosir, beban biaya pertunjukan dikenakan pada rombongan wisatawan. Biasanya, sekali pentas ditarik bayaran sekitar 80 ribu rupiah.

Manortor bersama Sigale-Gale/ Christian Heru Cahyo Saputro

Pemandu wisata yang sekaligus pemimpin pertunjukan, menceritakan kisah Sigale-Gale. Kemudian, ia membagikan kain Ulos dan mengajak seluruh peserta untuk manortor bersama, mengikuti gerakan yang  dicontohkannya.

Gerakannya sederhana, melebarkan telapak tangan di samping tubuh atau di depan dada sambil menari mengikuti irama. Tetapi, biasanya musiknya sudah diganti dengan musik rekaman. Padahal, lebih khidmat lagi jika musik gondang sabangunan dibawakan secara langsung.

Para turis pun manortor, Sigale-Gale bergerak secara ganjil dan membuat suasana menjadi magis. Patung Sigale-Gale mengkerut, bergetar, tangannya memelintir. Kemudian, sambil manortor, telapak tangan di arahkan ke depan. Indah dan sekaligus mistis ketika Sigale-Gale manortor sambil mengikuti irama musik Batak.

Di ujung pertunjukan, semua peserta dipersilahkan untuk menyawer Sigale-Gale. Menarik sekali melihat tangan Sigale-Gale yang tadinya menari, kini dipenuhi dengan lembaran uang. Terlepas dari unsur mistisnya, Sigale-gale sudah termasuk kesenian yang ditujukan untuk hiburan (entertainment).

Sigale-Gale dan Pariwisata

Pertunjukan Sigale-Gale di Samosir kini sudah menjadi bagian dari pariwisata. Sigale-gale dijadikan atraksi yang ditampilkan kepada para pelancong. Ada banyak tempat di sekitaran Danau Toba untuk menyaksikan pertunjukan Sigale-Gale, salah satunya, persis di sebelah makam Raja Sidabutar.

Di Samosir, banyak ditemukan patung Sigale-Gale. Patung berperawakan khas lelaki Batak ini dapat ditemukan di Desa Simanindo, Desa Pagarbatu (Balige) pada sebuah toko suvenir di Tuk-Tuk Siadong. Sedangkan pertunjukannya, Sigale-Gale dipentaskan di Bagus Bay Tuk-Tuk Siadong.

Di Tomok, terdapat dua buah patung Sigale-Gale yang berada lebih dekat ke jalan raya, bukan berada di area inti pertunjukan Sigale-Gale. Patung Sigale-gale tidak ada yang berwajah sama. Bahkan, patung Sigale-Gale di Simanindo, terdiri dari dua patung dalam satu keranda peti mati. Uniknya, Sigale-Gale kedua berukuran lebih kecil dan merupakan representasi dari seorang wanita (terlihat dari ikat kepala yang dikenakannya).

Berbagai karakter wajah Sigale-Gale/ Christian Heru Cahyo Saputro

Konon, patung-patung ini adalah cara masyarakat Batak Toba mengenang orang yang telah tiada. Maka dari itu, wajah Sigale-Gale dibuat menyerupai orang yang ingin kita kenang tersebut. Lebih dari itu, ada sebuah keyakinan di masyarakat, bahwa orang yang siap memahat Sigale-Gale, maka ia harus siap menyerahkan nyawanya, agar tarian Sigale-Gale nampak lebih hidup dan nyata. Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa pemahat patung Sigale-Gale akan segera meninggal. Sebab itulah patung Sigale-Gale tidak pernah dibuat dalam jumlah banyak.

Berangkat dari kejadian-kejadian itu, proses pembuatan Sigale-Gale tidak pernah dikerjakan oleh satu orang, termasuk untuk peti mati yang penuh ukiran dan tali-tali mekanik untuk menarik gerakan Sigale-Gale.

Penyunting: Nadya Gadzali