Hadirnya wabah menyebabkan bergesernya seluruh tatanan serta sistem kehidupan normal manusia. Di tengah fatalitas penularannya, wabah juga mampu membuat peradaban manusia mengalami stagnasi.

Menengok ke masa silam, sejarah siklus pandemi yang pernah terjadi di muka bumi–di antaranya yang pernah terjadi pada rentang tahun 1918-1920–yakni pandemi flu Spanyol yang dimulai di Amerika Serikat dengan angka kematian mencapai 50 juta manusia.

Situasi pandemi (COVID-19) yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, membuat sebagian masyarakat Indonesia, khususnya filolog dan peminat naskah kuno di sejumlah daerah, tergerak untuk melacak arsip dan dokumentasi yang memuat informasi tentang wabah yang pernah terjadi di Indonesia, sekaligus mencari pola yang digunakan oleh para leluhur untuk memungkasi wabah tersebut melalui pengobatan berbasis kearifan lokal.

Ketika teknologi belum maju–ilmu kedokteran dan pengobatan modern belum dikenal di Nusantara–fasilitas dan tenaga kesehatan belum memadai, sesungguhnya nenek moyang kita sudah memiliki pengetahuan untuk mengobati beragam penyakit, yakni pengobatan yang bahan-bahannya berasal dari tanaman atau tumbuhan yang diperoleh dari alam sekitar.

Meskipun demikin, tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan zaman, membuat manusia modern cenderung memilih yang serba praktis, termasuk mengobati penyakit. Hal-hal yang bersifat konvensional atau dianggap kuno, perlahan-lahan ditinggalkan.

Wabah dalam Manuskrip Kuno Nusantara

Dalam sejumlah naskah Jawa Kuno dan Bali, ditemukan narasi tentang pandemi– lengkap dengan cara pengobatannya. Tradisi Jawa mengenal dan menandai periode ini dengan istilah pagebluk, atau yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia–berasal dari bahasa Jawa–yang artinya wabah (penyakit) atau epidemi.

Di antara naskah kuno Jawa yang memuat kisah pagebluk, Calon Arang dan Sudramala adalah naskah-naskah yang terbilang cukup masyhur. Dalam teks-teks itu disebutkan tentang jenis penyakit seperti TBC, flu dan gudik (penyakit kulit). Kita juga kerap mendengar informasi tentang penyakit disentri, kolera, demam berdarah dan lepra yang pernah terjadi di zaman Hindia Belanda.

Wabah dan penanganannya, menjadi hal yang menarik untuk ditelisik. Utamanya, bagi peminat naskah-naskah kuno Nusantara. Saya tertarik untuk menggali naskah-naskah kuno untuk mengenali wabah yang pernah menjangkiti Lampung, sekaligus tata cara pengobatannya.

Sebagai ilustrasi, letusan gunung Krakatau tahun 1883 atau gempa Suoh (Lampung Barat) yang terjadi pada tahun 1933, ditengarai telah memberikan dampak bagi kesehatan penduduk di sekitarnya. Seperti penyakit infeksi saluran pernapasan yang dialami oleh korban bencana akibat merebaknya abu vulkanik.

Sumber primer tentang wabah dan pengobatan di Lampung, terbilang cukup langka. Hal ini membuat naskah-naskah kuno sebagaimana yang kerap terdengar dari para peneliti lapangan, sulit untuk diakses.

Sebagaimana telah diketahui, naskah-naskah kuno di Indonesia umumnya ditulis di atas media kulit kayu, bambu, rotan, atau kertas Eropa. Orang-orang di masa lampau, meyakini bahwa aneka kemalangan dapat dihindari dengan meletakkan naskah pagebluk di bagian atas pintu masuk rumah. Sementara saat ini, benda-benda itu justru disimpan di dalam lemari dan menunggu untuk dijadikan bahan pustaka.

Pengetahuan Tentang Wabah dalam Naskah Kulit Kayu

Museum Lampung mengoleksi sekitar 44 naskah kuno dalam bentuk kulit kayu atau bilah bambu. Dari segelintir yang telah dikaji (dialih aksara dan dialihbahasakan), terdapat satu naskah yang berkaitan dengan wabah, yaitu Kulit Kayu No. 689.

Dalam buku Transkripsi dan Transliterasi Buku Kulit Kayu No. 689, diterangkan isi naskah ini terdiri dari 2 bagian. Khajar Haban Bakhak atau rajah untuk menjaga keselamatan agar terhindar dari penyakit, serta Memang atau mantera-mantera untuk pengobatan, tolak bala, atau pengasihan. Dari dua bagian naskah itu, masyarakat Lampung lebih familiar dengan istilah memang.

Naskah No. 689 telah dialih aksara dan dialihbahasakan, sehingga dapat diketahui bahwa sejumlah informasi menarik di dalamnya, tercantum jenis penyakit yang dimaksud, yakni penyakit kukha-kukha atau malaria serta anjuran dalam bentuk mantra untuk mengusir penyakit tersebut.

Terdapat sejumlah istilah arkaik yang barangkali, hanya penulisnya saja yang memahami maknanya. Selain itu, penyebutan nama nabi (Adam dan Muhammad) serta idiom-idiom Islam (Allah, Rasulullah, Kun Fayakun) yang menunjukkan bahwa pada periode masuknya ajaran Islam ke Lampung, terjadi proses sinkretisme dengan sistem kepercayaan animisme-dinamisme.

Nampaknya, isi naskah tak hanya memuat tentang satu jenis penyakit (malaria) saja, melainkan pengobatan berbagai jenis penyakit. Hal ini dibuktikan lewat frasa “diteteskan di mata anak” dan “untuk mengurus (calon) anak, bisikkan di perempuan hamil”.

Kendati masih harus dilakukan kajian yang lebih mendalam, namun artinya, naskah ini juga memuat konsep tentang pengobatan bagi jenis penyakit lain.

Pemanfaatan Tanaman Endemik untuk Pengobatan

Buku “Pengobatan Tradisional pada Masyarakat Pedesaan Daerah Lampung” terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1990 (sekarang Kemendikbud), tidak spesifik memuat informasi mengenai wabah di Lampung. Buku ini mendokumentasikan penyakit luar dan penyakit dalam, serta jenis-jenis tanaman obat untuk setiap penyakit, hingga proses pembuatan penawarnya.

Jenis penyakit yang dimuat dalam buku ini adalah penyakit umum yang dapat terjadi di berbagai daerah, bukan penyakit yang termasuk ke dalam wabah massal atau pandemi. Bahan baku obat yang dimuat dalam buku ini, sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia, seperti kecubung, daun jarak, kunyit, ketepeng, kemiling, jambu batu, selasih, gambir, jahe, cengkeh, kelor, jeruk nipis, tapak dara, brotowali, dan mengkudu.

Ada pula tumbuhan khas lokal Lampung seperti: khapak, tuba bakak, hanau, khakhuku, lagun, wait labayan, kemediang, sepehakhui, cambai, kakula, dan dadukhuk. Sumber lain saya peroleh dari buku “Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983). Meskipun buku ini tak spesifik menjelaskan tentang wabah, namun Bab III sub Bab I.C memuat tentang gerhana bulan/matahari, lindu/linui (gempa bumi), Tulak Bala, Bulan Bakha, Nyarang, Muhun (Upacara adat yang Berhubungan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan).

Dari sumber-sumber tersebut, dapat diketahui bahwa konsep pengobatan tradisional Lampung memuat tentang cara pencegahan dan penanganan, atau yang disebut juga dengan pra-wabah atau pasca-wabah, yaitu Tulak Bala (Tolak Bala) dan Muhun (memohon).

Pengetahuan yang tercantum di dalam naskah-naskah kuno menunjukkan bahwa leluhur kita, menyelaraskan hubungan antara manusia, alam dan Sang Pencipta dengan menerapkan metode berbasis kearifan lokal tertentu. Seperti memanfaatkan tanaman endemik untuk pengobatan.

Menurut hemat saya, buku-buku semacam ini idealnya diterbitkan ulang dan disosialisasikan, agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Lampung. Bukankah pada beberapa dekade lampau, kita cukup dekat dengan istilah “apotek hidup” beserta tata cara pengolahannya?.

Akulturasi, Sinkretisme dan Pengobatan dalam Naskah "Memang"

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peminat dan pemerhati naskah kuno Lampung lebih mengenal istilah memang yang diyakini semacam jimat untuk keperluan khusus. Selain aksara Lampung kuno yang sebagian hurufnya sudah rusak dan tak dapat terbaca, ada pula ilustrasi atau gambar yang unik berbentuk manusia, hewan, dan lingkaran (diduga semacam kompas atau penunjuk arah mata angin) yang serupa dengan ilmu falak atau astronomi.

Petunjuk Arah Mata Angin dalam Naskah "Memang"/ Etnis/ Arman A.Z

O.L Helfrich sempat mengumpulkan sastra-sastra klasik di Lampung dan mendokumentasikan naskah memang. Berdasarkan hasil temuannya, naskah ini tak spesifik memuat tentang tata cara pengobatan wabah, melainkan adab bersosialisasi di masyarakat, contohnya, tata cara berkunjung ke rumah orang, serta anjuran untuk tetap bermawas diri. Sedangkan jenis tanaman yang disebutkan di dalamnya adalah tanaman sirih.

Naskah "Memang" (Dok: O.L. Helfrich)/ Etnis/ Arman A.Z

Akulturasi dan sinkretisme juga ditemukan dalam naskah ini. Substansinya terdiri dari perpaduan antara unsur Islam, Hindu, dan kepercayaan animisme-dinamisme. Petunjuk itu tersirat di dalam salam pembuka (Assalamuallaikum), kata Laillahaillalah, Rabbi, dan Muhammad. Sedangkan di bagian lain, disebutkan pula nama dewa (Hong) dan tokoh mitologi Si Pahit Lidah yang sangat melegenda di Sumatra bagian Selatan.

"Memang" dalam Les Manuscrits Lampongs (Van der Tuuk, 1868)/ Etnis/ Arman A.Z

Dalam Les Manuscrits Lampongs (Van der Tuuk, 1868), setiap tanggal ditandai dengan satu jenis binatang. Perlu pendekatan semiotika dan pendekatan ilmu lainnya, untuk menilai motif serta alasan leluhur Lampung mengaitkan masing-masing tanggal dengan jenis binatang. Selain itu, dari sekian banyak naskah yang tercatat dalam Les Manuscrits Lampong­s, dapat diketahui bahwa belum pernah ada yang menelisik keberadaan informasi mengenai wabah.

Penjelasan di atas membuktikan bahwa wabah beserta ritual pengobatan tradisional dalam naskah kuno, bukan hanya terdapat di Jawa dan Bali. Sebab, Lampung juga memiliki naskah serupa. Namun, minimnya sosialisasi telah membuat informasi mengenai wabah dan ritual pengobatan tradisional tak diketahui oleh khalayak, bahkan oleh masyarakat Lampung sendiri.

Sebab lainnya, naskah kuno Lampung tentang wabah memang tak selengkap naskah serupa yang berasal dari daerah lain. Naskah lontar Bali misalnya, memuat protokol lengkap, mulai dari larangan, isolasi, terapi hingga tolak bala.

Pengobatan tersebut diklasifikasikan sebagai penyakit perorangan atau wabah menular. Sedangkan naskah Lampung, belum dapat dikatakan lengkap lantaran hanya menyajikan informasi tentang penyakit yang umumnya diderita oleh perorangan.

Penyunting: Nadya Gadzali