Berbeda dengan kebanyakan museum-museum keris lain yang hanya difungsikan sebagai tempat penyimpanan keris dari berbagai zaman, museum dan padepokan keris Brojobuwono yang terletak di Wonosari, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah menjadi tempat pembuatan keris atau yang di kalangan masyarakat Jawa disebut dengan besalen.

Berbeda dengan besalen-besalen pada umumnya, pembuatan keris di museum dan padepokan keris Brojobuwono menerapkan teknik tradisional dengan lelaku dan ritual tertentu yang ditunjang oleh teknologi modern. Cara demikian dilakukan lantaran para empu di sini ingin menghasilkan sebuah keris yang memenuhi kriteria tosan aji dan bukan sekedar keris aksesori.

Basuki Teguh Yuwono, selaku empu muda sekaligus pendiri museum dan padepokan Brojobuwono mengatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara keris yang dikategorikan sebagai tosan aji dengan keris aksesori. Menurutnya, keris yang masuk ke dalam kategori tosan aji adalah keris yang pembuatannya diiringi doa dan tirakat tertentu.

Semua itu dilakukan agar keris yang dibuat dapat sesuai dengan kepribadian pemiliknya, sehingga dapat menjadi sarana pembawa kebaikan bagi pemiliknya. Sementara keris aksesori adalah keris yang hanya berfungsi sebagai hiasan saja.

Biasanya, keris yang masuk ke dalam kategori tosan aji akan mendapat perlakuan khusus karena dianggap sebagai benda pusaka yang keberadaannya harus dijaga. Sedangkan hal ini, tidak terjadi pada keris-keris aksesori.

Kendati keris tosan aji diperlakukan sedemikian rupa, namun tidak berarti keris itu ‘disembah’. Perlakuan ini dilakukan agar nilai-nilai yang terkandung dalam keris pusaka terus dijaga.

“Selama ini, banyak orang yang menganggap keris sebagai senjata dan pelengkap busana adat saja. Padahal, makna keris lebih dari itu. Sebenarnya, keris adalah simbol identitas dari pemiliknya. Baik dari strata sosial, anatomi tubuh pemilik, jenis kelamin pemilik, sampai dengan kondisi psikologis pemiliknya. Makanya, bagi mereka yang sudah lama mendalami ilmu mengenai dunia perkerisan. Mereka akan dapat mengetahui dari mana asal seseorang, bagaimana karakternya hanya dari melihat keris yang dimilikinya,” ujar empu Basuki.

Lantaran menggunakan sederet lelaku dan ritual seperti yang dilakukan oleh para empu pembuat keris di masa lalu, maka tak heran jika para empu di museum dan padepokan Brojobuwono membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merampungkan sebilah keris yang termasuk ke dalam kategori tosan aji.

Para empu di museum dan padepokan Brojobuwono membutuhkan waktu antara enam hingga dua tahun untuk merampungkan sebilah keris. Kendati waktu penyelesaiannya terbilang cukup lama, namun hal ini tidak berpengaruh terhadap minat pecinta keris yang ingin memiliki keris buatan para empu dari museum dan padepokan keris Brojobuwono.

Mereka yang ingin dibuatkan keris, berasal dari seluruh penjuru Nusantara. Bahkan, tak sedikit tokoh-tokoh pemimpin dari mancanegara yang ingin memiliki keris buatan empu dari museum dan padepokan keris Brojobuwono.

Pembuatan yang memakan waktu lama ini ini dikarenakan keris buatan empu dari museum dan padepokan keris Brojobuwono melalui proses yang cukup panjang. Pertama, proses penghitungan hari lahir si pemesan. Penghitungan ini dilakukan guna mengetahui unsur logam dan jenis besi apa yang cocok dengan kepribadian di pemesan. Sebab, masing-masing orang memiliki kecocokan dengan unsur logam yang berbeda-beda, sesuai dengan hari lahirnya.

Adanya penghitungan semacam ini bukan masalah klenik, melainkan karena museum dan padepokan keris Brojobuwono ingin mengembalikan pakem pembuatan keris sebagaimana yang dilakukan oleh orang zaman dulu.

Setelah dilakukan penghitungan logam sesuai dengan calon pemiliknya, dimulailah upacara wiwit dan dipilih hari baik untuk menempa keris. Proses penempaan ialah proses terpanjang dalam pembuatan keris. Dalam proses ini, besi akan ditekuk, dilipat, dan ditempa sedemikian rupa, sehingga besi yang semula memiliki ketebalan lebih dari 20 cm akan menyusut menjadi kurang dari 5 cm. Selama proses penempaan ini pulalah proses pembuatan pamor dilakukan.

Seorang Empu sedang Menajamkan Sebilah Keris/ Zuly Kristanto

Proses pembuatan pamor dilakukan dengan memasukkan unsur logam lain ke dalam besi yang sedang ditempa. Di masa lalu, bahan pembuat pamor adalah batu meteor. Tetapi, karena keberadaannya yang semakin langka dan harga di pasaran yang sangat mahal, para empu di zaman sekarang lebih banyak menggunakan nikel sebagai bahan pembuat pamor.

Ada yang unik saat proses penempaan yang oleh para empu di museum dan padepokan keris Brojobuwono. Seluruh empu yang terlibat dalam pembuatan keris, mengenakan pakaian serba putih tanpa jahitan layaknya pakaian para empu di masa lalu.

Seorang Empu sedang Menempa Sebilah Keris/ Zuly Kristanto

Pakaian yang serba putih ini rupanya memiliki makna tersendiri. “Para empu di sini memakai pakaian serba putih bukan sekedar mencontoh pakaian para empu di masa lalu. Pemakaian pakaian serba putih ini diharapkan dapat sebagai pengingat setiap empu agar mampu menjaga gejolak dan menjaga hatinya agar tetap bersih selama proses menempa keris,” ujar empu Basuki.

Empu Basuki menambahkan, bahwa suasana hati yang bersih akan membawa pengaruh besar terhadap keris yang akan dihasilkan. Menurutnya, suasana hati yang tenang dari empu, pembuat keris akan menularkan energi positif pada keris yang sedang dikerjakaannya.

Sehingga nantinya, keris dapat memberikan ketenangan bagi pemiliknya. Sebaliknya, apabila sebilah keris ditempa dengan kondisi hati yang sedang dikuasai amarah, maka keris tersebut nantinya akan membuat pemiliknya mudah dikuasai amarah.

Keris yang dibuat oleh para empu di museum dan padepokan keris Brojobuwono ada dua macam, yakni keris lurus dan keris yang memiliki luk. Jumlah keris yang berluk kebanyakan berjumlah ganjil karena pemiliknyalah yang akan menjadi penggenapnya.

Setelah rampung, sebelum diserahkan kepada pemiliknya, keris terlebih dahulu dirapal dengan doa-doa dan dikirabkan. Tujuannya, agar keris benar-benar memberi manfaat kepada pemiliknya.

Prosesi Kirab Keris di Museum dan Padepokan Keris Brojobuwono/ Zuly Kristanto

Usai dikirab, barulah keris diserahkan pada pemiliknya. Saat penyerahan inilah pemilik akan diberitahu apa makna dari keris yang dimilikinya dan diminta agar menjaga keris miliknya dengan sebaik mungkin.

“Keris bagi orang Jawa sering dianggap sebagai wujud gambaran atas permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena sifatnya yang demikian inilah orang Jawa meletakkan kerisnya dibagian belakang tubuhnya. Maksudnya, hubungan manusia dengan Tuhannya adalah urusan pribadi. Sehingga menurut orang Jawa hal semacam ini tidak baik apabila dipertontonkan,” tambah empu Basuki.

Menyimpan Keris dari Berbagai Zaman

Selain membuat keris selayaknya para empu-empu zaman dahulu, di museum dan padepokan keris Brojobuwono juga tersimpan ratusan keris dari berbagai zaman. Mulai dari zaman Mataram Kuno, zaman Majapahit, hingga keris yang dibuat pasca kemerdekaan. Uniknya, setiap keris yang disimpan di museum ini dilengkapi dengan sertifikat khusus.

Empu Basuki Teguh Yuwono sedang (Baju Putih) sedang Mendampingi Tamu dari Jepang Melihat Koleksi Keris di Museum Brojobuwono/ Zuly Kristanto

Isi dari sertifikat ini menerangkan usia keris, jenis, bahan, hingga hiasan apa saja yang terdapat pada keris yang dipamerkan. Jika kebanyakan metode untuk menentukan usia keris dilakukan dengan cara manual, sehingga usia pasti dari keris kurang bisa dipastikan, maka penentuan usia keris yang disimpan di museum dan padepokan keris Brojobuwono dilakukan dengan alat pendeteksi logam. Dengan demikian, usia keris dapat diketahui secara pasti.

Salah Satu Koleksi Keris di Museum Brojobuwono/ Zuly Kristanto

Tak hanya membuat dan menyimpan keris beserta berbagai senjata tradisional dari seluruh penjuru nusantara lainnya, museum dan padepokan keris Brojobuwono juga terbuka bagi siapa saja yang ingin melihat dan mempelajari keris secara mendalam dari sisi keilmuan.

“Selama ini, orang banyak yang menghubungkan keris dengan hal-hal klenik dan menganggap kalau keris tercipta karena bantuan makhluk gaib. Padahal kenyataannya tidak demikian. Sebab, sebuah keris tercipta berkat perpaduan banyak ilmu. Mulai dari ilmu kriya, ilmu tempa, sampai dengan ilmu metalurgi. Penyatuan ilmu dari berbagai disiplin ilmu inilah bukti jika pengetahuan leluhur kita tidak kalah leluhur bangsa-bangsa lain, dan sudah sepantasnya sebagai generasi muda kita wajib melanjutkan dan melestarikannya,” pungkas mpu Basuki yang juga merupakan seorang akademisi di ISI Surakarta.

Penyunting: Nadya Gadzali