Jika masyarakat Jawa mengenal tradisi nyadran yang diperuntukkan untuk menghormati serta mendoakan mereka yang telah meninggal dunia, maka di kalangan masyarakat Tionghoa, tradisi serupa yang dinamakan tradisi Ching Bing. Secara fungsi, kedua tradisi ini hampir sama. Hanya saja tetap ada hal yang membedakan kedua tradisi ini.
Selain bentuk sesaji yang digunakan, waktu pelaksanaan kedua tradisi ini juga berbeda. Tradisi sadranan milik orang Jawa biasanya dilaksanakan menjelang bulan puasa atau dalam sistem penanggalan Jawa jatuh pada bulan Ruwah, sementara tradisi Ching Bing di awal bulan April.
Pelaksanaan tradisi ini berselang sekitar 104 hari setelah hari Tangcik 22 Desember atau sembahyang musim dingin dilangsungkan. Dalam rentang waktu tersebut, biasanya dilangsungkan setiap sepuluh hari sebelum jatuhnya hari tersebut sampai dengan sepuluh hari sesudahnya. Masyarakat Tionghoa akan mendatangi makam leluhur dengan satu tujuan, yakni mengirimkan doa.
“Ching Bing sendiri berasal dari dua suku kata yakni Ching dan Bing. Ching berarti cerah dan Bing berarti terang. Apabila digabungkan, kurang lebih menunjukkan waktu yang cerah sekaligus terang. Suasana seperti inilah yang menjadi patokan bahwa upacara sembahyangan sadranan ini harus segera dilaksakan. Sebab, jika pelaksanaannya terjadi diluar waktu yang ditentukan, hal tersebut dianggap kurang pantas,” ujar Adji Candra, salah satu rohaniawan PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta).
Di kota Solo, pelaksanaan sembahyangan sadranan atau Ching Bing dilakukan di halaman halaman Klenteng Hok Tek Cing Sien dan di halaman rumah duka Thiong Ting. Pelaksanaan upacara dilangsungkan di sini karena pada zaman dahulu, tempat ini digunakan untuk menitipkan abu jenazah dan pemakaman dari orang Tionghoa korban perang yang tidak terawat.
Seiring berjalannya waktu, makam-makam kemudian dipindahkan ke Delingan, Karanganyar, Jawa Tengah. Namun. meski telah dipindahkan, acara sembahyangan tetap dilakukan di sini, karena upacara ini bukan saja ditujukan untuk menghormati leluhur sendiri, tetapi juga untuk menghormati semua leluhur.
Upacara sembahyangan sadranan bukan saja menjadi hal yang ditunggu oleh masyarakat Tionghoa. Masyarakat di luar Tionghoa juga menunggu datangnya pelaksanaan dari upacara tersebut, karena waktu pelaksanaan upacara ini bertepatan dengan waktu atau musim panen tebu.
Datangnya musim panen tebu ditandai oleh berbunganya tanaman tebu. Saat-saat seperti ini menjadi sebuah petanda bahwa musim giling tebu harus segera dimulai. “Di Solo, saat seperti ini biasanya disebut dengan cembengan. Tentang sebutan itu juga memiliki kisah tersendiri. Pada zaman dahulu, pemakaman Tionghoa umumnya berada berada dekat dengan pabrik tebu. Saat memasuki bulan april akan banyak masyarakat Tionghoa yang mendatangi makam leluhurnya untuk mengirimkan doa.
Saat panen tebu semakin dekat, mandor-mandor tebu akan lebih sering mengawasi tanaman tebu yang tengah berbunga. Pada waktu itulah mereka heran dengan pemandangan yang dilihatnya. Para mandor itu akhirnya tahu bahwa masyarakat Tionghoa yang mendatangi makam leluhurnya, tengah melakukan tradisi Ching Bhing.
Mandor-mandor itu kesulitan untuk menyebut Ching Bhing. Mereka lebih sering menyebutnya cembengan. Sejak itu, datangnya masyarakat Tionghoa yang ingin mendoakan leluhurnya, dijadikan patokan untuk mengawali musim panen tebu dan awal giling tebu,” jelas Adji lebih lanjut.
Berdasarkan cerita itu, Adji mengatakan bahwa proses pembauran antara masyarakat Jawa dan Tionghoa berlangsung secara alami. Di sisi lain, Adji juga mengatakan bahwa upacara Ching Bing menunjukkan bukti bakti seorang anak kepada orang tua.
Tradisi ini wajib dan penting dilakukan untuk menghormati jasa-jasa orang tua dan para leluhur. “Seseorang belum bisa dikatakan berbakti sebelum dia menghormati kedua orang tuanya. Bahkan seorang manusia belum mampu mengenal Tuhan selagi dia belum bisa berlaku hormat kepada kedua orang tuanya.
Bagi manusia yang kedua orang tuanya masih hidup, bentuk baktinya dapat dilakukan secara langsung. Sedangkan bagi mereka yang orang tuanya sudah tiada, bentuk baktinya dapat dilakukan dengan jalan dengan mengirimkan doa,” tambah Adji.
Upacara sembahyang sadranan yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa, mirip dengan sadranan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Dalam upacara ini juga ditemukan sejumlah sesaji. Setidaknya, ada tiga altar yang digunakan untuk menaruh sesaji, terdiri dari altar Thi Kong (altar untuk Tuhan YME), kemudian altar vegetarian (ditujukan kepada arwah leluhur yang vegetarian), dan yang terakhir adalah altar umum.
Altar umum berisi aneka sesaji sebagaimana yang ada pada masyarakat Tionghoa. Di pojok dari altar itu akan ditempeli nama-nama leluhur yang disembahyangi. Selepas pelaksanaan upacara, semuanya akan dibakar. Saat pembakaran berlangsung, akan dibakar pula sejumlah uang-uangan kertas dan Gin Coa (uang perak).
Pembakaran uang adalah simbol pengiriman dana kepada mereka yang sudah meninggal. Untuk di upacara yang digelar di Tiong Ting, upacara akan diawali dengan melakukan sembahyang di klenteng Hok Tek Cing Sin (Dewa Bumi) terlebih dahulu. Sembahyang di sini melambankan permohonan izin kepada Dewa Bumi.
Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, Dewa Bumi dianggap sebagai utusan Tuhan YME untuk mengatur, merawat, dan memelihara segala kehidupan yang ada di alam semesta. Dalam masyarakat Tionghoa, nama Dewa Bumi adalah Hok (Fu) yang memiliki arti berkah atau rezeki. Adapun sesaji yang digunakan untuk upacara tersebut adalah nasi, air teh, arak, lauk pauk, buah-buahan, kue dan beberapa jenis makanan lainnya.
Ada tiga daging utama yang digunakan dalam upacara ini, antara lain daging ayam yang dimasak ingkung, ikan bandeng dan kepala babi. Sedangkan buah-buahan diwakili buah pisang, jeruk, dan beberapa buah lainnya yang sarat nilai filosofis. Kue diwakili wajik, kue kura-kura, kue mangkok, dan kue moho. Kemudian akan ada sepasang tebu yang diikatkan di masing-masing meja sembahyang.
“Kalau tebu yang diikatkan ini memiliki makna kemantapan hati,” jelasnya. Seperti halnya upacara yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa pada umumnya, upacara ini juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan penggunaan dupa. Pada upacara ini, hanya dua batang dupa saja yang dibakar oleh mereka yang melaksanakan upacara.
Adapun maksud dari dua batang dupa ini adalah gambaran ikatan batin antara keluarga yang masih hidup dengan mendiang keluarga yang telah tiada. Lebih jauh lagi, dua dupa ini juga merupakan simbolisasi dua unsur yang ada di dunia, yakni Yin dan Yang.
Sedangkan untuk pemimpin upacara, disebut Haksu atau Bunsu. Mereka menggunakan lima batang dupa besar. Penggunaan lima batang dupa ini memiliki makna filosofis, yakni manusia dalam kehidupannya harus mengembangkan lima sifat kebajikan (Ngo Siang), adapun lima sifat tersebut antara lain adalah Jien (cinta kasih), Gie (kebenaran), Lee (susila), Ti (bijaksana), dan Sin (dapat dipercaya).
Dalam pelaksanaannya, upacara ini dipimpin oleh pemuka agama Konghucu yang disebut dengan Haksu atau Bunsu. Selepas upacara, masyarakat Tionghoa diperbolehkan untuk melakukannya sendiri, kemudian dilanjutkan dengan pembakaran uang kertas dan nama-nama leluhur yang disembahyangkan.
Setelahnya, sesaji-sesaji akan diturunkan dari altar. Untuk menentukan sesaji itu boleh diturunkan atau tidak, akan dilakukan pelemparan uang yang bentuknya mirip dengan biji buah mangga. Uang ini biasanya terbuat dari logam, tetapi ada juga yang dibuat dengan menggunakan kayu.
Uang yang dilemparkan berjumlah ada dua keping. Jika kedua uang tersebut menampakkan sisi yang berbeda, berarti sesaji boleh diturunkan untuk dimakan bersama. Namun, apabila permukaan uang menunjukkan penampakan yang sama, berarti sesaji belum boleh diturunkan dan harus menunggu beberapa saat lagi. Kemudian pelemparan akan diulangi lagi hingga menunjukkan permukaan yang tidak sama, sehingga sesaji boleh diturunkan.
“Secara keseluruhan, upacara Ching Bing bermaksud mengajarkan manusia agar tidak lupa dengan asal-usulnya. Adanya sekarang pasti diawali dengan adanya masa yang lalu. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang menyebutkan bahwa saat orang tua masih hidup, layanilah di dalam kesusilaan dan ketika meninggal dunia berkabunglah di dalam kesusilaan, kenanglah, dan sembahyangilah dalam kesusilaan,” pungkasnya.
Penyunting: Nadya Gadzali