Etnis.id - Suku dan masyarakat di satu daerah di Indonesia, memiliki banyak upacara ritual yang digelar rutin setiap tahun. Digelarnya bukan hanya sebagai ucapan rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Sang Pencipta, tapi juga dapat difungsikan sebagai upaya untuk tolak bala.
Dengan begitu, warga berharap kawasan tempat tinggalnya akan dijauhkan dari segala bentuk marabahaya. Seperti ritual Mandasia yang digelar tujuh bulan sekali oleh masyarakat yang tinggal di kawasan Pancot, Tawangmangu, Karanganyar.
Pelaksanaan Mandasia jatuh pada Selasa Kliwon, Wuku Mandasia, dalam sistem penanggalan Jawa. Dalam setiap gelarannya, ratusan masyarakat yang berasal dari kawasan Tawangmangu dan sekitarnya, berbondong-bondong menyaksikan Mandasia.
Hingga kini belum diketahui secara pasti, siapa pelaksana pertama dan kapan upacara ini mulai dilaksanakan. Beberapa warga masyarakat percaya, upacara ini sudah ada sejak ratusan tahun silam.
Sejak itu Mandasia tidak pernah ditinggalkan. Apapun kondisi yang terjadi, ia akan selalu digelar. Alasannya, masyarakat percaya, jika Manadasia ditinggalkan, akan ada bala yang akan menimpa masyarakat.
Mandasia dari tahun ke tahun semakin meriah. Terlebih saat ini, dalam setiap gelarannya selalu disisipkan tarian reog. Penambahan tarian reog ini tidaklah mengurangi maksud dan tujuan ritual.
Menurut Sulardiyanto, Kepala Dusun setempat, pada kisaran tahun 1950-an, saat itu Desa Pancot terkena wabah pes. Banyak warga sakit dan tak kunjung sembuh meski telah berobat ke mana-mana. Bahkan, ada beberapa penduduk yang meninggal karena terkena wabah itu.
Kebetulan saat wabah pes itu, bertepatan dengan hari digelarnya Mandasia. Alhasil, setelah menggelar Mandasia, warga yang semula menderita penyakit pes berangsur-angsur sembuh.
Lelaki yang akrab disapa Sular ini menambahkan, bahwa yang wajib ada dalam pelaksanaan tradisi, bukan hanya sebaran ayam yang akan diperebutkan di akhir acara saja. Tetapi masih banyak sesaji-sesaji khusus lain yang dibuat secara khusus untuk pelaksanaan Mandasia.
Beberapa sesaji yang harus ada dalam acara Mandhasia adalah badheg tape dan gandhik. Badheg tape sendiri adalah cairan yang diambil dari fermentasi beras ketan atau pohung.
Badheg tape yang digunakan itu khusus, sebab badheg tape haruslah dibuat pada upacara Mandhasia sebelumnya. Artinya, badheg tape haruslah berusia tujuh bulan sebelum digunakan. Badheg tape ini bukanlah untuk diminum, melainkan digunakan untuk membasuh batu (watu) gilang yang dianggap sebagai pepunden desa dan dipercaya sebagai tempat tewasnya Prabu Boko dalam kepercayaan masyarakat setempat.
Sedangkan gandhik ini adalah makanan semacam jajanan tradisional yang terbuat dari campuran tepung ketan dan gula merah, yang kemudian digoreng. Jajanan ini dipercaya mampu mengusir roh-roh jahat yang ada di desa.
Di samping itu, jika dihubungkan dengan mitos yang ada, gandhik inilah yang digunakan untuk menyempurnakan arwah Prabu Boko dan untuk mengusir para lelembut agar tidak lagi mengganggu warga desa.
Untuk pembuatan gandhik ini tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Yang membuatnya harus orang-orang khusus. Gandhik yang dipakai mesti dibuat oleh para wanita yang sudah menopouse atau sudah tidak lagi datang bulan.
Selain itu dalam acara ini juga banyak ditemui jajanan tradisional yang kemungkinan di daerah lain sudah tidak dapat ditemui lagi, seperti jadah gedhe yang terbuat dari campuran ketan dan jagung serta gula, lalu ada lagi iwel-iwel yang terbuat dari tepung beras ketan dan gula merah, di mana jajanan ini dibuat dengan jalan dikukus.
Ada juga sesaji jangkep yang terbuat dari nasi gurih dan ayam ingkung. Uniknya, dalam acara pembuatan sesaji ini, semuanya harus dibuat oleh wanita, sedangkan pria tidak diperkenankan membuatnya. Ada pun untuk membuat makanan sekaligus sesaji ini, orang yang membuatnya harus benar-benar suci. Artinya jika wanita sedang datang bulan, dilarang untuk turut serta membuat sesaji.
“Bahkan sebelum memulai membuat sesaji ini harus mandi besar dahulu,” ujar Sular.
Mengenai alasan kenapa harus suci, disebabkan karena yang dibuat konon akan dipersembahkan kepada para leluhur. Sehingga dalam pembuatannya harus dibedakan dengan pembuatan makanan pada umumnya. Di samping itu, ada dua pantangan lain yang sampai saat ini tidak pernah sekalipun dilanggar oleh para warga desa.
Pertama, warga tidak boleh melangkahi kayu yang akan digunakan untuk memasak sesaji. Kedua, dalam membuat sesaji, baik makanan atau pun jajanan yang dipergunakan, tidak boleh diicipi.
“Kayu yang akan digunakan untuk memasak sesaji tidak boleh dilangkahi, karena jika dilanggar, maka sesaji yang akan dibuat tidak akan bisa matang. Kedua, tidak boleh mencicipi makanan sesaji. Kalau hal ini dilakukan, biasanya akan terjadi hal-hal buruk bagi yang melanggarnya. Kalau mencicipi ini, sama halnya kita mendahului leluhur kita,” terang Sular.
Pernah ada warga yang nekat mencicipi sesaji tersebut sebelum diujubkan oleh sesepuh desa. Akhirnya, orang itu merot mulutnya. Semenjak saat itu, tidak ada yang berani melanggar pantangan tersebut.
Soal ayam yang disebar, menurut Sulardiyanto adalah wujud penyempurnaan nazar dari apa yang mereka inginkan. Tidak mengherankan apabila acara sebaran ayam ini menjadi salah satu bagian acara yang paling dinantikan dalam setiap pelaksanaan ritual Mandasia.
Mandhasia pada dasarnya memang tidak bisa dipisahkan dari legenda Prabu Boko yang sampai saat ini terus dipegang erat oleh masyarakat Pancot. Dalam kepercayaan setempat, dikisahkan bahwa dalam setiap bulannya Prabu Boko meminta jatah warga untuk disantapnya.
Singkat cerita, jatah untuk sang raja jatuh pada seorang putri, anak dari seorang janda. Mengetahui akan dimakan rajanya, putri tersebut menangis terus-menerus dalam setiap harinya. Tangisan itu didengar oleh seorang pemuda bernama Raden Tetuko yang kebetulan sedang berkelana dan sampai di tempat itu. Pemuda asal Pringgodani (kini lokasinya berjarak sekitar 5 km dari Pancot) itu pun menyatakan kesediaannya untuk menjadi pengganti sebagai santapan raja raksasa.
Setelah hari yang telah ditentukan, Raden Tetuko berhadapan dengan Prabu Boko. Keduanya lantas terlibat perang tanding yang amat dahsyat. Hingga akhirnya, Prabu Boko bisa dikalahkan dan tewas setelah kepalanya dibenturkan ke sebuah watu gilang. Watu itu sampai kini masih terjaga keberadaannya dan cukup dikeramatkan masyarakat setempat dan sebagai pusat ritual Mandasia.
Peristiwa perang tanding antara Raden Tetuko melawan Prabu Boko juga memunculkan peristiwa aneh. Setelah Prabu Boko mati, taringnya dipercaya menjelma jadi tanaman bawang dan brambang yang kini menjadi tanaman andalan warga setempat.
Mendadak pula muncul suara yang mengatakan bahwa dirinya (Prabu Boko) mengaku kalah dan mati, tapi minta syarat khusus kepada warga, yakni setiap hari Selasa Kliwon, Wuku Mandasia, di watu gilang tempat kepalanya dibenturkan hingga menemui ajal, harus disiram dengan air tape ketan. Kenyataannya, pesan gaib Prabu Boko itu sampai sekarang masih dilestarikan.
Editor: Almaliki