21 Maret 2022, Ki Purbo Asmoro mementaskan wayang dengan lakon “Samudra Mantana Tirta Amerta”. Pementasan digelar secara hybrid melalui kanal YouTube-nya dan di Balai Kota Surakarta. Pagelaran begitu khidmat, ruang pertunjukan ditata dengan apik, lantunan gamelan pun dibunyikan dengan sangat terperinci.

Pagelaran ini menjadi salah satu pementasan wayang yang terbentuk di kanal virtual dengan bunyi gamelan yang terdistorsi. Pagelaran yang digelar dalam rangka menyongsong Hari Air Sedunia itu tampak memukau. Lima kayon disejajarkan dengan presisi. Ketika dua kayon (yang di tengah) digerakan, siluet kayon muncul dengan indah.

Detail ukiran yang ada dalam kayon, terkadang kecil kemudian membesar, begitu juga sebaliknya. Kayon ke tiga menyusul dimainkan. Kayon itu tampak berjiwa. Ujung kayon melekuk-lekuk. Syahdan, kayon ketiga ditancapkan dengan lihai. Berjajar lima kayon yang nyaman untuk dipandang. Peristiwa ini sekaligus menandai dilekasinya pagelaran wayang.  

Lakon-lakon “Samudra Mantana Tirta Amerta” masyhur di kalangan pecinta wayang. Lakon ini diadaptasi dari kitab Adi Parwa-Mahabaratha yang mengisahkan perebutan tirta amerta oleh asura dan para dewa. Tirta amerta ialah air keabadian. Bagi siapa saja yang meminum, ia akan memperoleh keabadian. Daripada berseteru, Dewa Wisnu mengajukan gagasan untuk bekerja sama (antara asura dan para dewa) untuk memperoleh tirta amerta.

Dewa Wisnu memimpin dengan melilitkan Naga Basuki ke Gunung Mandara. Gunung ini hendak dipindahkan ke samudra susu (ksirasegara) guna mengaduk samudera. Wisnu kemudian berubah menjadi kura-kura untuk menopang Gunung Mandara agar tidak tenggelam.

Syahdan, asura memegang Naga Basuki di bagian pangkal tubuh, sedangkan para dewa memegang bagian ekor. Gerakan tarik-ulur pun dilakoni agar samudera itu teraduk. Berbagai hasil adukan pun berlimpah, seperti racun dan material berharga.

Racun (halahala) yang ke luar dari adukan ini merupakan unsur berbahaya yang mengancam bumi. Dewa Siwa kemudian menelannya demi kelangsungan alam raya. Sedangkan, hal berharganya ialah Dewi Laksmi (dewi keberuntungan dan kekayaan), Apsara (golongan bidadari), dan lain sebagainya. Terpenting ialah munculnya Dhanwantari (tabib para dewa yang membawa tirta amerta).

Kemudian, tirta amerta yang dibawa oleh Dhanwantari ini menimbulkan perseteruan antara para dewa dan asura. Untuk mengamankan tirta amerta, Burung Garuda membawanya terbang. Dewa Wisnu akhirnya berubah menjadi wanita cantik (Mohini) untuk membagikannya kepada para dewa.

Salah satu asura bernama Swarbanu kemudian berubah juga menjadi dewa agar mendapatkan jatah. Namun, Dewa Surya dan Dewa Candra mengetahui intrik ini. Kemudian, Mohini memenggal kepalanya. Namun, tirta amerta telah menyentuh kerongkongan dan kepala Swarbanu. Meskipun sudah terpenggal, namun kepalanya masih hidup.

Akhirnya, para dewa mampu mengalahkan asura. Tirta amerta pun sudah terminum. Namun, kepala Swarbanu (disebut Rahu) ternyata tidak terima. Ia lantas menelan Dewa Surya dan Dewa Candra. Karena Rahu tidak memiliki tubuh, maka Dewa Surya dan Dewa Candra pun mampu keluar dari Rahu. Peristiwa inilah yang menjadi dasar mitos di Jawa ihwal gerhana bulan, bulan yang dimakan oleh buto.  

Air adalah kehidupan. Kiranya kalimat ini menjadi sebuah kalimat yang sarat arti. Air menjadi hal fundamental dalam kehidupan manusia. Tanpanya, kehidupan tidak dapat berlangsung. Air bagi kebanyakan masyarakat di Nusantara pun ditempatkan di dalam sanubari, bahkan dalam kepercayaan lokal.

Keberadaan air begitu krusial. Sikap menghargai air terlahir atas dasar ini. Ritus-ritus dilakukan, simbol-simbol dituangkan, doa dan harapan disematkan. Melalui gerak, bunyi, dan berbagai sarana lainnya, air dikhidmati sebagai kehidupan.

Masyarakat Desa Bunder, Klaten, juga menunaikan ritus tersebut. Melalui alunan gamelan dan lakon wayang, ritual penghormatan terhadap air dilakukan. Tidak jauh berbeda. Di Warangan, Magelang juga terdapat ritus menghargai air, yakni Nyadran Kali yang dilangsungkan satu tahun sekali.  

Bagi desa yang sulit mendapatkan air, penghormatan atas hadirnya air menjadi ruang spiritual tersendiri. Bagi mereka, air benar-benar menjadi sumber kehidupan. Berbeda dengan masyarakat yang mudah mendapatkan air. Elemen satu ini dianggap biasa-biasa saja. Membuang sampah di sungai, menggunakan air dengan tidak bijak, lumrah di berbagai tempat.  

Ironisnya, kala banjir melanda, air yang sejatinya memberi manfaat bagi kehidupan manusia, berubah menjadi bencana. Meluluhlantakkan tempat, menghentikan aktivitas manusia, dan menggenangi pemukiman. Air dianggap menjadi sebuah petaka. Menaruh manusia dalam sengsara.

Jika dicermati kembali, banjir tidak semata-mata hadir karena kemurkaannya. Ia hadir karena relasi timbal balik dengan sikap manusia terhadapnya. Pohon yang terus menerus ditebangi, sampah yang dibuang ke sungai, dan pembangunan di sana-sini, menjadi cikal bakal terjadinya banjir.

Air yang seharusnya jernih bersalin rupa menjadi berwarna kecokelatan, bahkan hitam pekat. Akar pohon yang seharusnya menampung air ketika hujan melanda, namun tumbang karena manusia. Air yang seharusnya mengalir, terhimpit oleh sampah-sampah yang menggunung di sungai.

Lagi-lagi, hujan menjadi kambing hitam atas terjadinya banjir. Lebatnya hujan menjadi pengantar keadaan duka bagi manusia. Sementara, hujan adalah siklus. Sama halnya dengan air dan ruang resapan di dalam tanah. Manusia mengkhianati siklus alam.

Alih-alih merenungkan keadaan itu, manusia justru mengingkarinya. Manusia lebih memilih menyalahkan daripada berkaca diri. Agaknya, pengalaman di masa lampau patut untuk dinarasikan ulang, yakni ritus-ritus tentang air seperti Nyadran Kali di Desa Warangan, ritus Syukuran Banyu di Desa Pluneng-Klaten, Ritus Penti di Manggarai, Ritual Grebeg Tirto Aji di Tengger, dan berbagai ritus lain yang serupa.

Menghormati air sama juga menghormati alam. Keselarasan akan terajut dengan adanya penghormatan tersebut. Ritus tidak semata mengejawantahkan penghormatan, melainkan doa agar tetap diberikan air, juga doa untuk menerima air sebagaimana mestinya.

Syahdan, sikap-sikap dalam keseharian juga perlu untuk dibenahi. Dengan begitu, cerminan perilaku terefleksikan pada alam. Lakon “Samudra Mantana Tirta Amerta” yang digelar oleh Ki Purbo Asmoro, begitu bernas. Hari Air bukan saja tentang perayaan, melainkan hari monumental untuk merenungkan kembali hubungan timbal balik antara manusia dengan alam.

Adegan berebut air pada pementasan wayang “Samudra Mantana Tirta Amerta”, kiranya tidak hanya disaksikan oleh masyarakat yang berkecukupan air. Lakon tersebut seharusnya mewakili masyarakat yang sulit mendapatkan air, sehingga dapat memberi wawasan, berbenah, dan menghormati keberadaan air.

Penyunting: Nadya Gadzali