“Kini, kau sudah tumbuh!. Tingkat hidupmu sudah naik!. Saatnya aku melepasmu dari basuhan tanganku!. Terbang, terbanglah tinggi!. Jalani kehidupan barumu, jaga dan rawat anak istrimu!. Hidupmu tidak lagi untuk dirimu seorang, engkau meminggul beban kepercayaan dariku, Anakku!.”
Ungkapan-ungkapan itu lazim terdengar pada saat pelaksanakan ritual Ganti Jeneng Tuwo. Tradisi mengganti nama bagi laki-laki yang hendak melangkah ke pelaminan.
Diiringi hujan lebat yang mengguyur desa sejak sore hari, bersamaan dengan aroma dupa yang menyeruak ke seluruh ruangan, komat-kamit mulut Mbah Warto (tetua desa) mengijabkan sesaji di hadapannya. Pukul 22.31 peristiwa ini terjadi. Peristiwa bersejarah bagi seorang laki-laki yang akan melepas masa lajangnya.
Di Klaten, ada sebuah tradisi untuk mengganti nama. Tradisi ini didasari oleh berbagai alasan: sering jatuh sakit, untuk mencari keberuntungan, atau alasan lainnya. Dalam hal ini, mengganti nama yang dimaksud adalah mengganti nama tua dalam rangka pernikahan. Di kawasan Klaten Barat, tradisi ini disebut dengan tradisi Ganti Jeneng Tuwo.
Tradisi Ganti Jeneng Tuwo dilakukan pada seorang laki-laki yang akan melepas masa lajangnya. Sayangnya, tradisi ini kian ditinggalkan. Dianggap sudah tak sesuai dengan tuntutan zaman. Umumnya, orang yang “meninggalkan” tradisi ini tidak mengetahui tujuan dan manfaat Ganti Jeneng Tuwo .
Makna Sesaji
Sesaji yang digunakan dalam tradisi Ganti Jeneng Tuwo di Klaten bagian barat terdiri dari Sego Godhongan, Jenang, dan Kembang Wangi. Masing-masing sesaji mengandung makna sebagai berikut:
1. Sego Godhongan
Di Jawa, ada sebuah kepercayaan bahwasanya seseorang yang hidup mempunyai saudara yang menetap dan hidup di dalam dirinya. "Saudara" yang tidak tampak secara fisik, namun diyakini keberadaannya. Sego Godhongan (nasi di dalam daun pisang) menjadi simbol ucapan terima kasih karena telah menemani perjalanan hidup seseorang yang akan menikah, sekaligus meminta izin untuk mengganti nama. Sego godhongan terdiri dari nasi, sayur kangkung, sayur mbayung, kancang panjang, kecambah, kol, dan telur.
2. Jenang
Jenang ialah sejenis makanan yang dihaluskan (semacam bubur) dan sangat dekat dengan kehidupan manusia Jawa. Dalam tradisi Ganti Jeneng Tuo, terdapat tiga macam jenang, yakni Jenang Abang, Jenang Putih, dan Jenang Baro-baro. Jenang abang (jenang merah) melambangkan seorang Ibu, jenang putih (jenang putih) menjadi simbol Bapak, sedangkan jenang baro-baro merepresentasikan saudara yang ada di dalam diri seseorang yang akan menikah.
Di dalam ritual pergantian nama ini, memohon izin serta doa restu dari Ibu, Bapak, dan saudara dalam diri amatlah penting. Hal ini bertujuan agar bersama nama barunya kelak, ia akan memperoleh keberkahan.
3. Kembang Wangi
Kembang wangi (bunga harum) dalam tradisi ini diwakili oleh bunga mawar merah dan mawar putih. Kembang wangi ditujukan kepada unsur yang telah merawat dan menjaga jabang bayi (orang yang akan menikah). Kembang wangi menjadi sebuah saksi agar setelah berganti nama, si jabang bayi tetap dijaga dan dirawat oleh Sang Penjaga.
Makna Ganti Jeneng Tuwo
Leluhur orang Jawa hampir selalu mewariskan tradisi beserta filosofi yang mendalam, salah satunya ialah tradisi Ganti Jeneng Tuwo. Setidaknya, tradisi ini mengandung tiga makna: sebagai pangeling-eling, menandai level kehidupan yang lebih tinggi, serta harapan.
1. Pangeling-eling
Adanya tradisi Ganti Jeneng Tuwo menjadi sebuah pengingat bagi orang yang melakoninya, yakni untuk mengingatkan bahwa dirinya sudah dewasa. Sudah tidak menjadi tanggung jawab orang tua, melainkan sosok yang bertanggung jawab kepada anak dan istrinya kelak. Orang tua memberikan nama tua yang disematkan di sepanjang hidupnya, sehingga nama ini menjadi hal yang sakral dan akan menjadi saksi hingga akhir hayat.
2. Level Kehidupan yang Lebih Tinggi
Orang yang akan menikah berarti meningkatkan level kehidupannya. Dari segala permasalahan hidup yang dihadapi, sampai penyelesaiannya. Setelah menikah, ia harus menghidupi istri dan anak-anaknya. Tradisi pergantian nama menjadi pertanda untuk selalu waspada dan berhati-hati dalam menjalani kehidupan barunya.
3. Harapan
Nama merupakan sematan doa. Hal ini juga berlaku bagi nama tua yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Mengisyaratkan doa agar sang buah hati tetap terjaga dalam segala kondisi. Uniknya, pemberian nama tua ini diberikan berdasarkan hal-hal yang sudah dilakoni oleh sang anak. Misalnya, Mulyo Waspodo. Nama ini memiliki arti mulia dan waspada.
Sebelum memperoleh nama tua, boleh jadi sang anak memiliki kecenderungan untuk tidak bersikap tidak waspada atau ceroboh. Dengan adanya pemberian nama tua ini, diharapkan agar ia lebih waspada menjalani kehidupannya, serta mengantarkannya pada kemuliaan. Tradisi Ganti Jeneng Tuwo menandai dimulainya babak baru dalam kehidupan seorang laki-laki. Nama tua ini tak begitu saja disematkan, sebab ada makna-makna yang harus dipahami oleh laki-laki yang akan menikah.
Tradisi Ganti Jeneng Tuwo sulit untuk bertahan di tengah terjalnya arus zaman. Dianggap tak terlalu penting oleh sebagian orang. Kendati demikian, pengetahuan ini patut dibagikan, agar masyarakat memahami maksud dan tujuan dari tradisi ini.
Selain itu, nama tua juga sudah dianggap tak lagi relevan, sejak adanya akta kelahiran. Secara tidak langsung, akta kelahiran mengikis tradisi pergantian nama. Kendati sesungguhnya, nama tua yang diberikan tidak harus digunakan secara menyeluruh, melainkan digunakan secara terbatas di dalam kehidupan bermasyarakat.
Penyunting: Nadya Gadzali