Lanskap musik tradisi nusantara sangatlah kompleks. Ada banyak unsur yang saling bertautan dan tidak dapat dipisahkan. Tentu perlu pembacaan dan penguraian yang lebih rinci agar mampu menangkap lanskap itu secara menyeluruh, baik instrumen, bunyi, adat, kultur, falsafah, dan seterusnya. Di antara unsur-unsur itu, ada satu unsur yang seringkali tersisihkan dari hiruk pikuk musik tradisi, yaitu teknik permainan.

Selama ini, pembacaan terhadap teknik seringkali hanya dititikberatkan pada tataran tekstualnya saja. Padahal, musik tradisi nusantara juga perlu digali pada dimensi kontekstualnya, termasuk teknik permainan. Misalnya saja teknik ngumbang-ngisep dalam permainan gamelan Bali.

Secara tekstual, ngumbang-ngisep merupakan teknik mengeraskan atau memelankan bunyi dari gamelan. Jika didengarkan dengan seksama, teknik itu seolah-olah membuat alunan bunyi gamelan bergelombang, seperti halnya deburan ombak.

Bunyi yang dikumandangkan melalui teknik itu kiranya menjadi bunyi monumental. Bunyi itu terbekukan ke dalam aktivitas musikal masyarakat Bali. Keotentikan dan keidentikannya hanya dapat dijumpai dalam kumandang gamelan Bali. Bahkan, Rai (1999) menyebutkan bahwa ngumbang-ngisep ialah kearifan sekaligus identitas dari kumandang gamelan Bali (Rai, 1999).

Ngumbang-ngisep menjadi sebuah artefak bunyi atas laku artistik warisan generasi pendahulu. Dari permainan yang pelan, tiba-tiba menggelegar. Sebaliknya, dari yang mulanya menggelegar, tiba-tiba luruh menjadi nada sayu yang meluluhkan. Pola itu sebenarnya sederhana. Namun, justru menjelma sebuah kenikmatan auditif yang tak terkira. Pantas saja jika Kartawan (2004) menyebut ngumbang-ngisep sebagai sebuah estetika akustik.

Tidak hanya ngumbang-ngisep, dalam gamelan Jawa juga dijumpai dimensi kontekstual dari sebuah teknik permainan, yakni mleset dan nggandhul. Mleset dan nggandhul adalah teknik menabuh dengan memlesetkan tempo atau dalam bahasa lain tabuhan yang tidak tepat pada beat-nya.

Mleset dimainkan pada instrumen kenong, sedangkan nggandhul pada instrumen gong. Saya pernah menulis esai panjang ihwal ini dengan tajuk "Mleset dan Nggandhul: Ruang Bunyi dan Sikap Kultural Masyarakat Jawa” pada tahun 2022.

Secara tekstual, mleset dan nggandhul berperan dalam mengisi ruang-ruang kosong pada sajian gendhing, sehingga ia terasa penuh. Teknik ini menempati keistimewaan tersendiri, sebab bertautan dengan habitus (kebiasaan melekat) dari para niyaga (penabuh gamelan). Jika tidak terbiasa, teknik ini akan terasa sulit dilakukan. Artinya, untuk mencapai teknik ini, diperlukan pembiasaan ataupun intuisi musikal yang kuat.

Peran mleset dan nggandhul dalam mengisi ruang-ruang kosong gendhing juga merefleksikan sikap masyarakatnya, yakni egaliter. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama dalam komunitasnya. Ia berhak bersuara, unjuk kemampuan, bahkan tampil ke hadapan publik. Sama halnya dengan kenong dan gong kala berbunyi di sela-sela tempo sajian gendhing.

Teknik permainan musik tradisi nusantara tidaklah cukup jika dibaca secara tekstual. Ada sisi-sisi kontekstual yang bertautan dengan bunyi itu. Di sisi lainnya, teknik permainan yang ada pun begitu puspawarna. Salah satu yang tak kalah menarik ialah teknik nafas circle atau sering disebut nafas balik.

Lumbung

Nafas circle ialah teknik memainkan instrumen tiup dengan menarik dan mengeluarkan angin secara bersamaan. Angin dihembuskan atau dikeluarkan melalui mulut. Teknik ini dilakukan untuk mempertahankan nafas agar terus bersambung, maka bunyi instrumen yang dimainkan tidak akan terputus. Tanda bahwa pemain melakukan teknik ini adalah menggembungnya kedua pipi.

Sebenarnya, teknik ini tidak hanya dijumpai di nusantara. Ada beberapa instrumen dari manca negara yang juga menggunakan teknik ini, misalnya didgeridoo dari Australia, nagaswaram dari India, dan masih banyak lagi. Menariknya, teknik ini pernah didaftarkan ke UNESCO oleh negara Mongolia sebagai warisan budaya tak benda.

Hingga saat ini, status dari pendaftaran itu masih menjadi nominasi (per 6 Maret 2023). Artinya, belum terkonfirmasi bahwa nafas circle ialah warisan budaya tak benda dari Mongolia. Padahal, ia telah diajukan sejak tahun 2011.

Dari penelusuran yang dilakukan, ada beberapa faktor yang menyebabkan usulan itu belum diterima, baik pemantapan praktik dari pemain, kurangnya kelengkapan arsip atau dokumen lampau, dibutuhkannya konservasi pelatihan, serta kurangnya kesadaran dari masyarakat.

Saya menduga masih ada faktor lainnya. Pertama, keberadaan instrumen didgeridoo dari Australia dianggap sebagai instrumen arkais dari suku Aborigin. Sedangkan teknik memainkan instrumen ini ialah nafas circle (circulating breath). Artinya, teknik itu tidak hanya diterapkan pada digderidoo, tetapi juga pada alat tiup dari daerah atau negara lain.

Kedua, jamaknya musik dunia yang juga menggunakan teknik itu, terutama di wilayah Asia-Pasifik. Hal itu tentu perlu peneropongan yang lebih dalam. Sebab, kekhususan menjadi syarat fundamental untuk menasbihkan teknik itu.

Di nusantara, teknik ini cukup dikenal, terbentang di berbagai daerah, misalnya suling Bali, awi goong dari Jawa Barat, Saluang dan Serunai dari Minang, Slompret dari Ponorogo, Pui-pui dari Makassar, dan masih banyak lagi.

Dibanding negara lain, nusantara lebih memunculkan kekayaan teknik ini. Ia tersebar di pelbagai daerah. Tidak hanya dalam satu jenis instrumen, bahkan dimainkan di pelbagai jenis instrumen tiup. Ini berarti bahwa nusantara menjadi lumbung atas eksistensi dari teknik nafas circle.

Spiritual

Musik tradisi nusantara seringkali bersinggungan dengan dimensi spiritual. Lantunan bunyinya sering digunakan sebagai katalisator pengantar menuju gerbang transedental. Minimal, ia berurusan dengan aktivitas keilahian. Dalam hal ini, teknik nafas circle agaknya memiliki dimensi serupa. Lochtefeld dalam Weatherspoon (2019) berpendapat bahwa nafas cirle sudah ada sejak berabad-abad lamanya (disebut anapanasati sutta). Para biksu seringkali menggunakan teknik ini untuk bermeditasi.

Jika didedah, ada tautan antara teknik nafas circle dengan meditasi itu. Melakukan nafas circle menuntun pada sebuah keteraturan tersendiri. Ada tuntutan untuk mengatur hirupan dan hembusan angin dengan keseimbangan tertentu. Hal ini dilakukan untuk menjaga bunyi yang berkumandang agar tetap stabil dan tanpa jeda. Artinya, ada benang merah yang mempertautkannya dengan meditasi, yakni kontrol pernafasan.

Kontrol nafas dalam laku-laku meditasi menjadi sebuah praktik yang penting. Ini menjadi hal fundamental untuk mencapai gerbang transendental. Menurut Maharani dalam jurnalnya yang bertajuk “Pranayama sebagai Sains Spirituall”, lubang hidung kiri sangat erat kaitannya dengan ida nadi kala aliran udara pada kedua lubang hidung (sama kapasitas udaranya). Udara itu lantas akan mengalir di sepanjang nadi dalam bagian-bagian tubuh vital. Dalam hal ini ialah sushumna. Hal itulah yang memungkinkan seseorang mencapai tingkat konsentrasi yang tinggi (2019:14).

Udara ialah entitas yang penting dalam kehidupan. Ia menjadi daya hidup sekaligus energi kehidupan. Menghirup dan menghembuskan nafas berarti menghirup daya hidup dan energi itu. Ada siklus pembaharuan yang terjadi antara energi lama dan energi baru atau energi positif dan energi negatif. Menurut praktisi meditasi, nafas circle dapat membantu melepaskan energi negatif atau ketegangan yang tersimpan dalam tubuh (Weatherspoon, 2019).

Secara subyektif, saya pernah mengalami hal itu. Kala saya melakoni teknik ini, lama-kelamaan tubuh saya terasa mengambang. Seolah-olah, saya didudukan pada suatu sudut yang jauh dan menenangkan. Seusai melakukannya, tubuh terasa lebih enteng. Barangkali, hal itu ada pertautannya dengan pengeluaran energi negatif itu. Tak ayal, jika pengendalian nafas menjadi hal fundamental dalam laku-laku spiritual.

Nafas circle dalam khasanah musik tradisi juga mengandung kontrol nafas itu. Bedanya, ia dimanifestasikan menjadi bentuk auditif. Namun, bunyi yang dihasilkan itulah yang justru membantu mencapai titik transendental. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antara bunyi instrumen yang menggunakan teknik ini, misalnya slompret dengan ndadi, saluang dengan fungsi pengasihannya, ataupun instrumen digderidoo sebagai sarana kontemplasi.

Adanya teknik nafas circle meleburkan bunyi dengan olah nafas, bukan sekedar untuk memperindah alunan, namun bertautan dengan dimensi spiritual. Jika diteropong lebih jauh, laku-laku spiritual sangat lekat secara kultural. Ia dipancarkan ke dalam berbagai bentuk, seperti tapa, nyepi, semedi, dan lain sebagainya. Laku-laku itu tidak terlepas dari olah nafas yang ditunaikannya. Atas dasar itu, teknik nafas circle kiranya menjadi perpaduan antara musik tradisi dengan kebiasaan kultural di masa lampau.

Legitimasi

Salah satu alasan Mongolia mendaftarkan teknik nafas circle sebagai warisan budaya tak benda ialah semakin uzurnya pemain instrumen yang mampu melakukan teknik ini. Hal itu juga yang membuat UNESCO meminta adanya konservatori agar teknik itu diajarkan dan diteruskan.

Keuzuran yang dinyatakan Mongolia membuktikan peliknya teknik ini. Menguasai teknik itu bukanlah perkara yang mudah. Perlu pelatihan dan pembiasaan yang dilakukan terus-menerus.

Bukan hanya di Mongolia, di nusantara juga demikian. Mungkin banyak pemain instrumen tiup alat musik tradisi yang ada, namun belum tentu mereka mampu menguasai teknik itu. Bahkan, nafas circle menduduki status istimewa di kalangan pemain tiup. Ia menjelma sebuah angan-angan yang berusaha untuk dikejar dan digapai. Runyamnya teknik ini bukan saja mengantarkannya menjadi sebuah cita-cita.

Menggerakan jari, menghirup udara, mengeluarkan udara ke instrumen, sekaligus memikirkan repertoar nada dalam satu waktu tentu akan menjadi hal yang rumit untuk dilakukan. Hanya orang-orang terpilih yang mampu melakukannya. Orang-orang itu telah melampaui batasan permainan instrumen tiup pada umumnya, sudah selesai dengan konsep yang umum itu.

Teknik nafas circle tidak saja menjelma sebuah angan-angan. Lebih dari itu, teknik ini menyajikan peristiwa kultural. Ada sebuah anekdot bahwa seorang pemain tiup belum komplet jika belum menguasai teknik ini.

Peliknya teknik membuat ia dijadikan tolok ukur atas kemampuan seorang pemain. Hal itu lumrah saya jumpai di kalangan pemain tiup alat musik tradisi. Artinya, teknik nafas circle telah melingkupi jagat musik tradisi. Bukan hanya sebagai sebuah laku artistik atau estetika akustik saja, melainkan juga alat legitimasi atas kelengkapan seorang pemain.

Penyunting: Nadya Gadzali