Bela diri ndikkar merupakan tradisi ketubuhan salah satu etnis yang mendiami dataran tinggi Sumatera Utara yakni Etnis Karo. Ndikkar terlahir dari kehidupan masyarakat agraris yang mengenal sawah dan ladang serta telah mengenal prinsip kepemilikan lahan.

Prinsip kepemilikan lahan dari masyarakat Karo ini mengakibatkan jarak antar rumah dalam sebuah urung terpaut cukup jauh karena setiap keluarga punya tempat tinggal dan ladang yang berada dalam satu kawasan yang biasanya hanya terdiri dari 5 kepala keluarga.

Dengan kondisi ladang yang masih tampak seperti hutan itu, masyarakat Karo merasa waswas atas ancaman yang mungkin saja datang dari hewan buas yang bersembunyi di ladang mereka, baik yang dapat mencelakai diri atau mengganggu tanaman di ladang mereka.

Belajar dari alam, masyarakat Karo mengembangkan intuisi purbawinya melalui ndikkar, mekanisme pertahanan diri terhadap serangan binatang buas sekaligus cara beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Pada tataran ini, ndikkar tidak difungsikan untuk bertarung dengan manusia, melainkan respon terhadap rangsangan lingkungan sekitar.

Sebagai sebuah mekanisme pertahanan diri, ndikkar telah berulang kali beralih fungsi dari pertahanan diri terhadap alam, perlindungan diri terhadap penjajah, hingga statusnya saat ini sebagai komoditas pariwisata. Saat ini, ndikkar sedang berdiri di atas identitas yang gamang, sebagian masyarakat mengenalnya sebagai tarian dan sebagian lainnya mengetahuinya sebagai seni bela diri asli masyarakat Karo. Kondisi gamang ini berakar pada permasalahan yang cukup pelik, mengingat posisi ndikkar saat ini yang kurang dipahami oleh masyarakatnya sendiri.

Disarikan dari hasil wawancara penulis dengan Simpei Sinulingga (2022), ndikkar kehilangan pendukungnya dikarenakan banyak hal, di antaranya lantaran adanya pertentangan nilai budaya dengan agama. Simpei yang merupakan salah satu pandikkar (sebutan untuk orang yang menguasai ndikkar) menuturkan adanya larangan terkait persyaratan berguru bagi muridnya, seperti larangan bersumpah dan larangan menyembelih ayam hitam. Pertentangan tersebut berimbas pada enggannya para guru ndikkar menerima murid yang berimbas pada hilangnya keterikatan antara guru dan murid disebabkan hilangnya ritual tersebut.

Selain itu, maraknya ilmu bela diri impor membuat generasi muda lebih tertarik pada seni bela diri yang sudah tertata kurikulumnya dibandingkan menyelami ndikkar yang terlahir dari jati diri bangsanya. Dampak dari minimnya minat generasi muda pada ndikkar memudarkan eksistensinya secara perlahan.

Padahal, bila ditilik lebih dalam, setiap gerak atau jurus yang terdapat pada ndikkar merupakan cerminan kearifan lokal masyarakat Karo. Dalam tulisan ini penulis mencoba menginventarisir jurus-jurus yang terdapat dalam ndikkar dan nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Berikut ini adalah jurus-jurus yang terdapat dalam ndikkar:

Jurus Pertahanen adalah gerakan melindungi diri dari serangan lawan atas seluruh bagian tubuh si pandikkar. Dalam melakukan jurus ini pandikkar berada dalam posisi duduk, sedangkan salah satu tangan menyilang di depan dada dan mengepalkan tangan lainnya dengan keras. Kesigapan menjadi ajaran utama pada jurus ini lantaran berfungsi untuk mempertahankan diri dari serangan lawan sambil menyiapkan strategi menjatuhkan tanpa perlu mengorbankan nyawa lawan.

Dalam jurus ini, pandikkar dituntut agar tidak ‘memakan ayam persumpahannya’ sebagaimana tujuan ndikkar yakni ilmu bela diri yang digunakan di jalan kebaikan.

Jurus Langkah Sipitu Pitu adalah gerakan tujuh langkah (pitu dalam bahasa Karo) yang terarah dan bertujuan untuk melindungi diri dari serangan lawan. Dalam melakukan langkah Sipitu Pitu ini gerakan kaki tidak boleh dilakukan berulang-ulang.

Kaki ditekuk ke depan dan ke belakang sambil menggerakkan bagian tubuh dan melangkah perlahan sebanyak 7 kali. Langkah Sipitu Pitu terkait dengan aturan dalam melangkah dan memperlakukan tanah Karo. Sehingga, masyarakatnya dihimbau untuk mempelajari dan menghadapi alam dengan bijaksana.

Jurus Tare Tare Bintang merupakan gerakan untuk menangkis serangan lawan sembari menyerang tubuh bagian atas lawan secara tiba-tiba. Dalam melakukan jurus ini, tubuh tegak berdiri dan kaki kiri ditekuk ke depan sambil menggerakan bagian tubuh lainnya. Jurus Tare Tare Bintang disebut hanya boleh digunakan ketika berada dalam situasi genting.

Secara filosofis, gerakan ini dianalogikan seperti bintang yang hanya muncul ketika malam hari dan setiap kemunculannya menghasilkan cahaya terang. Di dalam jurus ini juga diajarkan untuk membaca momen yang tepat untuk menyerang balik tubuh lawan bagian atas.

Jurus Golek Harimau merupakan gerakan menyerang bagi pandikkar yang dapat bergerak ke segala arah seperti gerakan bertahan yang dilakukan oleh hewan harimau. Jurus ini digunakan untuk menyerang musuh meskipun dalam kondisi terjatuh atau pada posisi di bawah.

Makna yang terkandung dalam jurus ini adalah melawan ketika sudah terdesak dan ketika menyerang harus tepat sasaran karena seorang pandikkar tidak boleh melukai sebelum dilukai oleh lawannya. Jurus ini diibaratkan seperti gerakan harimau yang tetap bergerak fleksibel dan akurat sebagai bentuk pertahanan diri.

Jurus Langkah Meteruk yaitu langkah bawah ketika posisi badan berjongkok dengan kaki terbuka lebar sambil menggerakkan anggota tubuh bagian bawah. Tujuan jurus ini adalah untuk menyerang tubuh bagian bawah lawan sembari menjaga bagian atas tubuh bila diserang balik.

Makna yang terkandung dalam jurus ini adalah kerendahan hati yang harus dimiliki masyarakat Karo dan kemurahan dalam membagi ilmunya. Dalam Langkah Meteruk,  seorang pandikkar harus selalu bergerak dari bawah agar lebih cermat melihat kelemahaan lawan.

Jurus Kepit Kepit Belo merupakan gerakan yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan dengan mencegahserangan musuh menggunakangesekan kedua telapak tangan dan langsung menyerang lawan secara terus menerus. Gerakan Kepit Kepit Belo ini dilakukan dengan cara memosisikan telapak tangan secara vertikal dan menggeseknya untuk menjatuhkan lawan.

Gerakan ini bermakna bahwa setiap tindakanharus tersusun dan terarah serta harus mengukur terlebih dahulu keadaan lawan untuk mengambil gerakan menyerang balik. Gerakan ini dipelajari orang Karo dari susunan daun sirih (kepit kepit belo) yang tersusun dari daun terkecil hingga yang paling besar. Daun Sirih harus tersusun sesuai ukurannya agar tidak merusak susunan yang ada sebagai tanda bahwa kita perlu menakar segala sesuatu dengan teliti.

Jurus Pancur Pancur merupakan gerakan pandikkar mengandalkan kekuatan tangan untuk bertahan dan menyerang. Tujuan jurus Pancur Pancur adalah untuk menyerang tubuh bagian atas lawan tanpa henti. Dalam melakukan jurus ini tangan kanan dan kiri diayunkan ke atas dan ke bawah sambil menggerakkan bagian tubuh yang lain untuk menyerang. Masyarakat Karo terinspirasi dari sifat air yang mengalir dari atas ke bawah dan menghantam tanah secara terus menerus.

Jurus Ngeria adalah ketika pandikkar menggunakan kekuatan kaki dan tangannya untuk mengincar bagian terlemah dari musuh. Gerakan dalam jurus ini yaitu kaki sedikit ditekuk dan jari-jari tangan dibuka sambil digerakkan secara bersamaan dengan bagian tubuh yang lain.

Gerakan ini diambil dari tradisi menyadap enau yang dilakukan dengan caramemukul buah enau secara terus-menerus hingga mengeluarkan air. Makna yang terkandung dalam jurus ini adalah sifat sabar dan ulet yang harus dimiliki orang Karo agar mendapatkan hasil yang baik.

Jurus Sarudung Nilahken Saritantang merupakan gerakan yang menggunakan kekuatan tubuh secara konstan dan cepat. Di dalam jurus ini, pandikkar kerap melompat untuk menghindari serangan lawan sambil menyisipkan gerakan yang cepat. Jurus ini mencerimkan kehidupan masyarakat Karo yang dinamis dan waspada dalam pergaulan.

Jurus Bulang-Bulang bertujuan untuk menghindar dari serangan musuh yang menggunakan senjata. Oleh karena itu, dalam jurus ini digunakankain Bulang-bulang sebagai upaya pencegahan serangan bersenjata. Ciri darijurus Bulang-Bulang adalah menggunakan apa saja yang melekat di dalam tubuhuntuk melindungi diri dari bahaya, sekalipun hanya sehelai kain penghias kepala. Melalui jurus ini, masyarakat Karo menekankan bahwa segala sesuatu dapat memiliki nilai guna, benda sekecil apapun akan bermanfaat.

Jurus Ngerongka bertujuan untuk menangkis serangan lawan dengan cepat. Ngerongka dapat diartikan sebagai pembentukpagar. Pada praktiknya, jurus ini berfungsi sebagai perlindungan diri. Dalam kehidupan masyarakat Karo, membentengi diri dengan perilaku yang baik ditanamkan sebagai salah satu budi pekerti luhur.

Penyunting: Nadya Gadzali