Etnis.id - Penikmat musik Indonesia tentunya tidak memungkiri bahwa dangdut koplo dipandang sebagai musik populer yang begitu kokoh eksistensinya di kalangan akar rumput, tak terkecuali kalangan menengah ke atas.
Bahkan dipilihnya Via Vallen untuk membawa jingle Asian Games tahun lalu, menjadi representasi penyanyi yang muncul dari lingkungan masyarakat dangdut koplo.
Fenomena dangdut koplo secara teks maupun konteks memang sangat menarik untuk diperbincangkan. Salah satu yang cukup menarik ialah fenomena senggakan. Senggakan pada awalnya memang salah satu terminologi yang biasa digunakan dalam karawitan khususnya karawitan Jawa.
Senggakan menunjuk pada suatu kata yang dibawakan oleh vokalis dalam dunia karawitan, baik gerong maupun sindhen, bahkan juga oleh pengrawit atau penabuh gamelan.
Senggakan adalah kata-kata yang biasanya dilontarkan secara spontan di sela-sela memainkan gending. Juga bisa berupa teriakan-teriakan untuk menambah suasana meriah dalam sebuah gending.
Senggakan biasanya mengikuti pola-pola tabuhan atau aksen-aksen dari permainan kendang. Di sinilah pembeda dangdut dan dangdut koplo: Ada pada permainan kendang yang membentuk ruang senggakan.
Senggakan dalam mengisi repertoar demi repertoar lagu terbukti membedakan tempo musik. Patahan-patahan musik memberikan efek yang lebih enerjik dan lebih parsitipatif. Terminologi senggakan ini kemudian diadopsi di dalam perkembangan musik dangdut khususnya dangdut koplo.
Bahkan beberapa senggakan yang biasa digunakan di karawitan juga ikut “diimpor” masuk menjadi bagian dari musikalitas dangdut koplo. Contoh misalnya senggakan “buka sithik Joss” dan “hak ‘e hak’e hak’e hak’e” yang biasanya sering ditemukan dalam karawitan gaya Banyumas-an atau pertunjukan calung Banyumas-an.
“Buka sithik joss” misalnya, kemudian booming dalam lagu “Buka Dikit Joss” yang dipopulerkan oleh Juwita Bahar, Trio Macan, dan beberapa penyanyi dangdut lainnya. Kemudian sempat merajai hiburan sahur di teve swasta melalui segmen “goyang caesar”.
“Buka Sithik Joss!”
Sebelum menjadi lagu, senggakan “buka sithik joss” memang telah menjamur di antara penikmat dangdut koplo. “Buka sithik joss” juga bermula dari fenomena dangdut koplo yang dikenal sering mempertunjukan biduan-biduan dengan kostum yang seksi dan sensual.
Oleh karena itu, “buka sithik joss” secara tidak langsung menjadi sarana penonton dalam menggoda biduan di atas panggung dan berharap si biduan dapat “membuka” sedikit bagian-bagian sensualnya, agar mendapatkan kepuasan visual dari atas panggung.
“Buka sithik joss” menjadi bagaian dari perkembangan musikal dangdut koplo yang muncul melalui sebuah pengharapan erotisme.
“Hak’e Hak’e Hak’e Hak’e”
Senggakan yang kemudian muncul dan begitu booming ialah berbentuk kata “hak’e” yang diulang mengikuti bagian aransemen dari lagu dangdut koplo. Selama beberapa waktu, senggakan tersebut menjadi “template” dan dapat dimainkan dalam berbagai lagu.
Orkes dangdut koplo seperti Sera, New Pallapa, Lagista, dan sebagainya mempercepat penyebaran senggakan tersebut melalui jaringan fans club, media sosial (terutama video youtube), dan berbagai acara konser yang mereka lakukan.
Ada yang menarik pada saat penonton meneriakan senggakan. Mereka meneriakan “hak’e” sembari menggerakan maju mundur kedua tangannya secara bersama-sama, hingga terlihat kekompakan dengan menggerakan tangan saja.
Senggakan yang berdurasi delapan ketuk tersebut memperlihatkan bagaimana musik dangdut koplo begitu berpengaruh dan berkembang, dengan semakin menyatu dengan penikmatnya melalui fenomena senggakan.
Pada kasus tersebut, senggakan menjadi media interaksi musikal yang dilakukan secara masif, sistematis, dan terstruktur di antara pemain, biduan, maupun penonton.
“Cendol Dawet”
Tren senggakan berikutnya sering disebut dengan “Cendol Dawet” yang dipopulerkan seorang musisi dangdut koplo yang sering dipanggil Abah Lala, yang menjadi personel orkes dangdut dari Boyolali bernama 86.
Orkes 86 memang memiliki ciri khas yang cukup segar karena memadukan dangdut koplo dengan iringan musik tarian rakyat bernama “gedruk”.
Senggakan “cendol dawet” menjadi “mbledos” atau booming melalui salah satu lagu berjudul “Pamer Bojo” yang diciptakan dan dipopulerkan oleh maestro campursari Didi Kempot.
Abah Lala beserta rekan-rekannya mengeksplorasi lagu tersebut dengan senggakan “cendol dawet”. Senggakan tersebut biasanya dilakukan pada bagian interlude lagu “Pamer Bojo”.
Yang menarik adalah bagaimana “cendol dawet” mempertontonkan interaksi musikal di antara penonton dan pemusik. Tidak tanggung-tanggung, durasi senggakan dilakukan dalam tiga bar interlude dalam lagu Pamer Bojo yang terdiri dari 24 ketuk. Senggakan tersebut seperti ajang tanya jawab antara penyanyi (Abah Lala) dengan para penonton.
Berikut adalah bagaimana senggakan “cendol dawet” dimainkan di tengah-tengah lagu Pamer Bojo yang penulis analogikan seperti sebuah dialog.
Abah Lala: “….pamer bojo anyar cendol dawet..”
Abah Lala dan penonton: “….cendol dawet cendol dawet seger..”
Abah Lala: “….cendol cendol..”
Penonton: “….dawet dawet…”
Abah Lala: “….piro????”
Penonton: “….limaratusan..”
Abah Lala: “….terus???”
Penonton: “….gak pakek ketan..”
Abah Lala dan penonton: “….ji ro lu pat limo enem pitu wolu..”
Abah Lala dan penonton: “… tak kintang kintang.. tak kintang kintang… tak kintang kintang … leu’ leu’ leu’ leu’ joss!!”
Senggakan yang mulanya hanya ujaran-ujaran kata pendek yang bahkan ada yang tidak bermakna, kini menjadi kalimat tanya jawab panjang yang membahas hal-hal kecil sekitar masyarakat.
Kalimat senggakan di atas paling tidak memunculkan tiga hal yang satu sama lain tidak terlalu berhubungan. Pertama ada unsur pembahasan kuliner tradisional cendol dan dawet; kedua terdapat hitungan satu sampai delapan dalam bahasa Jawa; terakhir terdapat kata “tak kintang kintang”, yang biasa dilakukan dalam konteks ibu atau orangtua yang sedang mengasuh anak, terutama dalam konteks masyarakat Jawa.
Senggakan “Cendol Dawet” hingga kini menjadi membekas di antara penikmat dan pendengar musik terutama dangdut. Kata-kata dalam senggakan pun mengungkapkan keadaan dan kejadian sehari-hari yang sebenarnya biasa saja.
Setelah diangkat ke dalam bentuk senggakan, kata-kata tersebut dilegitimasi oleh masyarakat sebagai sebuah fenomena musikal yang menghibur dan menyenangkan.
Senggakan dan Keberlangsungan Dangdut Koplo
Dangdut pada awal kemunculannya merupakan produk seni yang dikonstruksi oleh pelbagai pengaruh musik dari berbagai budaya. Seperti bertemunya musik melayu dengan India, Arab, dan Amerika.
Setelah hampir satu abad berkembang, dangdut pun mengikuti dinamika kultural yang berimbas terhadap perkembangan teks dari dangdut itu sendiri. Kini, dangdut menjadi dangdut koplo pun merupakan representasi dari perkembangan musik dangdut itu sendiri.
Secara mikroskopis dangdut koplo mengalami perubahan musikalitas yang cukup signifikan. Dangdut koplo berkembang mulai dari pengadopsian berbagai genre musik populer, hingga masuknya sejumlah pengaruh musik tradisional di dalamnya.
Senggakan menjadi salah satu fenomena terkini dari dangdut koplo yang mampu menjadi bagian dari tren baru berbasis kearifan lokal. Bagaimana tidak, senggakan yang sebelumnya lekat dengan musik tradisional (yang peminatnya cenderung berkurang), kembali hadir di tengah-tengah masyarakat dengan konsep yang disesuaikan selera penikmat dangdut di masa kini.
Di satu sisi, dangdut koplo berhasil mengamplifikasi kembali senggakan untuk diterima kembali oleh masyarakat. Sisi lainnya, senggakan juga membantu eksistensi dari dangdut agar selalu segar dan menjadikan dangdut koplo seakan tidak pernah habis dalam merajai popularitas musik tanah air.
Editor: Almaliki