Etnis.id - Masyarakat suku Mandar yang banyak bermukim di Sulawesi Barat dikenal sebagai pelaut yang ulung, sama seperti suku Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan.

Boleh dikata, kedekatan wilayah menyebabkan tiga suku ini memiliki kemiripan kepercayaan, pengetahuan dan tradisi tentang bahari.

Sama seperti nelayan suku Makassar, kelompok nelayan suku Mandar dipimpin oleh seorang punggawa (pemilik kapal/nahkoda), yang memiliki sejumlah sawi (nelayan pekerja).

Selain itu, kemiripan keduanya dapat pula dilihat dari ritual memohon keselamatan untuk perahu yang baru pertama kali dipakai melaut.

Di suku Makassar, ritual ini dinamakan accaru-caru atau accera turungang. Sedangkan di suku Mandar, ritual ini disebut makkuliwa lopi.

Walau dua ritual itu memiliki kemiripan, tapi tidak dapat disebut sama persis.
Makkuliwa dalam bahasa Mandar berasal dari kata kuliwa, yang dapat diartikan sebagai syukuran atau selamatan. Sedangkan lopi berarti perahu. Maka, makkuliwa lopi berarti syukuran atau selamatan perahu.

Masyarakat suku Mandar memiliki jenis perahu yang khas, namanya sandeq. Sandeq punya cadik di dua sisinya. Selain itu, sandeq juga digerakkan dengan bantuan angin, sebab perahu ini masih menggunakan layar. Dahulu, sandeq dipakai untuk menangkap ikan, namun sekarang sandeq lebih sering dilihat untuk adu kecepatan dalam lomba sandeq race.

Kini, nelayan Mandar telah beralih ke perahu dengan tenaga mesin, yakni kappal dan bodi-bodi. Walau begitu, semua jenis perahu itu masih tetap dimohonkan keselamatan dengan ritual makkuliwa lopi.

Ridwam Alimuddin, dalam bukunya yang berjudul Orang Mandar Orang Laut (2013), menjelaskan bahwa ritual kuliwa merupakan bagian dari persiapan nelayan Mandar sebelum melaut.

Ritual ini dilakukan agar keselamatan dan rezeki diberikan oleh tuhan kepada nelayan yang akan melaut dalam waktu yang lama. Kata Ridwan, upacara kuliwa menyatukan unsur rumah, perahu, laut dan posasiq (nelayan) di hadapan sang pencipta.

Sebelum ritual kuliwa dilaksanakan, istri punggawa terlebih dahulu mesti menyiapkan sokkol (nasi ketan), ule-ule buwe (bubur kacang hijau), indo alewu (dupa dari akar), loka raya (pisang raja), loka manurung (pisang kepok), loka barangan (pisang susu), loka tiraq (pisang ambon), telur ayam rebus, kue cucur dan pecaq-pecaq lopi (bubur nasi dicampur santan dan gula merah).

Yang terakhir disebut adalah makanan yang wajib ada dalam ritual kuliwa.
Semua makanan itu disiapkan dalam jumlah dan letak tertentu.

Seperti yang dijelasi Ridwan, sokkol ditaruh di tujuh piring yang tersusun di sebuah baki besar. Masing-masing sebutir telur rebus akan diletakkan di atas lima piring sokkol.
Selain itu, disiapkan juga satu baki khusus untuk loka yang di atasnya ada 14 kue cucur dan sokkol yang dibungkus daun pisang.

Ada lagi satu baki kecil untuk loka tiraq yang di atasnya ditaruh sepiring sokkol. Dan masing-masing satu baki untuk air putih, lauk pauk dan ule-ule buwe.

Saat semua makanan sudah siap, barulah ritual makkuliwa dimulai. Isna Arliana Goncing menjelaskan proses ritual ini dalam skripsinya berjudul Tradisi Makkuliwa Lopi dalam Masyarakat Mandar Majene Tinjauan Filosofis (2017).

Berdasarkan hasil penelitian lapangan di Labuang, Banggae Timur, Kabupaten Majene, Isna menerangkan, ritual makkuliwa lopi dilakukan di atas perahu, di tepi pantai.

Semua makanan yang telah disiapkan tadi diletakkan di atas perahu.
Selanjutnya, panrita (imam/tokoh agama), punggawa, sawi dan tukang pembuat perahu akan berkumpul di sekitar lopi.

Setelah itu, panrita akan naik ke atas perahu dan membacakan kitab barzanji, yang berisi doa kepada Allah SWT dan puja puji untuk nabi Muhammad SAW.

Begitu juga dengan punggawa, para sawi dan semua yang hadir di ritual ini akan melantunkan doa dan salawat nabi. Sambil membaca kitab barzanji, indo alewu atau akar-akar dari pohon tertentu, dibakar. Asapnya menemani panrita dan semua hadirin.

Isna menyampaikan, suasana prosesi ini begitu tenang dan sakral, sebab orang-orang yang hadir di sekitar perahu yang di-kuliwa, duduk tenang dan tak berisik. Setelahnya, makanan akan dibagi-bagi kepada panrita, sawi dan tukang pembuat perahu.

Selain itu, Isna mengatakan bahwa masyarakat yang hadir juga mendapat bagian dan menyantap makanan itu secara bersama-sama. Ritual ini pun berakhir saat orang-orang selesai bersantap.

Isna menyebut pembacaan kitab barzanji dan doa-doa sebagai permohonan keselamatan dan rezeki kepada Allah SWT. Sebab masyarakat Mandar percaya, apabila ritual kuliwa tidak dilaksanakan, maka suatu saat lopi akan mengalami musibah. Misalnya, palatto (katir di sisi perahu) akan patah atau sobal (layar) akan robek untuk perahu sandeq.

Isna juga mengatakan bahwa nelayan Mandar mendapat ketenangan setelah melakukan ritual makkuliwa lopi. Sebab mereka berkaca pada leluhur yang telah melaksanakan kuliwa. Mereka senantiasa dijaukan dari bahaya dan diberi rezeki berlimpah. Selain itu, ritual ini disebut sarat akan nilai-nilai kebersamaan. Hal itu dapat dilihat dalam prosesi makan bersama setelah pembacaan barzanji.

Editor: Almaliki