Etnis.id - Saat berwisata ke Bali, dari bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Anda akan disambut bunyi rindik dari pelantang yang dipajang persis di depan pintu kedatangan tamu domestik.

Rindik adalah instrumen musik tradisional dari bilah sekaligus bambunya. Resonansi bunyi rindik memiliki laras slendro lima nada (ndong, ndeng, ndung, ndang, nding). Dalam barungannya, rindik terdiri dari tiga orang pemusik (penabuh), dengan formasi dua orang memainkan tungguhan rindik polos dan sangsih, dan satu orang lagi memainkan instrumen suling.

Secara teknis, tungguhan rindik dimainkan dengan dua tangan (kiri dan kanan) yang masing-masing tangan memiliki pola permainan yang berbeda. Tangan kanan memainkan pola jalainan (kotekan), sedangkan tangan kiri memainkan pola melodi pokok (bantang gending).

Secara umum, gending-gending rindik tergolong sederhana jika dilihat dari bentuk, struktur, capaian teknik permainan dan sistem kerja instrumentasinya. Gending-gendingnya juga sangat ringan di telinga (easy listening), dengan bagian komposisi yang diulang-ulang, lalu berpindah mengikuti mood pemusiknya (pengrawit).

Kesederhaan itu menjadikan rindik sebagai salah satu instrumen yang berperan penting dalam membangun citra Bali di mata dunia. Gending-gending rindik sengaja diputar (musik dinding) di pelbagai tempat wisata maupun usaha yang mengusung konsep Bali. Ia seolah mewakili keramahan masyarakat Bali dan membuka ruang pergaulan lintas budaya.

Bermain rindik/Etnis/ I Komang Kusuma Adi

Sejarah rindik

Jika dilihat dari sejarahnya, rindik masuk ke dalam klasifikasi gamelan golongan madya yang muncul pada masa pemerintahan Belanda atau awal perjuangan kemerdekaan Indonesia (1846-1945). Rindik diyakini hasil transformasi instrumen bambu Galunggang Petung atau Tingklik, yang lebih dulu ada dalam catatan prasasti Sukawana A I, 882 Masehi.

Dalam kehidupannya, rindik eksis di luar pagar puri dan pura. Itu artinya, rindik sangat lekat dengan pola laku kehidupan masyarakat akar rumput. Seperti pada yang suka menghangatkan badan dengan sinar matahari pagi (medendeng ai), mereka seringkali memainkan gending-gending rindik dan mencoba berdialog dengan alam. Makanya, ada gending yang berjudul “galang kangin (mentari yang terbit dari timur)".

Bagi para petani yang sedang mengawasi tanaman padinya pada siang hari, seringkali mereka bermain rindik untuk mengusir hama burung, sekaligus memberi kode kepada petani yang lain untuk berkumpul dan bersenda gurau sambil menikmati segelas tuak. Karenanya, ada gending yang berjudul "uyak paksi (dikerumbuni burung)".

Bagi masyarakat yang suka hiburan, pada malam hari, rindik dikolaborasikan dengan tarian Joged (pada gilirannya disebut Joged Bumbung) yang mengajak menari, sekaligus membuka ruang pergaulan antara pemuda dan pemudi desa.

Olehnya, dulu banyak dijumpai pemuda-pemudi yang akhirnya menjalin cinta pada momen di atas dan catatan pernikahan banyak menunjukan, pasangan yang menikah sama-sama berasal dari satu desa. Rindik dengan demikian tak semata merupakan sebuah instrumen musik tradisi, melainkan merupakan alat komunikasi budaya.

Fungsi dan tantangan zaman untuk rindik

Rindik dalam bingkai pariwisata, membuka ruang-ruang dialog serta gambaran tentang pola laku masyarakat. Mendengar gending-gending rindik, seseorang (wisatawan) telah berkontemplasi tentang aktivitas budaya yang akan dijumpai di pelbagai objek wisata. Sekurang-kurangnya, inilah yang menjadi dasar pemikiran tentang mengapa rindik ditampilkan dan musiknya diputar dalam bermacam acara dan tempat di Bali.

Lalu kini, apakah Rindik masih relevan dalam pergaulan? Pantaskah rindik hanya menjadi pajangan dan musik-musiknya hanya diperdengarkan lewat pelantang tanpa diketahui siapa pengrawit dan bagaimana cara memainkannya? Sungguh naif jika beralasan bahwa rindik terkesan kuno untuk dipelajari, dibandingkan dengan keyboard--yang terkesan lebih modern.

Atawa apakah ini hitungan matematis realistis, bahwa lebih murah, jika memutar tembang rindik dalam bentuk audio ketimbang menampilkan keselurahan pengrawitnya secara langsung?

Tak bisa dimungkiri, jika saat ini generasi-generasi muda yang bisa bermain rindik sangat kurang. Kebanyakan, dalam acara-acara bazar yang sering digelar menjelang ulang tahun kelompok persatuan pemuda-pemudi desa (sekaa teruna-teruni), di dalamnya, cenderung lebih banyak terputar suara musik-musik elektronik pada umumnya.

Pemegang kepentingan seperti pejabat dan tokoh adat tidak lantas mengabaikan hal itu. Kritik dan saran sudah pernah disampaikan, mengingat pergeseran pola laku budaya menyebabkan masyarakat dan juga pemuda-pemudi desa tak lagi berdialog dalam resonansi tradisi yang intim. Namun, efek kritiknya tidak berdampak besar. Malah, panggung kerakyatan seperti Balai Banjar kini tak lagi menampilkan hiburan dengan gerak tubuh yang berdialog sesuai dengan pakem budaya pergaulan setempat.

Sierra dan Sella bermain rindik/Etnis/I Komang Kusuma Adi

Saat musik tradisional itu mulai terlupakan di tanah lahirnya yakni di Bali. Ironisnya, muncul dua pemudi bernama Siera dan Sella. Mereka yang sejak lama menggemari musik-musik gamelan Bali, kemudian getol mempelajari komposisi rindik dari seorang seniman asli Bali yang bermukim di wilayah Kota Surakarta.

Siera berasal dari Maluku, Sella dari Sragen. Keduanya bertemu dalam sebuah misi studi setingkat SMK di Kota Surakarta. Awalnya, Siera dan Sella kesulitan dalam menyeimbangkan kedua tangannya untuk mampu memainkan melodi dan kotekan dalam satu waktu. Sempat pula dirinya bertanya-tanya, apakah rindik diciptakan hanya untuk orang Bali? Apakah hanya orang Bali yang mampu memainkannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu lalu membuka dialog kritis terkait pengetahuan yang menjadi dasar teknik, pola permainan melodi dan sistem kerja instrumentasi rindik. Secara bertahap, mereka mempelajari cara permainan rindik dengan disiplin. Dalam waktu kurang dari dua minggu, keduanya mampu memainkan gending-gending dengan beragam pola permainan melodi, tempo, ritme dan unsur-unsur musikal yang tertuang di dalamnya.

Kedua pemudi itu memegang prinsip, "semua manusia yang  diciptaan Tuhan adalah sama", "apapun yang diciptakan Tuhan di muka bumi ini, manusia berhak untuk menguasainya tanpa pengecualian atau diskriminasi". Darinya, mereka yakin bahwa musik adalah alat komunikasi sekaligus edukasi.

Dengan menguasai teknik pemainan dan komposisi rindik, diyakininya pula bahwa seseorang telah mempunyai vokabuler bahasa yang dapat dipergunakan untuk berkomunikasi dengan pemilik kebudayaan di luar dirinya.

Juga secara tidak langsung, ia mampu mengedukasi banyak pihak soal sesuatu yang tidak tampak atau abstrak, namun dibutuhkan. Sebab musik sendiri merupakan abstraksi dari segala hal yang pernah dilihat, didengar, dipikirkan, diucapkan dan dilakukan oleh sesiapa.

Akhirnya, dari prinsip Sieera dan Sella itu, mereka mampu naik ke salah satu panggung festival seni di Surakarta yang belum lama diadakan. Keduanya menampilkan beberapa gending rindik yang membuat sebagian masyarakat merasa beruntung dapat melihat rindik secara langsung--yang selama ini hanya terdengar sebagai musik dinding tempat wisata.

Hasilnya? Ada yang menari-nari mendengarnya, ada yang berbaur dengan sesama dan ada pula yang sesekali bertanya tentang cara memainkannya. Aktivitas itu membuktikan, bahwa rindik sebagai musik tradisi, masih relevan dalam pergaulan. Lebih dari itu, Sieera dan Sella telah membuka ruang pergaulan budaya yang penuh kesederhanaan.

Editor: Almaliki