Etnis.id - The United Nations Educational (UNESCO) pada tanggal 13 September 2007 telah mendeklarasikan masyarakat adat sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan (Nation, 2017). Adat Kajang salah satunya, harus dilestarikan.
Masyarakat adat Kajang berada di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, sekisar 230 Km dari Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara teritori, masyarakat adat Kajang terbagi ke dalam dua kelompok, yakni masyarakat Kajang Dalam dan masyarakat Kajang Luar.
Pusat kegiatan komunitas masyarakat adat Ammatoa berada di wilayah Kajang Dalam. Mereka semua masih menganut paham tallasa kamasemase seperti yang diajarkan dalam pasang (pesan) ri Kajang secara utuh turun temurun. Berbeda dengan masyarakat di Kajang Luar, yang sudah hidup berbaur dengan modernitas.
Masyarakat adat Kajang Dalam atau Masyarakat Adat Ammatoa, hidup dalam kearifan budaya dan kesederhanaan yang khas jauh dari kesan modernitas. Dalam kesehariaannya, mereka menggunakan pakaian serba hitam: Celana atau sarung, baju, penutup kepala--semuanya berwarna hitam (Haviland, 1999).
Masyarakat adat adalah masyarakat pribumi. Secara praktis dan untuk kepentingan memahami dan memaknai deklarasi ini di lapangan, maka kata "masyarakat adat" dan "masyarakat atau penduduk pribumi" digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama.
Pandangan yang sama dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan populasi atau orang-orang asli dari Departemen Urusan Sosial Ekonomi PBB dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989).
Pengertian lain dijelaskan bahwa masyarakat adat adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosiokultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.
Masyarakat adat Kajang sebagai komunitas adat Ammatoa, masih kental akan adat istiadat yang mengikat seperti masih melakukan pelbagai ragam upacara atau ritual dalam kepercayaan mereka.
Secara umum, ritualnya dipahami sebagai ekspresi keagamaan dalam wujud perilaku yang dijadikan sebagai media atau sarana untuk menghubungkan antara manusia dengan hal-hal yang gaib, serta untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting.
Sebagai contoh, ritual pasca upacara pemakaman yang bertujuan untuk mengenang jasa keluarga yang telah meninggal dunia. Hal itu dilaksanakan secara berkala dengan jenjang 7 hari pasca kematian, 14 hari, 20 hari, 40 hari dan 100 hari sebagai hari puncak ritual yang dirangkaikan dengan pemotongan seekor kerbau serta ritus lainnya.
Setiap pelaksanaan upacara pemakaman, selalu dirangkaikan dengan permainan alat musik tradisional basing, sebagai salah satu item dalam ritual pasca upacara pemakaman. Basing atau bulo mirip seperti seruling, dimainkan pada upacara ritual hari keseratus pasca pemakaman orang Kajang.
Saat itu, basing akan dimainkan semalam suntuk oleh dua orang sebagai peniup dan dua penyanyi. Para personel akan terus memainkan basing sampai larut malam mengiringi penyanyi (Pabassing) yang menyanyikan lagu daerah yang sangat mendalam bagi keluarga duka dengan bahasa Konjo (Akib, 2003).
Pemain musik basing pada umumnya berusia renta dan minim yang tahu, jarang pula pemuda yang bisa memainkannya. Banyak masyarakat yang sudah belajar memainkan alat musik basing, tetapi mereka tidak berhasil mempelajarinya. Makanya regenerasi pemain basing sangat sulit ditemui.
Basing sendiri bermula jauh sebelum adanya Ammatoa (Pemimpin adat) di Kajang. Konon, ada anak yang berdosa pada Ibunya, setelah meninggal dunia lalu dimakamkan, dalam kuburannya terdapat suara sendu yang mirip rintihan. Saat itulah, basing dimainkan.
Menurut kepercayaan masyarakat adat Kajang, a'basing dilakukan untuk mengingat kembali kenangan bersama almarhum dan mengenang jasa-jasanya, serta mengingatkan kepada keluarga yang berduka dan masyarakat adat yang masih
hidup pada umumnya. Pesannya dalam lagunya umumnya kita juga akan meninggal seperti yang dialami almarhum.
Selain lirik yang bermakna mendalam, alunan musiknya sangat melankolis sehingga dapat berpengaruh pada psikologi orang yang mendengarnya. Seolah-olah, musiknya mengajak kita untuk bersedih sebagai bentuk turut berduka cita.
Secara konsepsi, musik memiliki pengaruh terhadap psikologi seseorang yang mendengarnya. Pengaruhnya antara lain:
1. Pengaruh Musik Secara Khusus Terhadap Emosi.
Hevner (1937) berkesimpulan bahwa dari semua elemen musik, ternyata tempo merupakan elemen yang paling berpengaruh. Anak-anak berusia empat hingga enam tahun telah mampu membedakan musik mengekspresikan beberapa emosi dasar.
Kamenetsky, Hill dan Trehub (1997) mempelajari pengaruh tempo dan volume pada persepsi emosi. Mereka menemukan bahwa variasi volume akan menghasilkan rating yang lebih tinggi dalam ekspresi emosional dan kesukaan pendengar, tapi variasi dalam tempo tidak memiliki efek seperti itu (Cunningham, J. G & Sterling, R. S, 1988).
Krumhansl (1997) melihat bahwa musik sedih terkait dengan tempo yang lambat, harmoni minor dan cukup konstan pada pitch dan volume. Sedangkan untuk musik yang memiliki emosi bahagia, berkait dengan tempo yang relatif cepat, harmoni mayor dan cukup konstan pada pitch dan volume.
Penelitian serupa dilakukan oleh Webster dan Weir (2005) yang menemukan bahwa respons emosi bahagia berhubungan dengan lagu yang memiliki kunci mayor, melodi yang non harmonis dan tempo yang cepat.
Sedangkan respon terkait emosi sedih memiliki hubungan dengan lagu berkunci minor, melodi harmonis dan tempo yang lambat. Penelitian yang dilakukan oleh Livingstone, Mühlberger, Brown dan Loch (2007) menunjukkan beberapa elemen musik yang memiliki pengaruh terhadap munculnya emosi.
Elemen yang paling berpengaruh adalah tempo, diikuti dengan mode, volume, artikulasi dan pitch. Sedangkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Huang, Hu, Lin, dan Lin (2008) dengan memakai dua elemen musik, memperlihatkan bahwa tempo dan volume memiliki pengaruh dalam memunculkan emosi.
Namun menurut mereka, volume lebih berpengaruh daripada tempo. Volume musik mampu mempengaruhi emosi pendengar yang akan lebih senang jika musik bahagia diperdengarkan dengan volume keras.
Untuk musik sedih, pendengar akan berlebih sedih jika musik diputar dengan volume yang lemah (Huang, dkk., 2008;Kamenetsky, Hill, dan Trehub, 1997). Dengan demikian untuk memunculkan emosi bahagia atau sedih dari musik diperlukan volume tertentu yang berbeda satu sama lain.
2. Mekanisme Musik Membangkitkan Emosi.
Juslin dan Västfjäll (2008) dalam penelitiannya mencoba menguraikan mekanisme psikologis yang membuat musik dapat menyebabkan munculnya emosi. Kedua peneliti tersebut beranggapan bahwa banyak peneliti telah mempelajari emosi dan musik tanpa memperhatikan bagaimana mekanisme musik itu sendiri dapat membangkitkan emosi pendengarnya.
Penelitian oleh Juslin dan Västfjäll (2008) ini mengambil beragam teori dan penemuan terkait musik dan emosi. Dalam penelitian tersebut, mereka menjelaskan adanya enam mekanisme di mana musik dapat mempengaruhi emosi.
Keenam mekanisme tersebut yakni:
a. Refleks Batang Otak
Hal itu mengacu pada proses satu atau lebih karakteristik musik yang menyebabkan emosi. Karakteristik musik dasar diterima oleh batang otak sebagai sinyal yang penting dan mendesak.
Dari mekanisme refleks batang otak, masing-masing elemen memiliki dampak yang sama pada semua orang. Suara yang tiba-tiba, suara yang keras, disonan, atau tempo yang cepat akan mendorong emosi tidak menyenangkan pada pendengar.
b. Pengkondisian
Evaluatif Mekanisme pengkondisian evaluatif menerangkan bahwa emosi oleh musik, timbul karena sebagian atau sepotong musik telah beberapa kali dipasangkan dengan stimulus positif atau stimulus negatif.
Sebagai contoh, sepotong musik yang dipasangkan dengan kejadian pertemuan dengan teman yang membahagiakan. Di lain waktu, ketika sebagian musik diulang, maka musik tersebut akan mendatangkan kebahagiaan tanpa kehadiran dari teman.
c. Penularan Emosi
Penularan emosi mengacu pada proses, saat musik dapat menimbulkan emosi pada pendengarnya karena pendengar menerima ekspresi emosi dari musik.
d. Citra Visual
Mekanisme citra visual terjadi karena pendengar musik menciptakan bayangan visual saat mendengarkan musik, misalnya pemandangan yang indah. Citra visual didefinisikan sebagai pengalaman yang mirip dengan pengalaman perseptual. Namun citra visual terjadi tanpa kehadiran stimulus sensori yang relevan.
e. Ingatan Episodik
Mekanisme ingatan episodik menjelaskan proses saat emosi timbul pada pendengar, karena musik mendatangkan ingatan pendengar pada sebagian peristiwa dalam kehidupannya.
Penelitian menunjukkan bahwa musik sering kali membangkitkan kenangan (Gabrielsson, 2001; Juslin dkk., 2006; Sloboda, 1992). Sehingga ketika ingatan akan peristiwa itu muncul, maka emosi yang berhubungan dengan peristiwa pun ikut muncul(Baumgartner, 1992).
f. Harapan akan Musik
Mekanisme harapan akan musik menjelaskan proses ciri spesifik musik menyebabkan emosi. Ciri-ciri spesifik musik yang menyebabkan emosi, adalah musik yang melanggar, tertunda, atau sesuai dengan harapan pendengar akan kelanjutan dari musik.
Editor: Almaliki