Etnis.id - Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang menyimpan berbagai nilai keindahan. Seperti bunyi kentongan. Merujuk pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, kentongan merupakan bunyi yang berasal dari bambu atau kayu berongga.

Bentuk kentongan unik. Banyak yang mengenalnya sebagai alat musik tradisional Jawa. Bunyinya yang “tok tok” sangat identik. Kentongan itu bukan hanya alat musik. Jika dipukul, bunyi-bunyinya juga menyuratkan tanda tertentu.

Ada kode pada setiap banyaknya bunyi pukulan. Apabila saat siang atau malam terdengar bunyi kentongan, maka orang pasti akan menghitung berapa banyak jumlah pukulannya.

Leluhur kita memang sangat cerdas dalam mewariskan sebuah benda. Bagaimana tidak, mereka sudah menentukan maksud dari setiap banyaknya pukulan serta panjangnya pukulan.

Dari bunyi frekuensi, orang bisa mengetahui peristiwa apa yang sedang terjadi. Lengkap dengan strategi apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapi peristiwa tersebut.

Omong-omong soal kentongan, saya cukup lama tinggal di desa. Hampir 19 tahun. Di desa saya, kentongan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Saat masih sekolah, guru Bahasa Jawa saya sering memberikan tugas untuk menghapalkan jumlah bunyi serta makna yang tersirat dari kentongan.

Untuk mengetahui peristiwa yang sedang terjadi, tidak perlu menunggu pengumuman dari mulut ke mulut. Kentongan sudah mewakili itu semua. Seperti yang sudah saya uraiakan bahwa setiap bunyi menyuratkan pertanda.

Jika terdengar tanda bunyi ---- V ---- atau dibaca dengan doro muluk satu kali. Pertanda, keadaan aman. Bunyinya "tok" enam kali secara berulang. Jika dibunyikan dua kali, lalu jeda, lalu dibunyikan lagi dua kali, pertanda bencana alam terjadi. Simbolnya, 0 0. 0 0. 0 0 (dua dua). Sehingga diharapkan orang akan segera mempersiapkan diri.

Jika tiga kali, tandanya ada orang yang kecurian. simbolnya 0 0 0. 0 0 0. 0 0 0 dan seterusnya (tiga-tiga). Sementara jika dibunyikan tujuh kali, lalu jeda, lalu dibunyikan lagi, artinya sedang terjadi perampokan, penjambretan dan juga pembunuhan.

Tidak hanya menyuratkan pertanda terjadinya kejahatan saja. Orang Jawa sangat lengkap dalam memperhatikan peristiwa dalam kehidupan. Bahwasanya manusia hidup berdampingan dengan alam. Tidak bisa dimungkiri kadang terjadi yang namanya bencana alam.

Saat terjadi bencana, masyarakat Jawa sudah siap siaga untuk menginformasikan melalui bunyi kentongan. Saat terdengar bunyi 0000000000 (gobyok/titir) dengan cepat tanpa jeda, memberikan pertanda bahwasannya saat itu sedang terjadi bencana alam. Seperti banjir, angin topan, kebakaran, tanah longsor hingga kedatangan hewan buas.

Tidak berhenti sampai di situ saja. Setiap yang hidup pasti akan mati. Untuk mengabarkan kepastian tersebut, orang Jawa akan membunyikan kentongan dengan cara enam kali lalu jeda lalu dipukul lagi enam kali (doro muluk dua kali).

Maka tidak mengherankan kalau sewaktu saya kecil dahulu saat terdengar bunyi kentongan, maka ibu saya menyuruh saya diam dan memperhatikan frekuensi bunyinya.

Bahkan sampai saya dewasa, belum pernah saya melihat peristiwa salah membunyikan kentongan. Maksudnya, salah dalam mengabarkan tanda yang sedang terjadi.

Hanya dengan alat sederhana, semua orang bisa mendapatkan berita dengan valid dan pada waktu yang sama juga, masyarakat langsung berkumpul ke tempat terjadinya peristiwa tersebut.

Kontras sekali dengan keadaan saat ini. Teknologi semakin canggih, namun ternyata masih belum bisa mengabarkan sesuatu dengan aktual seperti kentongan. Malah, teknologi sekarang lebih banyak menghasilkan informasi palsu atau keliru alias hoaks.

Saat ini di desa saya, sudah sangat jarang sekali terdengar bunyi kentongan. Bahkan ibu saya yang dulu memasang kentongan di depan rumah, kini sudah tidak ada.

Warga masyarakat saat ini lebih mengandalkan grup yang ada di sosial media. Mereka berharap bisa mendapatkan informasi mengenai kejadian yang sedang terjadi.

Baiklah, memang bisa. Pertanyaanya, apakah pada waktu tersebut orang mendengar bunyi notife dari ponselnya? Seringkali ada orang yang ketinggalan mengetahui informasi karena telat membuka notifikasi.

Sangat berbeda sekali dengan delapan tahun yang lalu. Saat terdengar bunyi doro muluk dua kali yang berarti sedang ada orang meninggal dunia, maka semua orang akan segera keluar rumah untuk mencari informasi siapa yang meninggal saat itu.

Tidak butuh waktu lama. Hanya dalam hitungan menit semua sudah diketahui.  Teknologi memang memudahkan semuanya. Akan tetapi, alangkah lebih baik jika kita hidup berdampingan dengan teknologi serta tetap mengamalkan ajaran leluhur. Bukankah itu lebih memudahkan?

Editor: Almaliki