Etnis.id - Tempat yang biasanya digunakan sebagai operasional pembuatan mebel itu, disulap menjadi satu panggung pertunjukkan. Sebut saja almari, kursi, meja kantor yang masih dalam kondisi setengah jadi dengan mudah akan ditemui.

Pencahayaan yang cenderung redup atau boleh dikata temaram, semakin meneguhkan bahwa pertunjukan yang akan segara dimulai itu mengandung keintiman yang sangat dalam.

Intim dengan siapa. Tentu saja antara penonton dan yang ditonton. Yang ada di panggung dan di luar panggung. Keintiman itu seolah tak berjarak. Tidak ada penyekat antara panggung dan penonton. Jika mau, penonton dengan leluasa beranjak ke panggung.

Iya, itu adalah salah satu nuansa yang ada pada pertunjukan bertajuk Tour Balakosa Iksan Skuter yang digelar pada tanggal 25 Agustus 2019 lalu. Kota Solo merupakan salah satu dari 22 kota yang dipilih.

Sebuah tur yang tidak hanya ditujukan untuk memperkenalkan album baru solois folk dari Kota Malang itu. Melainkan juga untuk sekadar menguji seberapa militan kita selaku penikmat seni dalam menghargai produk-produk seni itu sendiri.

Bagaimana tidak teruji. Sejak kapan pertunjukan musik folk, musik rakyat, dibanderol dengan tiket seharga 100 ribu? Mengingat Bentara Budaya Bale Soedjatmoko Solo pernah menyelenggarakan event musik rutin dua bulanan dengan tajuk Balada-Balada yang sebagian besar menampilkan musisi musisi folk. Ada tiket? Tentu tidak. Wedangan gratis ada.

Tetapi apa yang dilakukan oleh Iksan Skuter ini bisa dibilang terlalu berisiko. Risiko untuk tidak ada penonton yang sudi untuk membeli tiket. Memang, jika dibedah lebih rinci harga tiket 100 ribu, tidak hanya terdiri dari tiket masuk area pertunjukan. Tetapi juga ada dagangan berupa CD Album Balakosa dan notebook.

Tapi masyarakat Solo yang biasa dimanja dengan pertunjukan serba ‘free entry’ ini, apa mau merogoh saku untuk melihat pertunjukan dari musisi folk yang cukup vokal dan cukup kritis? Atas rasa penasaran itulah, penulis secara sengaja mengadakan sedikit wawancara dengan Iksan Skuter.

Dalam wawancara singkat sebelum acara dimulai, Iksan Skuter menyatakan bahwa sebagai musisi di era industri 4.0, merasa agak aneh dengan kehadiran sosial media. “Aku ingin tahu, berapa orang yang rela mengeluarkan duit segitu untuk menontonku. Apa karena akun instagramku sudah ada tanda centang biru, lantas para penonton tur-ku berjubel?” katanya diiringi gelak tawa geli.

Saya sendiri merasa tersentil. Mengingat saya selaku penonton ‘undangan’ tanpa harus membeli tiket. 100 ribu? Siapa pula yang sudi? Begitu pikir saya. Namun pikiran itu segera sirna, segera setelah pembawa acara mempersilakan kelompok Plenthe Percussion untuk tampil ke atas panggung. Penonton digiring untuk menatap layar besar di sisi kanan panggung.

Bentangan layar berwarna putih itu segera menayangkan sebuah video musikal hasil ramuan dari bebunyian-bebunyian yang ada di dalam pabrik mebel tersebut. Soundscape yang begitu menarik untuk disimak.

Sumber bunyi yang keluar dari gergaji musik, kayu, atau tong yang dipukul dengan random dipadupadankan dengan suara azan. Tebakan penulis, pesan singkat yang ingin disampaikan dari karya tersebut adalah, bekerjalah segiat mungkin tapi jangan lupa salat. Sederhana sepertinya. Pesan tentang keintiman antara manusia dengan Sang Pencipta.

Segera setelah musik berhenti, giliran mesin kompresor dinyalakan. Kenangan saya akan gelaran All Etno hasil kerja anak-anak Etnomusikologi ISI Surakarta muncul. Musik kontemporer seperti orang kebanyakan menyebutnya.

Sesaat kemudian muncul seorang memainkan alat musik petik dari regional Kalimantan, Sape’. Memberikan sentuhan magis melodis kepada komposisi yang didominasi oleh alat musik perkusi. Salah satunya adalah Kendhang Sunda. Komposisi yang luar biasa indah. Terutama untuk penonton yang tidak terbiasa menonton komposisi musik seperti itu.

Tepuk tangan segera membahana setelah komposisi berakhir. Subjektivitas saya turut mencuat. Seharusnya mereka tampil belakangan sebagai penutup. Tepuk tangan dari 50-an penonton. Iya rangkaian tur Iksan Skuter ini memang tidak
menitikberatkan pada jumlah penonton.

“Kami sering tombok (rugi),” begitu seloroh Iksan Skuter di atas panggung. Penonton pun tertawa. Penembang lagu Bingung itu menegaskan bahwa sebagai seorang musisi yang harus dilakoni adalah berkarya dan berkarya. Perkara laku atau tidak itu bukan urusan dia. Begitu imbuhnya.

Cukup berat dari sisi ekonomi. Kesungguhan dan keberanian mengambil keputusan yang tidak banyak orang mau melakoninya. Lebih mendekati kepada kegilaan. Tetapi itulah tabiat seorang Iksan Skuter.

Musisi yang selalu memakai topi dengan lambang satu bintang ini, tanpa malu-malu bahkan membeberkan hasil penjual tiket malam itu. Untuk apa saja hasil itu nantinya dan tinggal berapa setelah dibagi-bagi untuk operasional. Hasilnya minus.

Iksan Skuter tidak butuh panggung besar dan penonton yang berjubel. Begitu tuturnya. Penonton yang sedikit, tapi bisa mengambil hal yang positif lebih baik daripada ribuan penonton yang datang, goyang, jingkrak-jingkrak lalu pulang tanpa membawa apa-apa di dalam hidupnya.

Dan tur Balakosa ini menjadi bukti, bahwa tidak selamanya semua dinilai dari hasil materi. Dengan panggung yang tak berjarak, penonton seolah diajak mengerti bahwa penyaji tanpa penikmat juga tidak ada artinya sama sekali.

Bahwa ketika sang penyaji turun dari panggungnya, saat itu juga dia harus siap menjadi penonton. Pertunjukan musik tidak melalui berbicara tentang hal-hal yang musikal saja, tetapi juga tentang pilihan-pilihan sikap dalam kehidupan. Termasuk relasi antara penikmat dan penyaji bunyi. Bisa mewujud sebagai keintiman antara penikmat dan penyaji dalam hal bisa saling menghargai.

Balakosa, kekuatan dan kejayaan. Eh, kalian sudah tahu Iksan Skuter? Belum? Ahhhh...

Editor: Almaliki