Etnis.id - Masyarakat Minangkabau punya tradisi unik yang menarik perhatian publik, salah satunya adalah aktivitas berburu kandiak atau babi yang dilakukan masyarakat setempat. Aktivitas ini sebenarnya sudah lama dipraktekkan, dan sudah menjadi turun temurun hingga pada generasi sekarang. Dalam catatan Abdullah, membenarkan jika berburu babi sudah dilakukan oleh masyarakat Minangkabau sejak zaman dahulu, jauh sebelum Islam menyebar di tanah adat ini.

"(Berburu babi hutan) diperkirakan adalah aktivitas yang dilakukan jauh sebelum lslam masuk dan berkembang di Minangkabau (pra-Padri)," Abdullah, dalam jurnal Humaniora.

Pada umumnya, berburu babi hutan dilakukan oleh kalangan laki-laki dewasa. Mereka yang sudah cukup umur dan memiliki keterampilan berburu. Sebab berburu babi hutan bukanlah suatu perkara mudah, karena pemburu harus menguasai teknik dasar perburuan.

Jenis Anjing digunakan masyarakat adalah anjing kampung, mereka datangkan dari luar daerah, seperti di Jawa. Anjing tersebut mereka beli dengan harga variatif tergantung ukuran, kelincahan dan anjing yang sudah dilatih khusus sebagai binatang berburu. Tak sedikit dari anjing itu, dilego dengan harga jutaan rupiah, lantaran sudah mendapatkan rangkaian latihan menangkap babi.

Sebelum dilakukan perburuan babi hutan, para pemburu berdatangan dengan membawa beberapa ekor anjing miliknya. Ada yang datang membawa anjing menggunakan mobil tertutup, juga menggunakan sepeda motor. Setelah semuanya sudah berkumpul di lokasi, para pemburu akan dibagi kedalam beberapa kelompok, kelompok ini nantinya akan masuk ke dalam hutan mencari babi bersembunyi di semak belukar.

Tradisi orang Minangkabau itu sangat kuat, biasanya sebelum acara dilakukan akan digelar sejumlah rangkaian upacara adat. Demikian dengan saat berburu babi dilakukan, akan ada upacara adat yang dipimpin oleh Mamak bahkan Kepala Suku (Datuk). Pada acara ini, sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat setempat, mereka yang hadir bukan saja para pemburu tetapi warga yang datang menonton pertunjukkan berburu babi itu.

Kegiatan berburu babi hutan ini, dilakukan pada pagi hari hingga menjelang sore hari. Biasanya dilakukan masyarakat setiap sekali dalam satu bulan.

Setelah rangkaian upacara adat dilakukan, para pemburu akan mulai bersiap-siap memasuki kawasan hutan belukar, di mana babi hutan lewat bersama rombongannnya. Anjing buruan diikat menggunakan tali dibagian lehernya, setelah lama berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan anjing sudah mengendus keberadaan babi. Maka pemiliknya akan melepaskan ikatan tali di leher anjing dan mengejarnya hingga dapat.

Yang tidak kalah menariknya lagi, babi hutan yang berlari ketakutan itu, tidak saja dikejar oleh anjing pemburu yang melihat pertama kali, tetapi semua anjing yang masuk di hutan akan beramai-ramai mengejar anjing tersebut hingga membunuhnya lewat taringnya yang runcing.

Setelah babi tersebut tewas, maka pemilik anjing akan berusaha membuat anjing miliknya memakan jantung babi. Jika biasanya anjing tadi tidak mampu mengoyak isi perut babi, maka pemiliknya akan membantu mengeluarkan jantung babi dan dikasih ke anjingnya.

Babi yang mati hasil buruan, akan dibiarkan tergeletak begitu saja di dalam hutan. Mereka tidak membawa pulang. Sebab berburu babi bagi masyarakat Minangkabau dijadikan sebagai media untuk menyalurkan hobi saja.

Setelah sore hari, para pemburu dan anjingnya turun ke lokasi. Dilokasi, ada pemburu yang mengikat anjingnya di pohon agar tidak lari keliaran, namun ada juga pemburu yang membiarkan anjingnya tanpa diikat, lantaran sudah jinak. Anjing yang sudah jinak, biasanya jadi kebanggaan tersediri bagi pemburu sekaligus menujukkan pada pemburu lain, bahwa anjinya patuh pada tuannya.

Pada saat berkumpul, para pemburu akan saling bertukar cerita tentang kehebatan anjingnya menaklukan puluhan babi hutan. Perlu diketahui, anjing buruan tersebut sebenarnya diperlakukan sangat baik oleh pemiliknya layaknya seorang anak. Mereka memandikan anjing di sungai, memberikan suplemen agar anjing tampil kuat dan garang saat berburu. Biaya perawatan bahakn tak dihiraukan asalkan hobi dapat tersalurkan.

Dalam artikel yang ditulis Zainal Arifin yang dimuat dalam jurnal humaniora tentang 'Buru Babi: Politik Identitas Laki-laki Minangkabau' masyarakat Minangkabau yang mewarisi tradisi matrelinear atau berdasarkan garis keturunan dari kalangan ibu, namun tidak melibatkan perempuan dalam acara perburuan babi hutan, meskipun perempuan sebatas menyediakan menu makanan. Padahal kalangan perempuan di masyarakat Minangkabau memiliki peranan yang cukup besar ketimbang laki-laki.

Dalam Urusan pembagian harta warisan saja, laki-laki tidak mendapatkan apa-apa, karena harta seperti tanah, rumah dan seterusnya diwariskan pada perempuan. Laki-laki dalam adat Minangkabau disebut sebagai urang asing (orang luar).

"Menurut adat, seorang sumando adalah urang asing (orang luar) dalam kelompok istrinya yang ditunjukkan dalam pepatah bak abu di ateh funggua (seperti abu di atas tunggul). Pepatah ini mengisyaratkan bahwa posisi seorang suami (sumando) sangat tergantung sejauh mana "kebaikan hati" keluarga istri untuk tetap mernper- tahankan  dirinya, seperti abu yangg siap diterbangkan apabila angin kencang datang," Zainal Arifin dalam Humaniora (hal:30).