Etnis.ID - Perjalanan saya ke Toraja selalu singkat, tapi semuanya berkesan. Daerah itu menyuguhkan kepada siapa saja yang datang, harmonisasi antara alam dan manusia. Apabila meminjam bahasa mereka, antara yang di langit, dan yang di bumi.
Lebih dari itu, sebenarnya ada pertanyaan mendasar yang saya kira penting diajukan saat ini. Mengapa suku Toraja masih dapat mempertahankan ritus kebudayaannya di tengah gempuran modernisasi?
Salah satu faktor dan membuat Toraja dikenal hampir di seluruh dunia, yaitu, suku ini memiliki kepercayaan dan pemaknaan filosofis yang berbeda tentang kematian dengan suku dan bangsa lain.
Agustinus Wibowo, salah satu penulis perjalanan yang pernah hidup dan meneliti kehidupan orang-orang bersuku Toraja mengungkapkan jika Suku Toraja adalah salah satu suku terunik di dunia. Mereka merayakan kematian, mereka percaya bahwa kematian bukanlah perpisahan dan tak perlu ditangisi. Hal itu menurut Agustinus sebuah filosofi kematian yang hanya dimiliki di suku Toraja.
Beberapa peneliti, pengkaji, ataupun masyarakat umum mengungkapkan jika kematian bagi orang Toraja menjadi sesuatu yang luar biasa dan harus dipersiapkan. Hal itu menjadikan suku ini memiliki nilai kebudayaan yang tinggi sekaligus menjadi nilai jual bagi dunia pariwisata.
Stanislaus Sandarupa dalam tulisannya Toraja Kota Orang Mati yang Hidup mengungkapkan hal yang berbeda. Menurutnya bukan kematian yang membuat suku toraja unik, tapi cara dan praktik-praktik yang memperlakukan orang mati itu hidup kembali.
“Ada kekaguman, ketercengangan, bahkan ketakutan dihadapannya, namun ada upaya mengontrolnya dan bersahabat dengannya. Manusia dapat mengontrol alam gaib (arwah). Dan, inilah yang membedakannya dengan ‘agama besar’ lainnya, dengan manusia selalu tunduk di depan Sang Ilahi.” Tulis Stanislaus.
Jika dilihat upacara-upacara adat yang dilakukan, semuanya memang berorientasi pada praktik-praktik menghidupkan kematian. Mulai dari tradisi mengawetkan mayat hingga menghidupkannya kembali.
Seseorang yang meninggal dunia tidak diperkenankan untuk dilakukan persemayaman sebelum dilakukan ritual Rambu Solo. Untuk menggelar upacara itu, keluarga harus menyiapkan kerbau dan babi yang jumlahnya bisa sampai ratusan.
Mayat disimpan di tongkonan (rumah adat Toraja) selama berbulan-bulan bahkan sampai berpuluh tahun. Waktunya tergantung pada kesiapan keluarga menyiapkan upacara Rambu Solo.
Sebelumnya, ada ritual dipatadongkon atau didudukkan yang dilakukan untuk menyambut para tamu yang datang. Selain Rambu Solo, ritual lainnya ada yang disebut Manene. Ritual mengganti pakaian mayat yang masih diterapkan masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Ma’nene menjadi bagian dari upacara Rambu Solo’ atau upacara kematian dalam tradisi suku Toraja. Pada hari yang telah ditentukan, keluarga datang ke lokasi persemayaman jenazah. Mayat telah diawetkan dan tersimpan rapi di dalam peti kemudian dibersihkan lalu diganti pakaiannya.
Orang yang telah meninggal tidak disebut sebagai orang mati tapi orang sakit dan orang tidur. Saat mayat dimasukkan di tongkonan dan diberi kelambu, ia dianggap sedang tidur. Mayat masih diperlakukan seperti orang hidup dengan memberinya makan dan minum.
Ketika upacara Rambu Solo dilaksanakan, ritus pertama yang dilakukan adalah “Ma’tundan”, yaitu membangunkan dia dari tidurnya. Lalu posisinya diubah ke posisi mati (to tungara). Sejumlah ritus dilakukan disertai dengan korban hewan babi dan kerbau.
Segala ritus dalam arena kematian suku Toraja menunjukkan jika sebenarnya mereka hidup untuk menyiapkan itu. Misalnya, dalam melakukan pergelaran Rambu Solo dan Manene saja mereka harus menyiapkan kapital yang sangat banyak.
Perjalanan panjang bagi orang yang telah mati tidak sampai ketika ia disemayamkan. Ritual-ritual itu dilakukan agar orang yang mati tetap hadir dan menjadi nenek moyang yang aktif membangun hubungan kembali dengan orang hidup dan terutama diharapkan akan kembali melipatgandakan apa yang sudah dikorbankan untuknya.