Etnis.id - Kepercayaan terhadap keberagaman gender, menjadikan suku Bugis sebagai salah satu suku yang unik di dunia. Suku Bugis memercayai adanya tiga gender selain laki-laki dan perempuan. Gender pertama adalah oroane (laki-laki), gender kedua adalah makunrai (perempuan), gender ketiga adalah calabai (laki-laki “feminin”), gender keempat adalah calalai (perempuan “maskulin”), dan gender kelima adalah bissu (dukun androginus).

Wacana keberagaman gender dalam suku Bugis semakin dikenal di Indonesia utamanya saat kemunculan gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) pada tahun tahun 1960. Gerakan ini semakin masif, ditandai dengan munculnya perkumpulan waria (julukan untuk laki-laki transgender) di Jakarta yang kemudian menginspirasi aktivis feminis, gay dan lesbian membuat organisasi yang menyuarakan keberadaan mereka sebagai bagian dari struktur masyarakat yang sah pada tahun 1980 seperti yang dituliskan Suavinita dalam penelitiannya Human Rights and the LGBTI Movement in Indonesia (2013).

Sementara itu, penelitian lanjutan Laurent, seorang peneliti transgender dari berbagai belahan dunia mengungkapkan gerakan LGBT di Indonesia didominasi oleh para aktivis yang ideologinya sangat dipengaruhi oleh barat (western human-rights).

Dalam penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, terdapat banyak hal mendasar yang seringkali dilupakan oleh peneliti, masyarakat, ataupun aktivis feminis terhadap wacana keberagaman gender di Suku Bugis. Bagi penulis, lima gender di Suku Bugis tidak bisa dilihat sebatas gender saja. Identitas calabai, calalai, dan bissu tidak ditentukan oleh seksualitas dan faktor biologisnya melainkan posisi dan perannya dalam masyarakat Bugis.

Ritual Bissu (Foto: M. Ridwan)

Identitas gender mereka dibentuk melalui spiritualitas, sense of self, peran, behaviour, pekerjaan, pakaian, seksualitas, dan subjektivitas. Sharyn Graham Davies, seorang Professor di School of Social Science and Public Policy, Auckland University of Technology, Selandia Baru selama melakukan etnografi di Sulawesi Selatan menemukan bahwa calabai ataupun calalai tidak bisa dipandang sebagai seorang transvesty, transgender, ataupun trans-seksual yang dalam banyak literatur menjelaskan bahwa mereka memiliki perasaan yang terperangkap dalam tubuh yang salah dan ada keinginan untuk megubah hal tersebut.

Dalam budaya Bugis, menjadi seorang calabai, dan calalai adalah sebuah pemberian (kodrat) dari Tuhan. Pembentukan identitas gender tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor tubuh dan biologis. Oleh sebab itu, calabai dan calalai memiliki posisi subjek dalam arti tersendiri.

Seorang calabai, calalai, ataupun bissu percaya bahwa identitas gender mereka yang demikian adalah pemberian Tuhan yang harus mereka syukuri dengan melaksanakan tanggung jawabnya yang telah diberikannya. Sebagai contoh, calabai dalam masyarakat Bugis memiliki peran sebagai indo botting (ibu perkawinan) yang bertanggung jawab tidak hanya sebagai perias wajah pengantin, melainkan juga diwajibkan menguasai ilmu cenning rara agar mampu mengeluarkan aura dari pengantin perempuan melalui riasan dan mantra yang digunakan.

Sementara itu, bissu sebagai gender kelima memiliki posisi yang paling tinggi dalam strata sosial masyarakat Bugis. Bissu dianggap sebagai manusia suci dan sakral karena mereka adalah manusia terpilih oleh Dewata (Dewa).

Melihat lima gender yang ada di Bugis yang hanya sampai pada pemahaman akan konstruksi gender mereka yang melawan konsep dualistis gender (laki-laki dan perempuan) menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Pemahaman yang hanya sampai pada tahap tersebut, justru menghilangkan hal-hal mendasar dari kelima jenis manusia yang diyakini masyarakat Bugis. Dan tentu saja secara tidak langsung menistakan identitas suku Bugis yang telah dijaga keluhurannya.