Kendati mulai pudar, ingatan saya masih tertuju pada sebuah kabar beberapa bulan menjelang penghujung tahun 2017. Saat itu, salah satu teman saya mengabarkan bahwa Smarihasta—nama lain dari SMA saya di Kota Malang—memenangkan kompetisi AKSARA, sebuah kompetisi tari dan karawitan nasional yang diselenggarakan oleh UKTK Universitas Airlangga, Surabaya.
Keluarga besar almamater SMA kami bangga, sebab dalam sekali mendayung, dua kemenangan berhasil direngkuh—juara utama tari sekaligus karawitan. Tentu, saya mengucapkan “selamat” pada teman saya tersebut sebagai salah satu penari yang tergabung dalam kompetisi.
Beberapa minggu sebelumnya, saya pernah menyaksikan prosesi latihan mereka. Saya pun mengetahui perihal tari apa yang dibawakan. Tari itu adalah tari Songgolangit.
Berdasarkan informasi yang saya dapat, tari Songgolangit berasal dari Ponorogo. Namun, untuk kepentingan kompetisi ini, tari tersebut direkonstruksi, baik gerakan maupun sentuhan kostum oleh guru sekaligus seniman Kota Malang, Ika Pratiwi dan Dyah Masita Rini. Dengan demikian, karya tari ini termasuk tari garapan baru.
Sepanjang kajian yang saya lakukan, informasi tentang siapa pencipta asli dari tari Songgolangit tidak dapat saya temukan. Bahkan, di situs berbagi video Youtube pun hanya beberapa kanal saja yang menampilkannya. Itu pun hanya video orisinalnya ketika ditampilkan di Ponorogo dan penampilan kawan saya. Namun, keterbatasan itu membuat saya semakin tergugah untuk mencoba menilik esensi apa yang sejatinya terkandung di dalam karya berjudul “Songgolangit” itu.
Tari Songgolangit berkisah tentang seorang putri dari kerajaan Kediri yang berparas rupawan dan berbudi pekerti terpuji. Kecantikannya membuat pangeran dan bangsawan berhasrat untuk menjadikannya permaisuri (istri).
Keinginan itu di antaranya datang dari Prabu Klana Sewandono dari Kerajaan Bantarangin yang tampan dan gagah, namun ia adalah seorang homoseksual (penyuka sesama jenis).
Di sisi lain, ada pula Prabu Singa Barong, seorang raja berkepala harimau yang penuh kutu, sehingga kemana pun ia pergi, selalu diikuti seekor merak yang mematuki kutu-kutunya.
Dewi Songgolangit dicerca kebingungan, di satu sisi, nuraninya yang belum ingin menikah, sementara orang tuanya justru mendambakan seorang cucu. Sang Dewi memutuskan semadhi untuk memohon petunjuk pada Sang Hyang Widhi.
Akhirnya, ia memutuskan, bahwa siapapun yang ingin memperistrinya, haruslah memenuhi tiga syarat: menyediakan 140 pasang kuda kembar, tontonan menarik yang belum pernah ada, dan hewan berkepala dua.
Prabu Klana Sewandono berhasil memenuhi dua persyaratan pertama. Akhir cerita, sang prabu dan Prabu Singa Barong terlibat pertarungan. Singkat cerita, Singa Barong kalah, sedangkan merak yang senantiasa mengikutinya itu manunggal (menyatu) di atas kepalanya, sehingga menyerupai wujud hewan berkepala dua. Maka, terpenuhi sudah persyaratan tersebut. Kisah inilah yang dalam aspek spiritual-kultural masyarakat Ponorogo, melahirkan kesenian Reyog Ponorogo.
Garapan baru tari Songgolangit dibawakan oleh tujuh orang penari perempuan. Para penari mengenakan kostum atasan berwarna biru muda dan merah dengan aksen renda emas di bagian lengan, serta sabuk (ikat pinggang) merah berbingkai emas.
Kostum bagian atas ini semakin padu dengan rok panjang berwarna merah, putih, hitam, dan surai-surai benang seperti pakaian khas Ponorogo-an, yang di sisinya bisa dibentangkan laksana sayap. Sementara itu, pada bagian kepala, seluruh penari bersanggul tinggi, lengkap dengan bunga melati, mahkota, dan lima helai dadak merak (bulu merak).
Kostum tari Songgolangit dengan sayap rok yang dibentangkan, serta perpaduan warna-warna ini, saya kira merupakan cara untuk merepresentasikan sosok Dewi Songgolangit. Dalam perannya sebagai seorang putri kerajaan, ia memiliki keanggunan, ketenangan, kesucian, dan kejayaan.
Namun, meskipun dirinya seorang perempuan, ia juga memiliki pendirian, spirit dan keteguhan. Sementara itu, dadak merak sendiri saya kira merepresentasikan keindahan, kecantikan, juga upaya kultural untuk menunjukkan bahwa sang dewi juga berperan dalam kisah lahirnya kesenian Reyog.
Dengan perpaduan sifat-sifat tersebut, gerak-gerak dalam tarian ini pun cukup beragam. Sang Dewi digambarkan lewat gerak keanggunan dan kelembutan, seperti menunjuk ke atas sebagai bentuk doa pada Tuhan. Di sisi lain, ada pula gerak-gerak yang menunjukkan kelincahan dan ketangguhannya. Hal ini, salah satunya dikonstruksi melalui gerak njathil (jathilan), yaitu gerak melompat-lompat seperti orang yang sedang menunggang kuda sembari mengangkat sayap rok.
Musik yang digunakan sebagai iringan dalam tari Songgolangit juga menunjukan kekhasan musik gaya Ponorogo-an. Iringan musik ini diawali dengan suara vokal seorang sinden—penyanyi perempuan yang mengiringi gamelan. Selain itu, dibalut pula dengan lengkingan serompet atau yang dikenal dengan istilah srompetan, serta vokal laki-laki yang secara bersamaan dan berulang mengucapkan “hok ya hok e-hok ya hok e hok ya”.
Songgolangit: Fiksasi Eskatologis bagi Para Lelaki
Selama ini, kisah Dewi Songgolangit dalam karya tari ini seringkali dipandang sebagai cikal bakal lahirnya kesenian Reyog. Namun, saya mencoba mengajukan satu tesis—pandangan lain, yang barangkali merupakan sisi lain yang menarik dari sosok Dewi Songgolangit.
Kata Songgolangit diambil dari frasa bahasa Jawa, yaitu "nyangga langit", yang berarti menyangga langit. Dalam sebuah sumber, disebutkan bahwa siapapun yang mendekati Dewi Songgolangit, berarti ia mendekatkan diri pada Tuhan.
Di sinilah letak kemenarikan itu. Dalam paparan sebelumnya, Dewi Songgolangit yang cantik jelita menjadi sosok istri dambaan atau pasangan ideal bagi para pangeran dan bangsawan.
Tentu saja, mereka adalah kaum lelaki, terlepas dari eksistensi Klana Sewandono yang notabene penyuka sesama jenis. Namun, yang hendak saya tekankan, Dewi Songgolangit menjadi istri dambaan bukan hanya karena kecantikannya secara fisik, namun kecantikan hati lewat perilakunya yang terpuji.
Dari makna terminologis kata Songgolangit ini, saya berasumsi bahwa para pangeran juga bangsawan itu bukan hanya tertarik dalam konteks kodrat duniawi atau asmara, atau ketertarikan syahwat antara laki-laki kepada perempuan. Akan tetapi, barangkali mereka percaya bahwa keberhasilan memperistri Dewi Songgolangit berarti keberhasilan mendekatkan diri pada Tuhan, kekuatan Adikodrati yang lebih tinggi di alam semesta.
Bukan hanya mendekatkan diri pada-Nya, tetapi juga menjadi sebuah pencapaian bagi seorang lelaki karena berhasil meraih puncak tertinggi, yakni dapat kembali kepada Tuhan yang telah menciptakan dan memberi napas kehidupan. Sebab, kembali pada Tuhan adalah capaian tertinggi setelah manusia berkelana di bumi.
Barangkali, itulah yang saya maksud dengan fiksasi eskatologis, yaitu obsesi atau kegandrungan seorang lelaki untuk mendekati dan mencapai alam ruh atau konsep keIlahian yang lebih tinggi.
Perempuan dan Harga Diri
Beberapa wiracarita dari Jawa, umumnya mempersoalkan perempuan yang dipinang oleh lelaki. Namun, ia tak kuasa menolaknya secara langsung, sehingga satu-satunya pilihan adalah mengajukan syarat melalui sayembara. Barangsiapa berhasil menyanggupinya, ia akan mendapatkan bebana (hadiah), yaitu perempuan yang dicintainya tersebut.
Begitu pula dengan kisah dalam tarian Songgolangit ini. Nuraninya menolak untuk segera menikah, tetapi orang tuanya ingin segera menimang cucu. Apalagi, saat mengetahui bahwa pelamarnya adalah seorang raja sakti yang tampan namun homoseksual, dan seorang raja sakti berkepala harimau yang ia sendiri pun tidak sanggup menolaknya secara langsung.
Meskipun Dewi Songgolangit dikisahkan berasal dari keluarga kerajaan, namun strata tinggi sekalipun tidak lantas membuatnya terbebas dari dominasi laki-laki. Dengan demikian, sayembara yang diajukan oleh Dewi Songgolangit merupakan satu bentuk resistensi atau perlawanan perempuan terhadap hegemoni pria dalam lingkungan budaya yang terkesan patriarkis.
Sayembara pun menjelma ajang untuk membendung dominasi tersebut. Pada akhirnya, seberat apapun sayembara yang diajukannya, nyatanya sanggup dipenuhi oleh Prabu Klana Sewandono.
Dari dua sumber yang berbeda, dikisahkan bahwa Dewi Songgolangit akhirnya menikah dengan Sang Prabu dan diboyong ke Ponorogo. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa sang dewi terpaksa melarikan diri, lantaran sejatinya ia masih belum ingin menikah dengan siapapun.
Namun, dapat disimpulkan bahwa, baik menikah ataupun tidak, keduanya merupakan bentuk konsekuensi atas perlawanan yang telah ia lakukan. Hanya ada dua pilihan: menerima orang yang berhasil memenuhi syaratnya, atau melarikan diri demi harga diri seorang perempuan yang tidak ingin menikah atas dasar keterpaksaan.
Tari Songgolangit dan Kekuatan Simbolik Perempuan
Terlepas dari apapun muatan cerita dalam kisah Dewi Songgolangit, ada satu hal yang barangkali dapat dijadilan medium refleksi dari pengalaman tari ini. Gerak-gerak yang menggambarkan keanggunan dan kelincahan, serta kostum berwarna anggun dan tegas, menjadi sebuah penegasan bahwa karya tari Songgolangit sejatinya ingin menggambarkan kekuatan dan ketangguhan seorang perempuan.
Anggun bukan berarti lemah, lembut bukan berarti tak berdaya. Tari Songgolangit bukan hanya kesenian dalam dimensi performatif, tetapi juga mengejawantah dalam kekuatan simbolik seorang perempuan lewat gerakan dan kostumnya.
Untuk itu, saya mencoba berprasaran, bahwa jika kita ingin menyuarakan peran perempuan dalam arena sosial budaya, kita tidak harus mengumbar suara dan slogan di jalan raya.
Akan tetapi, lewat karya tari, cita-cita kehidupan yang mengutamakan keadilan dan kesetaraan dapat kita wujudkan. Dengan demikian, kita tidak hanya sekedar melestarikan kesenian, tetapi juga memberi pesan tentang kesetaraan bagi seorang perempuan. Sekali dayung, dua kebajikan kita rengkuh.
Penyunting: Nadya Gadzali