Etnis.id - Munculnya budaya literasi memungkinkan siapapun dapat menjelaskan dan mengungkapkan kehendaknya lewat kata dan tulisan, tak terkecuali dalam konteks seni pertunjukan terutama musik.

Kini kita menikmati musik tak semata langsung di panggung pertunjukan, televisi dan tablet, namun juga terbekukan lewat kata-kata atau kalimat tertulis yang menunggu untuk dibaca. Setiap hari Minggu, kita dapat menikmati ulasan dan kritik mendalam sebuah pertunjukan musik di kolom budaya koran-koran dan majalah.

Bukankah musik idealnya hanya enak untuk ditonton, dihayati, dinikmati dan dimainkan, tak enak untuk dituliskan? Namun seringkali, kita tak sadar bahwa dengan menuliskannya, kita mendapat menemukan pemahaman lain yang luput dari sebuah pementasan musik, yakni konsep, pemikiran kritis dan wacana.

Untuk menjembatani agar musik tak hanya beku di panggung pertujukan, didirikanlah sekolah-sekolah musik dan perguruan tinggi seni (musik) di berbagai daerah di Indonesia. Harapannya, agar musik dapat menjadi literatif, ilmu mandiri dan dipelajari secara ilmiah serta akademis berbentuk skripsi, tesis dan disertasi.

Lahirlah kemudian musikologi, etnomusikologi, psikologi musik, karawitanologi serta ilmu kritik musik. Semua hendak berbicara dalam konteks musik sebagai literasi atau sebuah bahasa, bukan lagi bunyi dan suara. Namun sayang, selama lebih dari setengah abad berdirinya sekolah dan perguruan tinggi musik di Indonesia, ternyata belum mampu memanfaatkan perkembangan literasi secara maksimal.

Sebagai contoh hampir semua kehidupan musik-musik tradisi di Indonesia tak memiliki sistem penulisan notasi yang memadai. Saya pernah menuliskan esai penjang tentang hal ini berjudul Dilema Notasi Musik Nusantara (2013).

Musik-musik di daerah Kalimantan dan pedalaman Sulawesi misalnya masih diajarkan secara oral, disebarkan dari satu mulut ke mulut, belum terdokumentasi dengan baik lewat catatan atau penotasian.  Padahal, kebutuhan akan tersedianya notasi telah lama dianggap penting oleh banyak negara di dunia, guna memberi ruang hidup musik-musik tradisi mereka.

Di Rumania terdapat notasi Bizantium yang dikembangkan sejak tahun 1823, di India ada Sargam yang telah dikenali sejak 200 SM, notasi Gongche dan Jianpu di Cina pada tahun 1425, notasi Taiko di Jepang yang konon lebih tua dibanding notasi di Cina. Atau di Eropa yang awal mulanya dipelopori oleh Guido d'Arezzo (995-1050), seorang biarawan Benediktin Italia yang menggunakan huruf pertama dari setiap ayat untuk nama suku kata solfege seperti (re)sonare fibris, (mi)ra gestorum, (fa)muli tuorum, dan lain sebagainya (do, re, mi, fa, sol, la, si, do).

Hasilnya, pada tahun-tahun itu telah banyak dijumpai dokumentasi notasi dari para komponis andal yang untungnya masih dapat kita lagukan hingga kini. Bahkan hasil dari analisis karya-karya komponis handal pada zamannya itu kemudian memicu munculnya studi yang memusatkan perhatiannya terhadap analisis dan kritik karya-karya komponis besar (Albrecht Schneider, 1987).

Di Indonesia sendiri, sebenarnya kesadaran akan adanya literasi notasi musik tradisi terjadi pada awal abad 20 dengan ditandai lahirnya notasi Kepatihan di Jawa. Lahirnya notasi itupun melalui proses dan polemik yang cukup panjang. Notasi kepatihan adalah pengembangan bentuk baru dari notasi anda (tangga) dan rante (rantai).

Selebihnya, di luar ketiga wilayah itu, masih bias dan masih berkembang secara oral. Maka tidak mengherankan apabila banyak calon sarjana musik dan peneliti masih merasa kesulitan dalam menganalisis dan mendokumentasikan musik-musik tradisi Indonesia. Mereka harus disibukkan dengan membuat literasi baru berupa simbol, tanda atau icon-icon tertentu yang dapat mempresentasikan bunyi musik itu.

Satu orang dapat membuat literasi penotasian yang berbeda dengan orang lain. Hal ini memicu kebingungan bagi publik, notasi mana yang harus diacu. Jawaban atas
pertanyaan kenapa kajian ilmu musik Nusantara hingga saat ini belum menunjuk hasil yang memuaskan bila dibanding dengan negara lain yang sistem penotasiannya sudah mapan kemudian menemukan pembenaran (Benjamin,1995).

Bahkan di Jawa sendiri yang sudah dianggap memiliki tingkat kemajuan dalam segi literasi dan teoritik musiknya, juga masih mengalami kendala dalam penulisan notasi kepatihan. Notasi kepatihan (berupa angka 1 -ji- sampai 7 –pi-) yang selama ini banyak mendeskripsikan unsur musikal gamelan Jawa, ternyata sebatas rangkuman dari akumulasi musikal seorang seniman yang berwujud catatan kecil, tidak mencantumkan seluruh orkestrasi permainan gamelan
secara utuh. Layaknya kode, rumus, kata sandi atau morse dalam pramuka.

Dengan demikian, hanya seniman penulisnya saja yang dapat membaca notasi yang dibuatnya itu. Notasi tersebut menjadi tidak bermakna ketika dibaca oleh orang atau musisi gamelan lain, apalagi di luar budaya Jawa. Padahal dalam ilmu musik saat ini, literasi berujud notasi menjadi penting untuk beberapa tujuan yakni dokumentasi, pembelajaran dan analisis kekaryaan.

Apalagi dalam dunia kritik dan analisis, notasi membantu kritikus untuk mengulas karya, menentukan segmentasi kritikannya dan mengkritik sajian komposisi musikalnya. Bahkah adakalanya dengan hanya melihat notasi musik, seorang kritikus mampu melahirkan ulasan kritik yang tajam.

Lewat analisis dari notasi, kita dapat mengetahui bahwa Johan Sebastian Bach (1685-1750), salah satu maestro musik polifoni dengan teknik kontrapung yang sangat tinggi itu, merangkai musiknya secara hitungan matematik. Lewat analisis notasi pula, kita dapat mengetahui rincian musikal yang kadang luput dari tangkapan auditif.

Kadang apa yang kita sangka rumit secara auditif, justru sederhana dalam penuangan notasinya karena menggunakan rumus-rumus tertentu, atau sebaliknya. Literasi idealnya membantu menerjemahkan dan mengomunikasikan musik dengan lebih terbuka.

Editor: Almaliki