Etnis.id - Surabaya memiliki museum teranyar bernama “Museum Surabaya”. Uniknya, museum ini berada di gedung Siola, Jalan Tunjungan yang awalnya lebih dikenal sebagai pusat perdagangan tengah kota.

Siola menjadi saksi Surabaya sebagai Kota Perjuangan dan perniagaan terbesar di Nusantara. Ia telah melintas zaman, dari sekadar ruko dagang, kemudian simbol tempat perlawanan terhadap ketertindasan.

Siola adalah monumen yang membekukan kisah keberanian pejuang Surabaya dalam melawan penjajah. Siola membawa ingatan menapaki segala kenangan dan jejak perjalanan berdirinya Kota Surabaya. Sayangnya, banyak generasi masa kini yang kehilangan memori persentuhan dengan Siola sebagai bangunan bersejarah.

Makanya, dalam tulisan ini, saya sedikit mengurai kisah berdirinya Siola dan bagaimana ia hadir dalam kontestasi politik, kepahlawanan, ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat Surabaya. Hal ini menjadi penting sebagai upaya melawan lupa sejarah.

Jejak

Kita dapat melihat jejak bangunan Siola tempo dulu lewat dokumentasi milik Koninklijk Institute voor de Taal-, Land-en Vokenkunde (KITLV), lembaga kerajaan Belanda untuk kajian Asia Tenggara dan Karibia yang berpusat di Leiden.

Gedung Siola didirikan pada tahun 1877 oleh Robert Laidlaw (1856-1935), seorang pengusaha asal Inggris. Siola difungsikan sebagai pusat perdagangan dan bisnis. Pertama kali dibuka pada bulan Maret tahun 1923 dengan nama “Whiteaway Laidlaw”.

Informasi itu dapat dilacak lewat koran terbitan Singapura, The Straits Times, tanggal 17 Juni 1924. Koran tersebut memberitakan mengenai rapat tahunan perusahaan Robert Laidlaw yang tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia (Jawa: Surabaya).

Dijelaskan pula jika bangunan Whiteaway Laidlaw menjadi gedung terindah se-Hindia Belanda kala itu. Keputusan menempati gedung yang megah tersebut diikuti dengan peningkatan penjualan sehingga keuntungan berlipat ganda.

Fondasi bangunan juga dianggap paling kokoh dibanding gedung-gedung lainnya. Otomatis, saat itu Whiteaway Laidlaw menjadi tongkrongannya orang-orang kelas menengah ke atas, terutama warga keturunan Belanda dan bangsawan di Surabaya.

Berbelanja di Whiteaway Laidlaw tidak sekadar berurusan dengan kebutuhan sandang dan pangan, namun juga mencitrakan gaya hidup ningrat dan elitis. Sama seperti menziarahi mal untuk saat ini.

Whiteaway Laidlaw semakin mengukuhkan Surabaya sebagai pusat perniagaan tersibuk di Hindia Belanda. Siola menjadi toko yang ramai dikunjungi karena menjual segala kebutuhan pokok. Kebanyakan adalah barang-barang yang diimpor dari Inggris dan Eropa dan hal ini semakin menambah kesan modern bagi pembelinya.

Sebab itu, gedung Whiteaway Laidlaw memajang tulisan Het Engelsche Warenhuis, yang berarti “toko serba ada” di bagian depannya. Pengusaha Robert Laidlaw dapat dikatakan menguasai sebagian besar pasar ritel Eropa di Asia.

Ia memiliki kurang lebih dua puluh cabang yang tersebar di India, Thailand, Singapura, Vietnam dan Malaysia. Ada satu ciri khas yang dapat diamati, setiap bangunan tokonya senantiasa memiliki kubah di ujung atasnya. Namun eksistensi Whiteaway Laidlaw semakin redup kala sang pemiliknya, Robert Laidlaw, meninggal dunia pada 1935.

Puncaknya, Robert Laidlaw harus kehilangan banyak tokonya kala Perang Dunia II. Whiteaway Laidlaw di Surabaya diambil alih oleh pasukan Jepang dan dinamakan Chiyoda (sekarang menjadi merk lampu). Fungsinya masih sama, toko serba ada, namun lebih banyak menjual produk tas dan sepatu.

Begitu terkenalnya Chiyoda sebagai ritel sepatu, sehingga memantik daerah sekelilingnya untuk menjual jenis produk serupa. Makanya, hingga saat ini kita masih bisa melihat banyak toko sepatu bertebaran di sekitar Jalan Praban, Surabaya.

Setelah Jepang menyerah pada Sekutu, Surabaya mengalami pertempuran hebat dan menjadi titik kulminasi pengukuhan dirinya sebagai Kota Pahlawan. Arek-arek Surabaya berani melawan tentara Inggris. Chiyoda menjadi gedung yang ideal untuk melakukan perlawanan.

Di atas gedung itu, para pejuang Surabaya menjatuhkan bom saat tank dan tentara Inggris memasuki Tunjungan. Melihat hal ini, tentara Inggris dengan segera menyerbu gedung Chiyoda dengan bom. Akhirnya, tak banyak yang tersisa dari gedung itu.

Hingga Indonesia merdeka, Whiteaway Laidlaw atau Chiyoda mangkrak tak bertuan. Kemudian tahun 1950-an, ada upaya untuk menasionalisasikan aset-aset asing
oleh pemerintah Indonesia, maka gedung itu pun menjadi hak milik Pemkot Surabaya.

Pada dekade tahun yang sama, ada lima pengusaha yang tertarik dengan gedung Whiteaway Laidlaw atau Chiyoda. Mereka berniat mengembalikan kejayaannya sebagai pusat perdagangan terbesar di Surabaya. Kelimanya adalah Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem dan Ang.

Dari mereka, terbentuk akronim SIOLA, sesuai perpaduan huruf depan nama mereka. Secara resmi, Siola dibuka dan diperkenalkan ke publik pada tahun 1964. Benar saja, dia menjadi toko yang cukup terkenal di seantero Surabaya pada tahun 60-80an.

Namun seiring berdirinya mal-mal baru, eksistensi Siola meredup. Siola tak mampu bersaing dengan toko-toko baru yang lebih besar dan megah. Akhirnya, ia resmi ditutup pada tahun 1998.

Setahun setelahnya, Siola disewakan ke salah satu ritel besar bernama Ramayana Departemen Store. Di samping gedung itu, tumbuh subur pula pedagang kaki lima yang menjual cd bajakan, dari musik hingga film porno. Tahun 2008, kontrak Siola habis dan tidak diperpanjang. Gedung Siola kembali mangkrak.

Harapan

Beberapa tahun belakangan, publik dikejutkan dengan upaya Pemkot Surabaya menjadikan Siola sebagai museum. Tentu saja gagasan ini disambut baik. Mereka dapat kembali menziarahi Siola dan melihat rentetan peta perjalanan Kota Surabaya di dalamnya.

Di museum itu, pelbagai benda yang mengisahkan Surabaya tempo dulu dipajang dan dipamerkan. Harapannya, masyarakat Surabaya tidak gegar sejarah. Di tengah berbagai prestasi yang diraih Kota Surabaya, Museum Surabaya di Siola menjadi
salah satu pintu yang menjembatani generasi masa kini dan yang akan datang, untuk lebih dekat dalam mengenal dan memahami kotanya.

Sejarah Surabaya dan Siola kemudian tidak lagi menguap dalam dongeng pengantar tidur serta beku dalam buku pelajaran. Lewat museum itu, kita bisa merasakan detak Surabaya sebagai kota pahlawan dan perniagaan.

Museum menjadi terminal akhir dari kisah perjalanan Whiteaway Laidlaw, Chiyoda atau Siola. Ia berakhir manis untuk dikenang dan diabadikan lewat museum. Tentu kita tak ingin, Museum Surabaya hanya menjadi pelengkap peradaban sebuah
kota.

Banyak museum yang “termuseumkan”, semata menjadi tempat keramat yang angker untuk dikunjungi. Lewat Siola, publik melihat berbagai pengisahan dan tragedi yang terjadi di Surabaya. Tentang perjuangan, harapan, doa dan cita-cita. Siola kini berwajah baru, tak ada salahnya kita untuk kembali mengunjunginya. Bukan untuk berbelanja, namun menikmati kisahnya dan Surabaya.

Editor: Almaliki