Dua tahun pandemi menjadi catatan suram bagi perkembangan seni tradisi. Upaya terakhir agar seni tradisi mampu beradaptasi dengan gerbong baru bernama “panggung virtual” boleh dikatakan belum menemui titik terang. Kodrat panggung virtual seolah bertolak belakang dengan gaya dan karakter seni tradisi kita.
Dunia virtual, anggaplah YouTube misalnya, selama ini mendamba sesuatu yang filmis, mengandalkan sisi visual yang glamor, bising, gaduh, konfliktual, bahkan tidak jarang banal. Sementara kodrat seni tradisi menuju keintiman yang kontemplatif, di mana cara menikmatinya justru bukan sekadar dilihat, tapi juga didengar, dirasakan, dan dibatin. Perbedaan inilah yang menyebabkan seni tradisi terseok-seok kala harus “hijrah” menjadi wujud anyar atas nama konten.
Berlawanan
Masuknya seni tradisi dalam dunia virtual tidak cukup dibaca; hanya sekadar “memindah” tubuh pertunjukan, tetapi juga mengalami lapis-lapis pemaknaan yang tidak tunggal. Dunia virtual memang sebuah keniscayaan, namun harus pula diakui bahwa, pelaku kesenian tradisi tak begitu cakap menyikapi hal itu.
Baru tersadarkan saat pandemi datang, ketika intimitas kerumunan menjadi yang hal tabu dan ditakuti. Jauh sebelum pandemi menghadang, kajian-kajian ilmiah tentang seni (tradisi) virtual jarang dilakukan, tidak menarik minat para peneliti dan akademisi.
Kita masih beranggapan bahwa kesenian tradisi mampu tumbuh dan hidup dalam dunianya yang khas, di mana keramaian, persentuhan tubuh, bahkan tatapan mata para penonton secara langsung menjadi tolok ukur keberhasilan. Oleh karena itu, di saat keharusan tampil di jagat virtual, kita tidak memiliki acuan dan peta jalan yang jelas, tentang bagaimana mekanisme ideal saat seni tradisi harus bermetamorfosis menjadi “tagar” dan “trending”.
Segala hal yang awalnya diagung-agungkan sebagai daya tarik kesenian tradisi, terutama atas nama “adiluhung”, di mana segala penikmatan terhadapnya tidak semata mengandalkan perangkat fisik (mata dan telinga), melainkan “rasa”, kini patut dipertanyakan kembali. Pasalnya, episentrum jagat digital hanya mensyaratkan satu hal; bahasa sinema.
Sebagus dan seindah apapun kesenian tradisi, jika tidak masuk ke dalam kategori itu maka dianggap gagal. Kegagalan itulah yang kini lumrah kita lihat dan ratapi. Banyak persoalan yang belum tuntas untuk diulas, bahkan dicarikan solusinya. Sebagai contoh, pertunjukan gamelan Jawa yang selama ini mengandalkan kesayuan bunyi, kelembutan suara, dan keheningan gending harus terdepak jauh dari jagat virtual.
Pemain gamelan tabu untuk banyak tingkah, sebisa mungkin mereka tidak bergerak bebas, penuh konsentrasi pada pencapaian kualitas estetik musik yang dimainkan. Pemain-pemain itu bisu laksana patung. Lalu, apa yang bisa dinikmati dari YouTube pada pertunjukan demikian. Apa yang dapat disaksikan? Jangankan untuk menjadi viral, sekadar mendapat “klik” saja sudah beruntung.
Tentu kita masih bisa mendebatnya lebih jauh bahwa, seharusnya menikmati gending gamelan di YouTube itu didengarkan, bukan dilihat, karena kodrat musik itu untuk telinga, tidak untuk mata. Baiklah! Namun pertanyaan yang tak kalah mendesak, bagaimana meramu sisi auditif (suara-bunyi) gamelan di jagat digital agar kualitasnya sama (atau paling tidak mendekati) dengan kemegahan gending di pendopo?
Di pendopo, penataan gamelan dilakukan dengan memenuhi kaidah estetik, berdasar pertimbangan capaian gumpalan bunyi yang utuh, kata lain dari sempurna. Karena itu, gong-kempul selalu berada di tengah dan paling belakang, bersanding dengan kenong, di depannya ada instrumen balungan, berturut-turut semakin ke depan ada instrumen kendang, bonang yang sejajar dengan rebab, gender, dan sinden.
Penataan itu sengaja dilakukan demi membentuk ambience atau gaung bunyi yang puncak. Apa yang terjadi jika bunyi-bunyi instrumen itu campur-aduk menjadi satu getaran elektron, diambil lewat perangkat bernama “microphone”, lalu diolah pada alat yang bernama “audio mixer”. Hasilnya bisa kita dengarkan di laman digital. Apakah masalah selesai? Rupanya tak sampai di situ saja. Jagat virtual mensyaratkan hal lain yaitu: perangkat (device, tools).
Dalam mendengarkan gamelan secara daring, perbedaan perangkat (handphone, headset, jaringan, kuota) akan menentukan capaian estetiknya. Keagungan gending gamelan itupun semakin terdistorsi. Kesenian tradisi lain tentu juga memiliki persoalan yang tak kalah pelik. Tari misalnya, pada pertunjukan langsung, penonton dapat menikmati “gerak tubuh” penari secara bebas, tetapi di laman digital sepenuhnya ditentukan oleh “mata kamera”. Dengan kata lain, penonton tak lagi memiliki kuasa atas pertunjukan tari yang dinikmatinya.
Layar Pintar
Masuknya tradisi dalam budaya layar berdalih konten tidak sepenuhnya menjadikan kesenian itu merdeka, namun sangat mungkin terintervensi dengan keharusan mengubah sajian, isi, bentuk, karakter, dan gaya. Budaya digital kini memang dirayakan secara masif, menjadikan seluruhnya artis (kata lain youtuber, vloger) namun miskin penikmat.
Terlebih untuk kasus-kasus seni tradisi. Keberhasilan sajian yang ditentukan oleh kalkulasi jumlah penonton (viewer) agar mampu mendatangkan iklan terhitung sangat rendah. Mayoritas penontonnya adalah seniman sealiran, teman, sahabat, dan keluarga, alih-alih menikmati sajian pertunjukan digital yang ada, justru empati, rasa prihatin, dan memberi semangatlah yang mendorong audiens menyaksikan seni tradisi secara virtual.
Rendahnya jumlah penonton itu berakibat pada semakin tak berdayanya tradisi di musim pandemi. Seniman-seniman mulai berpikir untuk terus bertahan hidup dengan menjual peralatan seni yang dimiliki seperti gamelan, wayang, dan lain sebagainya.
Tak terbacanya seni tradisi juga disebabkan oleh algoritma digital. Seni tradisi di panggung baru, ibarat setetes air tawar di tengah luasnya samudera virtual. Dunia virtual adalah dunia yang tak terbatas. Di YouTube misalnya, ada jutaan konten yang diproduksi setiap hari. Satu konten bersaing dengan konten lainnya, dan tradisi adalah salah satunya.
Hanya konten-konten viral yang diburu oleh penonton. Hal itu akan menentukan mekanisme kerja algoritma. Setidaknya, algoritma digital akan memberikan sugesti pada penonton, terkait konten apa yang bisa dinikmati setelah tontonan pertama usai diputar. Selanjutnya bisa ditebak, tontonan selanjutnya adalah serupa dengan tontonan sebelumnya, begitu seterusnya. Akibatnya, kesenian tradisi tak mendapat tempat, tak mampu terbaca secara lebih terbuka, karena algoritma digital tak pernah merekomendasikannya kepada publik.
Kekhusyukan dalam menikmati seni tradisi tak didapatkan dalam panggung virtual, yang sekali lagi, menekankan kegaduhan dan kebisingan isu. Seniman-seniman tradisi memang mulai banyak beradu keuntungan di jagat digital, tapi ekstase yang didapat adalah berupa katarsis berpentas, bukan keuntungan finansial. Artinya, pentas itu semata mengobati kerinduan untuk tampil, yang selama ini tubuh mereka terkungkung oleh pandemi. Berpentas secara digital sebagai sarana detoksinasi dari jemunya menjalani hidup sebagai seniman tradisi yang tak lagi bisa meraih panggung.
Oleh karena itu, jangan terlalu berharap jagat virtual akan mampu memberikan akses berpentas yang lebih manusiawi di kala benturan-benturan kepentingan, karakter, dan formulasi bentuk sajian terjadi. Jika terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan seni tradisi akan menjadi narasi purbawi yang ditinggalkan dan tidak lagi dijumpai di kehidupan manusia kini dan nanti.
Catatan: naskah ini disajikan dalam Seminar Nasional bertajuk “Seni Virtual dan Masa Depan Seni Tradisi” yang diselenggarakan oleh Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, 25 Juli 2021.
Penyunting: Nadya Gadzali