“Kita terlalu banyak belajar teori-teori mewah hingga seringkali melupakan jati diri bangsa”
Pernyataan itu terlontar dari dosen di hari pertama saya memulai perkuliahan pada jenjang pendidikan S2. “Bagaimana kita bisa mencintai, tanpa lebih dulu mengenali?” begitu kalimat selanjutnya yang ia lontarkan. Dua kalimat di awal pertemuan itu adalah bahan bakar yang membuat saya semakin jatuh hati mempelajari tradisi-tradisi di pelosok negeri. Sebab, semboyan Bhinneka Tunggal Ika seharusnya menjadi sebuah perenungan, bahwa kita memang terlahir dengan berbagai perbedaan, maka tak ada satu pun yang bisa memaksakan kita untuk menjadi seragam.
Kita adalah bangsa yang beruntung. Keragaman kultur adalah anugerah yang sepatutnya menjadi potensi besar negeri kita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, ada 1.331 kelompok suku di Indonesia. Bukan hanya itu, Badan Bahasa juga telah memverifikasi adanya 652 bahasa daerah di negeri ini. Bisa dibayangkan betapa kayanya bangsa kita dengan budaya dan tradisi.
Sayangnya, kita lebih sering meributkan perbedaan daripada upaya untuk saling mengenal dan menggenggam. Keragaman di Indonesia selama ini justru dianggap sebagai sumber konflik sosial panjang yang tak berkesudahan. Dikutip dari situs resmi Kementerian dan Kebudayaan Republik Indonesia, masalah yang timbul dalam keberagaman masyarakat, antara lain, timbulnya pertentangan antar budaya, kecemburuan sosisal, sentimen kedaerahan, serta perubahan nilai-nilai budaya akibat globalisasi.
Kearifan Lokal Sebagai Mekanisme Resolusi Konflik
Pada tahun 2015, Tempo melansir setidaknya ada tiga konflik besar di tanah air yang dinilai bersumber karena perbedaan budaya, yaitu Tragedi Sampit, konflik antara Dayak dengan Madura pada tahun 2001, Konflik di Ambon, Maluku tahun 1999 antara umat Kristen dan Islam serta kerusuhan 1998 yang banyak menyerang etnis Tionghoa.
Setiap konflik tentu memerlukan sebuah penyelesaian yang sering disebut dengan resolusi konflik. Dalam penyelesaian konflik-konflik sosial di Indonesia, para elit seringnya luput untuk melibatkan masyarakat itu sendiri. Padahal, masyarakat sebetulnya memiliki kemampuan untuk mengatasinya sendiri jika berkaca pada “kearifan lokal” atau nilai-nilai tradisi yang mereka miliki.
Irwan Abdullah dkk (2008) mengatakan bahwa kearifan lokal berperan penting dalam menjaga kelangsungan dinamika masyarakat, termasuk mengantispasi bahaya yang mengancam. Memberdayakan kearifan lokal merupakan upaya pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik. Dengan menggunakan kearifan lokal, kita mampu menyentuh akar permasalahan dan menemukan rumusan penyelesaian konflik sesuai dengan akar budaya dan karakter masing-masing komunitas.
Menurut John Haba sebagaimana dikutip oleh Irwan Abdullah (2008), kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat.
Ada enam signifikansi dan fungsi kearifan lokal jika dimanfaatkan dalam resolusi konflik. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan lintas kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa,tetapi lebih merupakan kesadaran dari dalam. Keempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan sebuah komunitas. Kelima, kemampuan local wisdom dalam mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dan meletakkannya di atas common ground. Keenam, kearifan lokal dapat mendorong proses apresiasi, partisipasi sekaligus meminimalisir anasir yang merusak solidaritas dan integrasi komunitas.
Sayangnya, berbagai kearifan lokal di negeri ini masih membutuhkan apresiasi dan penguatan dari para elit agar dapat bekerja dengan baik. Bagaimanapun juga, tanpa inisiasi dan kolaborasi antara para elit dengan pimpinan masyarakat tradisional, kearifan lokal tidak dapat berfungsi secara maksimal.
Saya pribadi percaya bahwa tidak ada satupun ajaran nenek moyang bangsa kita yang mengajarkan kita untuk memerangi perbedaan. Pun demikian halnya dengan agama dan kepercayaan yang selalu mengajarkan cinta kasih tanpa kekerasan. Tentu kepercayaan saya ini tidak dengan tiba-tiba muncul begitu saja. Perjalanan saya mempelajari tradisi cukup membuat pengetahuan saya terbuka untuk mengenali nilai-nilai arif yang bersumber pada keluhuran bangsa di masa lampau yang seharusnya terus dipegang teguh.
Tradisi "Satu Tungku Tiga Batu" Di Kabupaten Fakfak, Papua Barat
Dari Sabang hingga Merauke, kita memiliki kearifan lokal yang mengakar pada perdamaian dan persaudaraan. Sebut saja tradisi Satu Tungku Tiga Batu di Fakfak Papua Barat yang selama ini menjadi dasar bagi persaudaraan kultural yang melintasi batas-batas agama, etnis dan kepentingan politik serta ekonomi.
Ada juga tradisi Bela Baja di Pantar Nusa Tenggara Timur yang menjadi pengikat persaudaraan antara umat Islam dan Kristen, atau tradisi Pela Gandong di Maluku Tengah yang membantu proses penyelesaian konflik di Maluku. Saya yakin kearifan lokal yang bersumber pada nilai-nilai tradisi mampu menjadi sebuah gagasan intelektual yang menjadi terobosan untuk menyelesaikan konflik-konflik sosial di negeri ini.
“Orang Fakfak konsisten sekali menghidupi budaya damai. Keberagaman tidak lagi dibebani fanatisme sempit. Kalau diajak bicara yang jelek-jelek tentang agama lain, mereka tidak mau dengar, malah sangat tersinggung, karena menjelekkan agama orang lain sama seperti menjelekkan dirinya sendiri, sebab semuanya adalah saudara.” Pernyataan itu dating dari seorang antropolog dalam suatu diskusi mengenai model keberagaman dan rekonsiliasi yang saya ikuti beberapa tahun silam.
Selama ini, Papua seringkali diidentikkan dengan wilayah rawan konflik dan kekerasan. Aktivis Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) menyebutkan bahwa salah satu penyebab terjadinya aksi kekerasan di Papua adalah stigma negatif yang dilekatkan terhadap orang asli Papua. Masyarakat di luar Papua cenderung memberikan “stempel” bahwa orang Papua adalah bodoh, kasar, dan tidak bisa diatur. Orang Papua seringkali menjadi objek olok-olok berbau rasisme. Stigma-stigma yang dilekatkan tersebut justru banyak terlontar dari orang-orang yang tidak benar-benar mengetahui kehidupan orang Papua yang sesungguhnya.
Tentu tidak banyak yang tahu bahwa Papua justru bisa menjadi kiblat masyarakat Indonesia untuk belajar tentang perdamaian. Dalam studi terbaru yang dirilis Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Indonesia pada Desember 2019 menunjukkan bahwa indeks kerukunan beragama di Papua Barat memiliki skor 82,1 dari nilai maksimal 100. Data ini menunjukkan bahwa Papua memiliki tingkat kerukunan beragama paling tinggi di Indonesia. Artinya, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Papua, sesungguhnya tidak mencerminkan kerukunan yang ada di sana.
Menurut Adlin Sila (dikutip dari Tempo.co) semenjak studi ini dilakukan pada 2009, Papua memang selalu menempati posisi teratas. Hal ini menurutnya karena masyarakat Papua memiliki sebuah modal sosial berupa rasa percaya yang tinggi terhadap norma-norma mengenai hidup bertetangga. Norma-norma tersebut salah satunya bersumber dari filosofi “Satu Tungku Tiga Batu”, sebuah kearifan yang melekat pada jiwa-jiwa mereka. Satu tungku tiga batu adalah semboyan kerukunan di Fak-fak, Papua Barat. Filosofi ini telah diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain di Papua sejak beberapa abad yang lalu.
"Satu Tungku Tiga Batu" mengandung arti tiga posisi penting dalam keberagaman dan kekerabatan etnis di Fakfak. Satu tungku tiga batu artinya tungku tersusun atas tiga batu berukuran sama. Ketiga batu ini, diletakkan dalam satu lingkaran dengan jarak yang sama, posisi ketiganya seimbang untuk menopang tanah liat.
Konon, falsafah Satu Tungku Tiga Batu adalah pengejawantahan dari nilai yang dipegang teguh oleh etnis Mbaham Matta Wuh. Sebuah etnis tertua di wilayah tersebut. Mereka memiliki ajaran Ko, on, kno mi mbi du Qpona yang mengatur kekerabatan etnis mereka seperti digambarkan dalam sebuah tungku tiga batu. Tungku adalah simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari "kau", "saya" dan "dia" yang menopang perbedaan baik agama, suku, status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Falsafah itulah yang mengantarkan Fakfak sebagai daerah dengan tingkat kerukunan paling tinggi di Indonesia.
Sejak zaman dahulu, masyarakat Fakfak telah mengenal sebuah konsep agama keluarga. Agama yang dimaksud adalah sebuah agama keluarga masyarakat Fakfak yaitu, Islam, Katolik, dan Protestan. Konsep agama keluarga adalah hidup damai satu rumah dengan tiga agama yang berbeda. Kini, pemaknaan Satu Tungku Tiga Batu juga semakin berkembang bukan hanya terbatas pada kerukunan umat beragama, masyarakat mulai memaknai satu tungku tiga batu sebagai integrasi antara agama, adat, dan juga pemerintah. Kedamaian dan solidaritas di antara ketiganya harus terus dibangun dan dijaga.
Untuk merawat kearifan falsafah tersebut dalam kehidupan masyarakat Fakfak, pemerintah mulai menggaungkan semboyan Satu Tungku Tiga Batu sebagai simbol kerukunan dan perdamaian resmi di Kabupaten Fakfak. Bukan hanya itu, pemerintah juga membangun sebuah tugu Satu Tungku Tiga Batu di sebuah jalan di Kabupaten Fakfak
Makna “Satu Tungku Tiga Batu” Bagi Masyarakat Fakfak
Dalam kasus kerusuhan yang terjadi pada Agustus tahun 2019 lalu, pemerintah Kabupaten Fakfak juga melakukan rekonsiliasi dengan menggunakan falsafah Satu Tungku Tiga Batu. Bupati setempat mengumpulkan warganya untuk mengadakan silaturahmi dengan menyelenggarakan ritual adat yang dipercaya mengandung nilai satu tungku tiga batu. Dari beberapa kecamatan mereka berkumpul untuk melakukan ritual mencuci tangan dan mencuci muka bersama disertai dengan penyembelihan 3 ekor kambing yang dijadikan sebagai hewan kurban. Tiga hewan kurban itu melambangkan satu tungku tiga batu.
Mencuci tangan dan muka secara bersama mengandung arti penyucian diri terhadap ucapan dan kalimat yang menyinggung perasaan orang lain sehingga berujung pada konflik. Dengan mencuci tangan dan muka mereka percaya bisa kembali menyucikan hati dan jiwa. Sedangkan penyembelihan hewan kurban mengandung arti mengakhiri gejolak atau kerusuhan yang terjadi 21 Agustus 2019 lalu bersama darah hewan kurban tersebut untuk dikebumikan. Dengan diselenggarakannya prosesi tersebut, diharapkan masyarakat terus kembali pada nilai-nilai leluhur yang sudah diwariskan dari masa lampau, yaitu tetap hidup damai dalam segala perbedaan.
Penyunting: Nadya Gadzali